Tafsir ayat ayat gender dari perspektif Feminisme

Dalam rangka memperingati hari Kartini , 1 April 2021 saya mendapat kesempatan berbicara  dalam suatu acara bincang daring yang diselenggarakan oleh sebuah institusi. Saya diminta bicara tentang  Tafsir ayat ayat gender dari perspektif Feminisme .

RA. Kartini pahlawan nasional, lahir 21 April 1879 .Hari ini 21 April 2021 , kita merayakan hari lahirnya. Kita ucapkan , Selamat ulang tahun ibu Kartini.

RA Kartini telah menggoreskan jejak-jejak perjuangannya dalam  meningkatkan derajat kaum perempuan. Dalam buku “Habis gelap timbullah terang”, yang merupakan surat surat Kartini kepada sahabatnya Stela di negeri Belanda, tersimpul pemikiran Kartini untuk memajukan perempuan. Bila kita masukkan pemikiran Kartini dalam kontek pemikiran sekarang ini Kartini dapat dikatakan sebagai seorang Feminisme, karena memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Feminisme adalah kesadaran gender, kesadaran akan keadilan dan kesetaraan gender. RA.  Kartini telah memulai perjuangan gender untuk keadilan dan kesetaraan.

Dari salah satu surat Kartini kita dapat telusuri  sisi religius  Kartini. Kartini menyampaikan pada sahabatnya bahwa dia seorang muslimah. Kartini menulis dalam suratnya “Aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tak  mengerti dan memahaminya”. Lalu Kartini belajar Alquran, tapi tentu saja belum sampai  pada tafsir ayat-ayat gender. Kita sekarang bicara tentang  tafsir ayat ayat gender dari perspektif Feminisme.

Apakah ayat-ayat gender itu ?

Ayat ayat gender adalah ayat ayat dalam Alquran yang berkaitan dengan perempuan. Ada beberapa ayat ayat dalam Alquran yang bicara tentang perempuan. Diantaranya ayat:

tentang kepemimpinan perempuan (Qs. Annisa /34)

tentang  poligami (Qs.Annisa /3)

tentang talaq         (Qs. Albaqarah/288)

tentang  warisan    (Qs. Annisa /11)

tentang  Saksi         (Qs. Albaqarah /282)

 Pada akhir abad 20 para tokoh  Feminisme Islam, telah  mengkaji ayat ayat gender dalam Alquran dan menganalisis tafsir klasik. Para tokoh ini menemukan bias gender dalam tafsir klasik .Tafsir klasik tidak akomodatif terhadap perempuan.Tafsir klasik memberi pandangan bahwa perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Perempuan dilarang menjadi pemimpin. Perempuan harus rela suaminya beristeri sampai 4 orang. Dalam hukum keluarga, seperti hukum talaq dan hukum waris perempuan diposisikan pada pihak yang dirugikan.  Tafsir ini mengandung toxic maskulinitas.  

Cukup banyak  tokoh Feminisme Islam  menggugat bias gender dalam tafsir klasik ini dan melakukan  penafsiran ayat-ayat gender dengan perspektif Feminisme. Muncullah tafsir ayat ayat gender dari perspektif Feminisme . Kita singkat dengan tafsir Feminis

Menurut Feminisme Islam, Tafsir adalah pemikiran manusia yang dapat diubah sesuai perkembangan masyarakatnya.Tafsir tidak sakral. Yang suci dan sakral adalah Al-Quran

Tokoh -tokoh Feminis Islam yang menafsirkan ayat ayat gender dari perspektif feminisme antara lain: Amina Wadud, Musdah Mulia, Riffat Hassan, Asma Barlas, Kecia Ali.

Mari kita  lihat pemikiran Amina Wadud. Wadud warga Amerika Serikat asal Afrika.Lahir dari keluarga Katolik 1952. Masuk Islam umur 20 tahun. Beliau seorang Professor di Virginia Commonwealth University. Menjadi dosen tamu diberbagai universitas di berbagai negara.  

Amina Wadud aktivis dan intelektual gender.Sebagai aktivis gender wadud mengusung ide keadilan dan kesetaraan gender ke berbagai komunitas, universitas, kekonferensi internasional dan regional.  Sebagai intelektual, Wadud menulis buku temtang perempuan dalam Alquran serta menafsirkan ayat-ayat gender dari perspektif Feminisme.

Ayat ayat gender yang  ditafsirkan  tokoh Feminisme Islam ini, antara lain ayat :

  • tentang kepemimpinan perempuan (Qs. Annisa /34)
  • tentang  poligami (Qs.Annisa /3)
  • tentang talaq         (Qs. Albaqarah/288)
  • tentang  warisan    (Qs. Annisa /11)
  • tentang  Saksi         (Qs. Albaqarah /282)
  • Tafsir ayat ayat gender dari perspektif feminisme :

Berkaitan dengan ayat kepemimpinan,  penafsiran klasik mengatakan bahwa laki-laki pemimpin atas perempuan.  Tafsir Feminis mengatakan bahwa tidak ada satu ayatpun  dalam Alquran  yang melarang  perempuan menjadi pemimpin. Siapa saja boleh menjadi pemimpin asal memiliki kemampuan.

Dalam masalah poligami, Tafsir feminisme menekankan bahwa  kebolehan poligami bersifat kontekstual dan perkawinan ideal dalam Islam adalah monogami

Berkaitan dengan hukum talak, dalam tafsir feminisme  diperoleh makna  bahwa ketentuan hukum talak tidak adil. Menjatuhkan talak secara sepihak ( oleh laki laki) adalah tidak adil dan menunjukkan derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan.

Ayat tentang  waris dalam tafsir Feminisme diperoleh pandangan  bahwa pembagian warisan harus menganut azas keadilan dan manfaat bagi keluarga yang ditinggalkan baik laki-laki maupun perempuan. Pembagian warisan dengan model  2 :1 untuk anak laki-laki dan perempuan merupakan pembagian yang tidak adil. Pembagian waris harus sama antara anak laki-laki dan perempuan.

Dalam persoalan kesaksian perempuan, menurut tafsir Feminisme, tidak satupun dalil Alquran menyatakan bahwa nilai kesaksian perempuan dibawah laki-laki. Keterangan dalam ayat mengenai saksi hanyalah bersifat kontekstual tidak bisa diberlakukan secara universal.

Perbedaan penafsiran ayat ayat gender dalam tafsir klasik dan  tafsir Feminis menunjukkan bahwa   problem utama perbedaan penafsiran ayat-ayat gender adalah problem metodologis. Berbeda dalam metode berbeda hasil penafsiran. Feminisme Islam menggunakan metode hermeneutika utk menafsirkan ayat-ayat gender.  Sementara  tafsir klasik menggunakan metode tekstual.

Hermeneutika merupakan metode baru bagi penafsiran Alquran.Digunakan pertama kali oleh Hassan Hanafi (1965) dalam disertasinya yang berjudul: Les metodes d’exegese: essay sur la science des fondements de la comprehension ‘ilm usul al-fiqh, untuk mengambil gelar doktor pada niversitas Sarbone Perancis. Kemudian, metode hermeneutika bagi penafsiran Alquran terus dikembangkan oleh para intelektual Islam kontemporer karena didorong oleh kesadaran bahwa realitas kekinian memerlukan alat bantu untuk menafsirkan Alquran dan perlunya suatu standar ilmiah dalam penafsiran Alquran. Ketika hermeneutika cukup memberikan kontribusi signifikan dan membukawacana baru dalam pembacaan teks suci, metode ini dikembangkan dalam berbagai perspektif termasuk perspektif feminisme seperti yang dikembangkan Amina Wadud dan para tokoh Feminisme Islam  lainnya. Hasilnya, tafsir Feminis yaitu  tafsir yang berkeadilan gender.

Bila  Kartini sudah memulai perjuangan keadilan dan kesetaraan gender di abad 19,  perempuan abad 21   seharusnya  tidak diam di garis marginal. Mari berkontribusi memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender.