Sisi religius R.A. Kartini

Setiap tiba guliran waktu  21 April, kita ingat Raden Ajeng Kartini, pahlawan nasional.

Ibu kita Kartini

Pendekar isteri

Pendekar kaumnya

Untuk mulia.

Itu sepenggal lirik lagu Ibu Kartini yang menggoreskan jejak-jejak perjuangannya dalam  meningkatkan derajat kaum perempuan.

Dalam buku “Habis gelap timbullah terang”,karya Armin Pane, kita bisa menelusuri pemikiran dan perjuangan Kartini untuk memajukan perempuan. Pengalaman dan pengetahuannya sebagai perempuan dituangkannya dalam surat-surat pada Stela sahabat Belandanya.  Surat­ surat itulah yang dibukukan yang melukiskan jejak jejak perjuangan Kartini.

Membaca ulang surat-surat Kartini, selain dapat dipahami situasi umum kehidupan sosial saat itu, juga dapat ditelusuri pemikiran Kartini tentang peradaban  Islam. Peradaban Islam pada zaman Kartini  masih kental dengan kultur Hindu-Budha  yang menimbulkan konsepsi yang dikenal dengan Islam Kejawen. Waktu itu dilarang untuk memahami kandungan isi Al-Quran. Dan Islam melarang umatnya mendiskusikan agamanya dengan umat lain.

 Kartini merasa bingung dan kecewa.

 “ Aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tak boleh mengerti dan memahaminya ”, tulis Kartini dalam salah satu suratnya.

“ Al-Quran terlalu suci sehingga tidak boleh diterjemahkan dalam bahasa apapun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini, tidak ada yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruhku menghafal bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang saleh pun tidak apa-apa asal menjadi orang baik hati,” tulis Kartini pada sahabatnya Stela.

Suatu hari Kartini  berbincang-bincang dengan seorang kiyai yang diundang ke kediamannya.

“Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?”, tanya Kartini.

 Kiai itu tertegun mendengar pertanyaan  Raden Ajeng Kartini. Sang Kiyai makin tertegun ketika Kartini berkata:

” Kenapa para Ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Percakapan ini telah mengetarkan Kiaim sehingga menggugah untuk melakukan pekerjaan besar, yaitu menafsirkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa.

Sejak itu, Kartini melakukan perjalanan transformasi spiritualnya, ia bertekad untuk memperbaiki citra Islam yang kerap dalam ruang perdebatan kala itu. Bahkan, Kartini kembali mengirim surat-surat kepada teman-temannya dengan banyak mengulang “Dari gelap menuju cahaya” dalam bahasa Belanda Door Duisternis Toot Lict. Kalimat ini merupakan pemikiran Kartini dari serapan makna Q.S. Al-Baqarah ayat 257, yaitu “Orang-orang yang dibimbinng Allah dari gelap menuju cahaya (iman)”.