Tafsir Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme

Pengantar

Dalam sejarah perkembangan tafsir  Alquran ada berbagai metode dan corak tafsir yang digunakan yaitu:

  1. Metode tahlily, yaitu penafsiran yang menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat sesuai sistimatika mushhaf Utsmani, dengan penjelasan yang detail.
  2. Metode ijmaly, yaitu model penafsiran yang menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat sesuai sistimatika mushhaf Utsmani, dengan penjelasan secara  global atau secara garis besar.
  3. Metode muqaran, penafsiran yang mengambil sejumlah ayat atau surat untuk selanjutnay disjelaskan dengan berbagai kutipan dari sejumlah kitab tafsir atau membandingkannya.
  4. Metode maudhu’i penafsiran yang menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema yang sama serta mengarah  pada  pengertian satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu diturunkan pada tempat, kurun waktu  dan cara yang berbeda dan tersebar di berbagai kitab.

 

Perkembangan selanjutnya, studi tentang Alquran dan tafsir, menggunakan hermeneutika sebagai metode baru bagi penafsiran Alquran. Digunakan pertamakali oleh Hassan Hanafi (1965) dalam disertasinya yang berjudul : Les metodes d’exegese: essay sur la science des fondements de la comprehension ‘ilm usul al-fiqh, untuk mengambil gelar doktor pada universitas Sarbone Perancis. Kemudian, metode hermeneutika bagi penafsiran Alquran terus dikembangkan oleh  para intelektual Islam kontemporer karena didorong oleh kesadaran bahwa realitas kekinian memerlukan alat bantu untuk menafsirkan Alquran dan  perlunya suatu standar ilmiah dalam penafsiran Alquran.[1] Ketika hermeneutika cukup memberikan kontribusi signifikan dan membuka wacana baru dalam pembacaan teks suci, maka metode ini dikembangkan dalam berbagai perspektif termasuk perspektif feminis. Tulisan ini mengkaji pendekatan hermeneutika feminisme ketika digunakan tafsir  Alquran.

Penggunaan metode hermeneutika dalam menafsirkan Alquran menimbulkan pandangan pro kontra, ada kelompok yang menolak dan ada yang mendukung, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Essack dan Amina Wadud. Kelompok yang menolak, seperti Yusuf al-Qardawiy, Muhammad Naquib Al-Attas, Wan Mohd Nor Wan Daud. Mereka  berpendapat bahwa penggunaan  hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran dapat mengaburkan substansi Alquran, karena tafsir hermeneutika bermuatan pemikiran subjektif dan kondisional. Disamping itu, hemeneutika merupakan studi prinsip-prinsip umum tentang interpretasi Bible yang bertujuan untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible, sehingga tidak bisa digunakan untuk menafsirkan Alquran.[2]

Menurut Quraish Shihab, ada konsep-konsep dalam hermeneutika yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya penafsiran Alquran. Karena itu adalah tidak wajar menolak mentah-mentah kehadiran hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran. Tujuan utama dari hermeneutika adalah  untuk menafsirkan dan memahami makna kata dan konteks yang terdalam dan tersembunyi dari teks, maka itu, hermeneutika diperlukan untuk pemahaman Alquran. Pada masa awal, Alquran diterima umat dalam bentuk  lafazh (lisan) dan  lafazh Alquran tidak ada bedanya dengan lafazh-lafazh yang lain. Dengan demikian, Alquran pun dapat didekati sebagaimana mendekati teks apapun.[3]

Penafsiran Alquran telah mulai sejak  turunnya wahyu, dimana Nabi Muhammad sebagai penafsir utama telah menafsirkan beberapa ayat Alquran dan dalam perkembangan selanjutnya para ulama menyusun sebuah disiplin untuk penafsiran Alquran yakni ulum al-tafsir. Menurut Quraish Shihab hermeneutika dan tafsir adalah sama-sama ilmu tentang penafsiran dan dapat dikatakan bahwa metode hermeneutika merupakan perkembangan dari metode tafsir klasik (tahlily, ijmali, muqaran dan maudhu’i)  dimana  metode hermeneutika lebih sistematis dan kritis. Hermeneutika dan tafsir tidak perlu dipertentangkan.[4] Hermenutika dalam bahasa Arab yang diterjemahkan dengan ilmu at- takwil tapi ada juga yang langsung memahaminya sebagai ilmu tafsir karena berfungsi untuk menjelaskan maksud teks yang diteliti. Hermeneutika tidak perlu  dipertentangkan  dengan tafsir karena banyak hal yang mempertemukan hermeneutika dengan kaidah penafsiran Alquran. Atas dasar itu, maka hermeneutika penting dalam pembacaan Alquran. [5]

Alquran  dapat dipandang sebagai teks, karena ia hadir kepada manusia dalam bentuk teks. Alquran sebagai teks saat ini berhadapan dengan realitas umat Islam kontemporer yang penuh dengan kompleksitas persoalan sosial dan kemanusiaan. Alquran mengandung ungkapan-ungkapan simbolik metaforis dan berbagai kiasan yang memerlukan penafsiran dan penafsiran memerlukan metode. Tiap metode memiliki kriteria dan aturan-aturannya sendiri. Bila dianggap suatu metode tidak memuaskan, dapat dipilih metode lain yang dapat menjawab persoalan.  Karena metode tafsir klasik dipandang sangat simple (ringkas), tidak memadai lagi menangkap pesan-pesan moral dari Alquran, maka hermeneutika sebagai metode yang lebih sistimatis dan kritis dapat dijadikan pilihan.  Apalagi ketika penafsiran Alquran dengan metode hermenutika dipandang lebih mampu menyajikan dimensi-dimensi humanistik Alquran yang selama ini dipandang tersembunyi di balik kekakuan penafsiran teks Alquran maka penggunaaan hermeneutika sebagai metode tafsir Alquran terus dikembangkan oleh para intelektual Islam kontemporer seperti Muhammad Shahrur[6] yang menawarkan hermeneutika intertekstual, Nasr Hamid Abu Zayd,[7] menawarkan hermeneutika signifikansi, Fazlur Rahman[8] mengemukakan hermeneutika double movement dan tokoh-tokoh intelektual feminis Islam diantaranya Amina Wadud menawarkan hermeneutika feminisme. Tulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada hermeneutika feminisme sebagai metode penafsiran Alquran.

            Sejarah munculnya hermeneutika feminisme

Sekalipun telah banyak ditawarkan berbagai hermeneutika bagi Alquran yang berpihak kepada keadilan social seperti yang dibawa oleh Hassan Hanafi, Shahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Falur Rahman, tapi belum ada metode hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Oleh karena itu, untuk memproduksi tafsir yang berkeadilan gender, diperlukan hermeneutika feminisme. Para intelektual feminis Islam menawarkan hermeneutika feminisme sebagai  metode penafsiran Alquran yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender.

Munculnya penafsiran Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme  disebabkan dominannya sistem patriarki dalam penafsiran Alquran, sehingga produk tafsir terkait perempuan bersifat seksime, yaitu pemisahan peran perempuan dan laki-laki, dimana peran domestik untuk perempuan dan peran publik untuk laki-laki sehingga melahirkan dominasi laki-laki atas perempuan. Implikasi lebih jauh adalah  meminggirkan  perempuan dalam segala aspek kehidupan.[9] Sehubungan dengan itu, para intelektual feminis Islam yang lahir dari perkembangan sosial dan politik menawarkan cara baru penafsiran Alquran atau melakukan rekonstruksi metodologis penafsiran Alquran. Berangkat dari pandangan bahwa penafsiran Alquran bersifat universal, tidak hanya untuk masyarakat Arab abad ke 7 (waktu dan tempat Alquran turun) serta berpegang pada prinsip-prinsip dasar Alquran, keadilan, harmoni, kesetaraan manusia dan keesaan Allah,  maka intelektual feminis Islam, mengkritisi tafsir Alquran terkait perempuan dan melakukan penafsiran ulang.[10] Hal ini menandai munculnya penafsiran Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme.

Hermeneutika feminisme muncul pada akhir abad 20 ketika timbul gerakan pembaharuan  Islam di seluruh dunia muslim. Para intelektual feminis Islam mulai melakukan studi Alquran terkait perempuan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan hermeneutika feminisme.[11]. Tujuan digunakan hermeneutika feminisme sebagai metode penafsiran Alquran adalah  untuk memproduk tafsir yang adil terhadap perempuan. Hal ini, penting untuk menghilangkan relasi gender yang tidak adil dikalangan umat Islam, dimana laki-laki dipandang lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Keadilan gender merupakan prinsip utama sebuah relasi fungsional untuk  merealisasikan misi penciptaan manusia di dunia, yaitu khalifah fi al-ardi dan membentuk etika moralitas manusia.

Tafsir Alquran terkonstruksi secara kultural dan terstruktur secara historis. Karenanya, kandungan tafsir tekstual, seperti metode tafsir klasik (tafsir lama)  tidak berlaku sepanjang zaman. Sementara itu, ilmu tentang penafsiran secara ilmiah telah berkembang luar biasa. Praktek tafsir tidak lagi berkutat di ranah epistemologis, seperti dalam pemikiran F. Schleimacher dan W.Dilthey, tapi telah merambah kedalam ranah ontologis  seperti yang dibawa oleh Heidegger dan Gadamer. Heidegger dan Gadamer telah mengingatkan bahwa ada dimensi ontologis yang harus dipertimbangkan dalam sebuah penafsiran. [12]  Disisi lain, menydari bahwa otoritas religius klasik telah memonopoli semua bidang pengetahuan Islam, termasuk tafsir Alquran, maka terlihat urgensinya untuk melakukan studi tafsir Alquran berbasis feminis untuk mengevaluasi peran dan kedudukan perempuan dalam Alquran, dengan fokus perhatian pada kesetaraan gender dan keadilan sosial.[13]

Perkembangan hermeneutika feminisme

Hermeneutika feminisme bagi Alquran  baru gencar dibicarakan pada tahun 2010, ketika Al-Syafi’i seorang pakar Alquran di Universitas Kairo mengakui adanya gerakan feminisme dalam penafsiran Alquran. Gerakan ini didorong oleh keinginan untuk mengevaluasi peran perempuan,  memasukkan ide kesetaraan dan keadilan gender dalam penafsiran Alquran dan meluruskan kembali makna substansial Alquran.[14] Perkembangan historis dan politik melahirkan intelektual feminis Islam yang memberi perhatian terhadap keilmuan Islam terutama mengenai tafsir Alquran. Para intelektual feminis Islam, seperti  Riffat Hassan, Azizah al- Hibri, Amina Wadud, Asma Barlas, Sadiyya Shaikh  dan Kecia Ali telah melahirkan karya-karya mengenai tafsir Alquran berbasis feminis yang ditandai dengan masuknya isu gender sebagai kategori analisis dalam proses penafsiran dan memasukkan pengalaman perempuan sebagai salah salah satu variabel penting. [15]

Tokoh-tokoh intelektual feminis Islam yang menggunakan hermeneutika feminisme bagi Alquran dapat dikategorikan  dalam dua generasi. Generasi pertama  adalah, Riffat Hassan, Azizah al-Hibri dan Amina Wadud dan generasi kedua adalah, Asma Barlas, Sadiyya Shaikh and Kecia Ali. Menurut Hidayatullah dalam bukunya Feminist Edges of the Qur’an (2014), generasi pertama telah berjasa memunculkan penafsiran Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme. Generasi pertama ini bekerja sebagai “Trailblazers”, karena dalam menghasikan karya, mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa. Generasi pertama mengalami dominasi kaum laki-laki, baik berbasis intelektual, gender maupun ras dan kompetensi intelektual mereka sering dipertanyakan. Hal ini menyebabkan karya mereka bernuansa melawan sistem patriarki dengan keras dan banyak memuat pengalaman personal yang menunjukkan mereka tertindas.  Generasi kedua dalam membangun karyanya tanpa tekanan dan penindasan seperti generasi pertama. Jadi tulisan mereka tidak menyertakan pengalaman personal.

Pengkategorian di atas didasarkan pada karakteristik karya mereka. Ada perbedaan karakteristik dari kedua generasi ini dalam membangun karyanya. Generasi pertama, terfokus pada karyanya masing-masing, tidak ada saling mengutip dan mendiskusikan tema-tema yang mereka bahas dan tidak ada tidak ada saling mendukung pandangan yang dikemukakan. Perjuangan generasi pertama ini dipicu oleh peningkatan pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan secara internasional, seperti konferensi Perempuan sedunia di Beijing tahun 1995 yang melahirkan komitmen untuk membangun manusia melalui kesetaraan gender dan CEDAW (Convention on the elimination of all forms of discrimination against women) yang melahirkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.[16] Generasi kedua muncul tahun 1990. Mereka meneruskan usaha yang telah dirintis generasi pertama. Cara kerja generasi kedua ini lebih maju, terdapat  kutip-mengutip pemikiran-pemikiran para pendahulunya dan mereka mendiskusikan  karya-karya mereka. Pemikiran generasi kedua menunjukkan perkembangan dimana mereka saling mendukung dan saling terkait antara satu sama lain. [17]

Hermeneutika feminisme dipublikasi atas nama organisasi perempuan seperti Women Living Under Muslim Laws (jaringan internasional), Sister in Islam (Malaysia) dan Zanan Magazine (Iran). Disamping itu, ada pula yang merupakan karya-karya individual. Hermeneutika feminisme dapat dilihat dalam pemikiran Riffat Hassan melalui karyanya Made from Adam’s Rib: The Woman’s Creation Question (Jurnal, 1985),  Azizah al Hibri melalui  Hagar on My Mind, Amina Wadud melalui Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (1992), Asma Barlas melalui  Believing Woman in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an (2002), Kecia Ali melalui Sexual Ethics &Islam : Feminist Reflections on Qur’an,Hadith and Jurisprudency (2006). Sadiyya Shaikh melalui Sufi Narratives of Intimacy: Ibn ‘Arabi, Gender, and Sexuality (2014).

 Apa itu hermeneutika feminisme ?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita dapat melacak pemikiran Amina Wadud tentang hermeneutika feminisme. Wadud seorang intelektual feminis Islam, Professor of Religion and Philosophy (Profesor Agama dan Filsafat) di Virginia Commonwealth University). Dia  melakukan kajian tafsir Alquran dari perspektif feminis dan menawarkan hermeneutika feminisme sebagai metode penafsiran Alquran. Wadud dapat pula dikatakan melakukan kajian gender dalam Alquran dan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat gender dalam Alquran.  Dia ingin meluruskan pandangan bahwa Islam bukanlah agama yang diskriminatif terhadap perempuan,  tapi agama yang meletakkan keadilan sebagai prinsip dasar. Wadud mengkritik pemahaman keagamaan yang diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Paham agama yang diskriminatif ini telah merampas identitas diri perempuan sebagai manusia, identitas diri perempuan penting untuk merefleksikan identitas Islam dalam konteks muslim yang beragam.[18]

Wadud mengakui bahwa tidak ada finalitas dalam penafsiran Alquran. Penegasan hanya ada satu interpretasi Alquran akan membatasi jangkauan teks. Alquran cukup fleksibel untuk mengakomodir situasi budaya yang beragam, karena secara universal Alquran bermanfaat bagi mereka yang beriman.[19] Maka itu Alquran harus ditafsirkan terus menerus. Alquran merupakan katalisator politik, sosial, spiritual dan intelektual yang mampu merubah tatanan masyarakat Arab abad ke-7 dan tentu juga dapat berperan sebagai katalisator bagi masyarakat kontemporer.

Gagasan hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud

      Signifikansi gender dalam metodologi tafsir Alquran merupakan hal penting dalam pemikiran Amina Wadud.[20] Menurut Wadud gender dalam proses penafsiran Alquran kurang tersentuh karena basis paradigma pemikiran Islam tidak memperhatikan soal gender sebagai kategori dasar pemikiran dan sebagai aspek analisis dalam proses penafsiran. Untuk menghasilkan produk tafsir yang berkeadilan gender perlu menafsirkan Alquran menurut pengalaman perempuan tanpa streotipe yang telah menjadi kerangka penafsiran laki-laki. Disamping itu, penafsiran klasik yang bercorak atomistik menghasilkan penafsiran yang sempit dan terbatas,[21] Wadud menjelaskan kaitan teoritis dan metodologis antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana) dan beberapa fokus yang menjadi konsentrasinya: apa yang dikatakan Alquran, bagaimana Alquran mengatakannya, apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakan, dan ditambah dengan pengertian sekarang, yaitu apa yang belum dikatakan.[22]

Amina Wadud mengeritik tafsir klasik baik metode, perspektif  maupun  isinya.           Menurut Wadud, uraian tafsir tafsir klasik seringkali bias gender dan tidak relevan dengan kondisi perempuan masa kini yang memiliki problema yang kompleks dan berbeda dengan perempuan masa lalu. Pada umummya muffasir klasik memproyeksikan makna Alquran terkait perempuan berdasarkan perspektif laki-laki. Bila  Alquran ditafsirkan berdasarkan perspektif laki-laki, maka persepsi laki-lakilah yang mempengaruhi posisi tafsir  tentang perempuan dan melahirkan pandangan bahwa perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Wadud menggagas tafsir Alquran dengan perspektif perempuan.

 Wadud mengeritik metode atomistik dan tafsir tekstual dalam tafsir klasik. Metode atomistik dalam penafsiran Aquran dipandangnya tidak mampu menangkap pesan-pesan moral Alquran. Kandungan tafsir tekstual  tidak berlaku sepanjang zaman, karena tafsir Alquran terkonstruksi secara kultural dan terstruktur secara historis. Metode atomistik adalah metode penafsiran Alquran yang  menerapkan beberapa makna sekaligus pada satu ayat, tidak mengembangkan suatu kerangka berdasarkan pemikiran yang sistematis untuk mengkorelasikan dan menunjukkan dampak dari pertalian yang sesuai dengan Alquran. Hubungan gagasan, struktur sintaksis, prinsip atau tema Alquran tidak ada metodologinya. Metode atomistik tidak komprehensif dan tidak memperhatikan nilai-nilai keadilan karena tidak  membahas hubungan Alquran dengan dirinya sendiri secara tematis. Wadud menggagas penafsiran Alquran yang bercorak holistik yaitu mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif.  Kesimpulannya, tafsir klasik memiliki kelemahan metodologis, sehingga menimbulkan pemahaman yang distorsif dalam penafsiran dan terdapat kekeliruan dalam menfasirkan ayat-ayat gender dalam Alquran karena tidak dibaca dalam konteks historis.

      Berdasarkan gagasan-gagasan Wadud mengenai hermeneutika feminisme bagi Alquran maka dibawah ini dapat dikonstruksi sebuah model hermeneutika feminisme.

Prinsip dasar, kategori dan aspek hermeneutika feminisme

  1. Prinsip dasar

            Prinsip dasar hermeneutika feminisme adalah penafsiran yang mengacu kepada kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan bersikap anti patriarki. Prinsip ini diletakkan karena dominasi patriarki dalam tafsir klasik. Dalam kitab-kitab tafsir klasik termuat pandangan bahwa laki-laki adalah jenis kelamin utama, sedang perempuan sebagai jenis kelamin kedua. Bias gender dalam penafsiran Alquran seperti ini masih dijadikan referensi dalam melegalkan pola hidup patriarki.[23] Dalam tafsir terkait perempuan terdapat pandangan yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan perempuan. Perempuan tidak diakui sebagai manusia utuh, tidak berhak mempresentasikan diri, dilarang menjadi pemimpin, dipojokkan sebagai makhluk domestik, harus menjadi istri yang taat suami dan harus rela bila suami berpoligami sampai dengan empat istri. Atas nama agama, perempuan diposisikan sebagai objek hukum, khususnya hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti hukum perkawinan dan pewarisan.[24]

  1. Kategori

Hermeneutika feminisme bercorak holistik. Kategori ini termasuk baru belum ada pembahasan yang substansial mengenai isu khusus perempuan dari sudut Alquran secara menyeluruh dan sesuai prinsip-prinsip utamanya. Secara metodologis penafsiran Alquran terkait perempuan dibedakan dalam  tiga kategori: tafsir klasik, reaktif dan holistik. Kategori pertama adalah tafsir klasik, yaitu menginterpretasikan seluruh isi  Alquran baik dari periode modern maupun klasik dengan tujuan  tertentu, seperti hukum, isoteris, gramatika, ritorika dan sejarah. Sekalipun tujuan ini menimbulkan perbedaan dalam berbagai tafsir, tetapi metodologi yang digunakan adalah sama yaitu  atomistik. Kategori kedua, adalah tafsir reaktif yaitu tafsir Alquran yang merupakan reaksi para ulama modern terhadap berbagai  kendala  berat yang dihadapi perempuan baik secara individual  maupun sosial. Tujuan yang dicari adalah sesuai dengan cita-cita kaum feminis dan metode yang digunakan berakar dari  dasar pemikiran feminis. Di sini tidak ada analisis Alquran yang komprehensif sehingga  tafsir  ini tidak berhasil membedakan antara penafsiran dan muatan  Alquran.  Kategori ketiga adalah tafsir Alquran yang bersifat holistik, yaitu  mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek.

  1. Aspek penafsiran

      Hermeneutika feminisme mempertimbangkan tiga aspek penafsiran yaitu, konteks, gramatika dan  welstanchauung (pandangan dunia) dari ayat yang ditafsirkan. Hal ini dilakukan melalui analisis linguistik ,,asbab al-nuzul dan weltanschauung Alquran. Dalam analisis linguistik selain melakukan kajian terhadap makna kata dan istilah,  perlu diprhatikan istilah netral dan bergender. Istilah netral tidak dapat dilihat sebagai istilah bergender dan hal-hal universal dan partikular  perlu didudukkan secara jelas.

      Dalam analisis asbab al-nuzul diperhatikan latar belakang turunnya ayat, diperhatikan hal-hal universal dan partikular dan informasi  historis dari peristiwa turunnya ayat. Asbab al-nuzul, adalah konsep yang menjelaskan latar belakang sosial dan historis turunnya ayat. Ada dua katagori ayat-ayat Alquran, yaitu ayat yang turun tanpa latar belakang sosial tertentu dan ayat yang turun setelah ada peristiwa atau persoalan yang perlu dijawab. Latar belakang sosial itu banyak dan berubah-ubah, maka ayat dengan tema yang sama turun berkali-kali. Bila tidak memperhatikan asbab al-nuzul dalam penafsiran Alquran, maka muncul produk tafsir yang sempit dan terbatas.

      Weltanschauung adalah nilai-nilai universal yang terkandung dalam ayat  Alquran dan harus senantiasa ditonjolkan sebagai pedoman dasar dalam memahami ayat Alquran dan merupakan prinsip-prinsip dasar Alquran yang berlaku universal tidak pernah berubah. [25] Dalam rangka menghadirkan makna konstekstual, aspek  Wellstanschauung perlu mendapat  perhatian. Kata-kata dalam Alquran harus dikaji sesuai dengan weltanschauung Alquran itu sendiri, karena kata-kata Alquran adalah bagian dari bahasa dan kultur yang berlaku  di jazirah Arab abad 7. Namun kadang-kadang Alquran  menggabungkan kata-kata dengan cara berbeda  untuk merefleksikan maksud  dan tujuannya. Dapat dikatakan bahwa ada kata-kata dalam ayat Alquran memiliki Wellstanschauung yang berbeda dengan bahasa Arab. Makna dasar suatu kata sebelum wahyu turun akan memiliki makna berbeda dalam Alquran. Disamping itu, realitas gaib yang diterakan dalam Alquran sulit digambarkan dengan kata-kata, karena alam gaib tersembunyi dari persepsi manusia, tidak bisa ditafsirkan.

Langkah-langkah hermeneutika feminisme

Hermeneutika feminisme dapat dijelaskan dalam 5 langkah sebagai berikut :

  1. Pandangan /Pengalaman perempuan

           Pengalaman perempuan dalam penafsiran Alquran merupakan satu hal penting. Bila  Alquran ditafsirkan berdasarkan pengalaman  laki-laki, maka persepsi laki-lakilah yang mempengaruhi posisi tafsir  tentang perempuan. Oleh karena itu, Alquran harus dibebaskan dari pandangan patriarki dengan memasukkan pengalaman perempuan dalam proses penafsiran.[26] Secara teoritis dapat dikatakan bahwa suatu penafsiran harus berangkat dari  prior text (pra pemahaman atau masalah sebelum penafsiran) yang menambah perspektif dan kesimpulan dari penafsiran.  Prior text bagi hermeneutika feminisme merupakan satu unsur khas untuk dapat menafsirkan setiap ayat. Pengalaman perempuan merupakan salah satu prior text, sehingga harus menjadi variabel dalam proses penafsiran. [27]

  1. Kerangka pemikiran feminisme

Hermeneutika feminisme berangkat dari pengalaman perempuan yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Untuk memahami pengalaman perempuan harus didasari pemahaman teori feminisme yang kuat. Dengan demikian teori-teori feminisme yang berintikan ide kesetaraan dan keadilan gender merupakan bingkai untuk membangun hermeneutika feminisme.

3.Metode kontekstualisasi historis

Hermeneutika feminisme menerapkan metode kontekstualisasi historis. Metode kontekstualisasi historis adalah metode penafsiran Alquran yang memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya  ayat atau wahyu.  Metode ini bertujuan untuk membedakan  ayat-ayat partikular, yaitu ayat-ayat untuk mendefinisikan  situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal yaitu ayat-ayat untuk semua manusia. Ayat-ayat Alquran  dikategorikan atas sebagai ayat ‘amm (general) dan khass (spesifik). Bila mengabaikan konteks historis ayat-ayat Alquran, maka penafsir gagal membedakan mana ayat-ayat yang general dan mana yang spesifik.[28]

4.Metode Intratekstual

Hermeneutika feminisme menerapkan metode  intratekstualitas. Metode ini  mengembangkan sebuah kerangka berdasarkan pemikiran sistematis untuk mengkorelasikan beberapa ayat yang membicarakan tema yang sama agar tampak pertalian yang sesuai dengan Alquran tidak menerapkan makna sekaligus terhadap satu ayat.[29]  Pendekatan intratekstual dalam penafsiran Alquran dapat dilihat sebagai penolakan terhadap penafsiran klasik yang bercorak atomistik, yaitu penafsiran Alquran yang  menerapkan beberapa makna sekaligus pada satu ayat, sehingga menghasilkan makna yang terbatas.

5.Paradigma  Tauhid

            Hermeneutika feminisme menggunakan paradigma tauhid, yaitu inti ajaran Alquran.  Konsep tauhid mengakui keesaan Allah, keunikan-Nya dan tidak terbagi (indivisibility) Tauhid merupakan metode kunci dalam hermeneutika feminisme dan merupakan doktrin mengenai keesaan Tuhan yang tidak terbandingkan. Dengan paradigma tauhid akan terlihat secara jelas, perbedaan Alquran dengan penafsirannya. [30]  Konsep tauhid menegaskan kesatuan ayat-ayat Alquran secara keseluruhan dan menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular menurut Alquran. Esensi tauhid dapat digunakan untuk mengadvokasi hak asasi manusia perempuan dan untuk mereformasi semua kebijakan yang mencegah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.[31].  Tauhid sumber  inspirasi kesetaraan dan keadilan gender, membebaskan manusia dari sistem yang tidak adil dan menjamin keadilan terutama bagi kelompok mustadh’afin (tertindas) dan menjadikan manusia bersaudara. [32]

Kesimpulan

 Hermeneutika feminisme  bagi penafsiran Alquran bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir yang berkeadilan gender.  Sekalipun hermeneutika yang berpihak kepada keadilan sosial telah dikembangkan  oleh tokoh-tokoh Islam kontemporer seperti  Muhammad Shahrur yang menawarkan hermeneutika intertekstual, Nasr Hamid Abu Zayd, menawarkan hermeneutika signifikansi dan Fazlur Rahman dengan hermeneutika double movement, tapi belum ada yang berpihak kepada keadilan gender. Munculnya penafsiran Alquran dapat dilihat sebagai suatu usaha untuk menegakkan keadilan gender  dan membongkar budaya patriarki dalam penafsiran Alquran.

Hal penting dalam hermeneutika feminisme  adalah masuknya konsep gender dalam proses analisis dan memposisikan pengalaman perempuan sebagai prior text atau pra pemahaman. Langkah-langkah metodologis hermeneutika feminisme adalah, Pertama berangkat dari pengalaman/pandangan perempuan sebagai langkah awal menghampiri sebuah teks. Kedua, menempatkan teori-teori feminisme sebagai kerangka pemikiran dalam proses penafsiran. Teori feminisme merupakan  bingkai dari hermeneutika feminisme. Ketiga menerapkan metode kontekstualisasi historis, keempat, penerapan metode intratekstual, kelima, menerapkan prinsip tauhid, yaitu mengakui Keesaan Allah dan penghambaan diri hanya pada Allah.

     Hermeneutika feminisme dapat digunakan sebagai  metode untuk  memproduksi tafsir yang berkedilan gender . Upaya ini penting untuk menghilangkan ketimpangan relasi gender, laki-laki dengan perempuan dikalangan umat Islam. Ketimpangan ini telah membelenggu potensi yang dimiliki perempuan. Karenanya, perlu upaya untuk menjawab persoalan tentang perempuan dengan bersumber pada Alquran yang  ternyata nyaris belum dilakukan oleh intelektual Islam dalam kajian Islam. Apalagi di era kritik posmodern ini diperlukan suatu metode kajian gender dalam kontek Islam secara global karena hampir setiap landasan ilmu pengetahuan ditantang untuk bergerak melampaui nilai-nilai tertentu.

note:

[1] Nasaruddin Umar, Menimbang Hermeneutika sebagai Manhaj Tafsir ( Jurnal Studi Alquran vol.1 no.1 : Januari 2006) hal. 33-35.

[2] Irsyadunnas,Hermeneutika Feminisme, hal. 4

[3] Shihab,  Kaidah Tasir , hal. 429 -438.

[4] Shihab,  Kaidah Tafsir, hal. 3

[5] Shihab, Kaidah Tafsir ,hal. 402

[6] Muhammad Shahrur lahir  pada tanggal 11 April 1938  di Damaskus, Suriah. Melahirkan  beberapa karyanya, antara lain  al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, kemudian Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al Daulah wa al Mujtama’, Al Iman wa al Islam : Manzumat al Qiyam, Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami : Fiqh al Mar’ah, Masyru’ Mitsaq al ‘amal al Islami diterjemahkan dengan judul Metodologi Fiqh Islam Kontemporer.

[7] Nash Hamid Abu Zayd 10 Juli 1943 di desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir. Mendapat gelar doktor pada tahub 1981  dalam studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Kairo  dengan judul disertasi Falsafah a-ta’wil ; Dirasah  fi ta’wil al-Quran ‘inda muhy al-Din Arab ( Fisafat takwil : studi hermeneutika  Alquran  yang ditulis dalam bahasa Arab).

[8] Fazlur Rahman, intelektual Islam kontemporer asal Pakistan. Lahir 1919 dan meninggal 1988, melakukan pembaharuan epistemologi pemikiran  Islam melalui Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982),.

[9] . Hidayatullah, Feminist  Edges of the Qur’an, hal. 3

[10] Hidayatullah, Feminist  Edges of the Qur’an, hal. 3

[11] Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an,hal.34.

[12]  Lubis, Methodologi Posmodernis, hal.112

[13] Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal.35

[14]  Hidayatullah, Feminist  Edges of the Qur’an, hal.  1

[15] Hidayatullah, Feminist  Edges of the Qur’an, hal   9

[16]  Hidayatullah,  Feminist  Edges of the Qur’an, hal. 7.

[17]  Hidayatullah,  Feminist  Edges of the Qur’an, hal. 8

[18] Amina Wadud, Alternatif Qur’anic interpretation and Status of Muslim Woman dalam Windows  of Faith Moslem Woman Scholar-Activist in North America. Ed. Gisela Webb,(Syracusse: Syracusse University Press 2000).  

[19]  Gadamer, Truth and method, hal.6

[20]  Wadud, Qur’an and Woman, hal. xii

[21]  Wadud, Qur’an and Woman  hal. 2

[22]  Wadud, Qur’an and Woman  hal. xiii

[23]  Nasaruddin Umar, Arqumen Kesetaraan Gender: Perspektif   Alquran (Jakarta : Paramadina, 1999).

[24]  Musdah Mulia, Muslimah Sejati Menempuh Jalan Islami, Meraih Ridha Illahi, ( Bandung : Marja , 2011),  hal.   98.

[25] Wadud, Qur’an and Woman  hal. 130

[26] Wadud, Qur’an and Woman  hal. 2

[27] Wadud, Qur’an and Woman  hal.  5

[28] Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 65

[29]  Amina Wadud, Qur’an and Woman, hal xii

[30]  Hidayatullah, Feminst edges of the Qur’an, hal. 110- 122

[31] Wawancara  dengan Amina Wadud melalui email tanggal 28 Maret 2014.

[32]  Musdah Mulia, Muslimah Sejati, hal 21-61