RELEVANSI HERMENEUTIKA BAGI FEMINISME

Hermeneutika  belum banyak ditulis di Indonesia. Hermeneutika secara umum dipahami sebagai teori penafsiran atau interpretasi, belum mendapat perhatian para ilmuan. Tapi masih cukup menggembirakan, karena dari yang tidak banyak itu,  ada yang memberi perhatian kepada hermeneutika feminisme. Feminisme sebagai suatu studi atau teori tentang keadilan gender, juga  belum mendapat perhatian. Dengan bangkitnya hermeneutika, studi feminis  yang selama ini dipinggirkan, diangkat ke dunia akademis. Hermeneutika memberi dukungan metodologis terhadap studi feminis.    

 Dalam sejarah filsafat,  istilah hermeneutika telah diperkenalkan pada  abad  6 SM  oleh Homeros, seorang  penulis epos Yunani. Kemudian  istilah ini digunakan oleh  Plato, Aristoteles dan filsuf -filsuf mazhab Stoa dalam tulisan-tulisan mereka. Filsuf-filsuf ini menguraikan pentingnya hermeneutika dalam perbincangan filsafat. Namun, pemahaman dan penafsiran teks yang merupakan perhatian utama hermeneutika selama ini terbenam dalam teori-teori positivisme.

  Awal abad 20  hermeneutika mulai menjadi perbincangan  ramai dalam disiplin ilmu sosial dan humaniora.  Dengan munculnya buku-buku dan disertasi yang menggunakan  hermeneutika sebagai teori penafsiran, menunjukkan kebangkitan kembali hermeneutika. Bila selama ini hermeneutika hanya menjadi perbincangan dalam  filsafat, kini  mulai digunakan dalam disiplin ilmu sosial dan humaniora. Hermeneutika diperlukan sebagai teori penafsiran dan sebagai asas asas universal pemahaman.  Kebangkitan hermeneutika memberi arah baru  bagi perkembangan ilmu sosial dan humaniora.

Ilmu pengetahuan dikelompokan atas : Ilmu alam (naturwissensachten ) dan ilmu sosial ( giesteswissenchaften). Ilmu alam bersifat eklaeren (menjelaskan),nomotetis dan merupakan hard-science. Ilmu sosial, bersifat verstehen (pemahaman) interpretative  dan merupakan soft- science. Penelitian ilmiah  menggunakan metodologi agar dapat dipertangungjawabkan. Rorty  membagi   metodologi ilmu pengetahuan atas 2  kategori : metodologi fundasional   (rasionalisme, empirisisme, kritisisme kant,positivisme ) dan metodologi anti fundasional ( post positivisme,teori kritis, posmodernisme). Ilmu pengetahuan berkembang mulai dari tahap  Rasionalisme, Empirisisme, Kritisisme, dan Positivisme, menggunakan  metodologi fundasional. Selanjutnya, tahap   Post Positivisme,Teori Kritis dan Posmodernisme disebut menggunakan  metodologi  anti fundasional.  Positivisme merupakan perkembangan  terakhir ilmu pengetahuan yang menggunakan metodologi fundasional.

Pemikiran Positivisme digagas oleh Agust compte (1798-1857). Compte beranggapan bahwa Positivisme adalah  tahap  puncak pemikiran manusia secara ilmiah. Pada tahap Positivisme, pertanyaan-pertanyaan filosofis, seperti  bagaimana mengenal realitas, apa itu manusia, apa itu masyarakat dan bagaimana hidup bersama, tidak bisa lagi dijawab secara rasionalitas  spekulatif seperti pada zaman Plato, tapi harus diletakkan pada  fundasi yang  dapat dipertanggung- jawabkan secara metodologis.

Prinsip-Prinsip  Verifikasi, Unified Science, siklus empiris. Sangat diagungkan dalam Positivisme. Positivisme hanya  mengakui fenomena yang dapat diamati sebagai sumber pengetahuan. Menurut Compte, ilmu pengetahuan berfungsi untuk mengembangkan masyarakat dan kebudayaan. Maka itu, klaim-klaim  metafisik dari ilmu pengetahuan harus disingkirkan. Filsafat sosial yang berkembang sejak dari Plato ,Aristoteles dan lainnya, dianggapnya  sebagai  pemikiran yang bersifat normatif dan spekulatif, tidak  memenuhi syarat ilmiah. Positivisme menempatkan ilmu hanya menginventarisasi fakta-fakta, tidak bergaul dengan pemikiran-pemikiran  transendental.

Bagi Positivisme manusia atau masyarakat sama dengan alam. Maka itu,  ilmu-ilmu sosial harus  menggunakan metode ilmu  Alam. Compte berdiri di garis terdepan menggagas metode ilmu alam untuk ilmu sosial. Kehidupan manusia dan prediksi masa depannya harus dijelaskan secara empiris. Hanya penjelasan empiris yang disebut ilmiah dan membuat  ilmu pengetahuan  memiliki  fundasi yang kuat. Positivisme   meletakkan teori sosial pada satu prinsip dasar, Grand Theory. Hanya ada satu realitas, satu metode dan satu paradigma dan bermuatan metanarratif.   

Kritik terhadap Positivisme akhirnya muncul juga. Positivisme dipandang   menghilangkan keunikan manusia. Manusia direduksi demikian rupa, sehingga yang tersisa hanyalah pengalaman indrawi dan  akal budi. Sementara fenomena manusiawi, seperti fiksi,  imajinasi dan hal-hal transendental tidak mendapat ruang.  Dengan munculnya fisika quantum  yang membawa prinsip ketidakpastian, maka kekuatan prediksi menjadi hilang. Penjelasan tentang masa depan manusia secara empiris jelas tidak memungkinkan.

Dalam situasi yang rumit ini, hermeneutika hadir memenuhi tugasnya. Hermeneutika bangkit dari mati surinya yang demikian lama. Bangkitnya hermeneutika memberi petunjuk bahwa ilmu pengetahuan Positivisme yang berteraskan Emprisisme dan Rasionalisme mengandung banyak kelemahan. Positivisme hanya mencari kebenaran objektif sesuai teori, sementara kebenaran yang terdalam tidak tergali.  .  Menurut penganjur-panganjur  hermeneutika, kebenaran objektif itu tidak ada, karena kebenaran yang diperoleh adalah kebenaran  di jantung teori.  Hermeneutika menelusuri makna terdalam atau makna bathin teks, sehingga diperoleh kebenaran  genuin. Kebangkitan hermeneutika melahirkan minat dan semangat untuk meneliti teks-teks yang signifikan dalam sejarah manusia, termasuk sejarah perempuan.

Sejarah perempuan adalah sejarah penindasan. Bentuk penindasan terhadap perempuan di setiap kultur berbeda-beda, tidak bisa dijelaskan secara universal, tapi harus dipahami sesuai kondisi sosial historisnya. Sumber penindasan terhadap perempuan  juga beragam. Ada yang berasal  dari teori  ilmu pengetahuan seperti ilmu-ilmu sosial yang masih bermuatan metanarratif.  Sumber penindasan terhadap perempuan juga bisa berasal dari   tradisi dan  hukum ( hukum agama dan  negara). Terdapat  banyak bias gender dalam tradisi, hukum agama dan negara.  

Sejak tahun 1990, feminis Barat (Nancy Fraser dan Linda Nicholson)   merekonstruksi teori feminisme, dari metodologi fundasional yang bersifat universalitas dan essensialis ke  arah metodologi anti fundasional, yang menolak universalitas dan essensialis (pemikiran Posmoderen). Kedua tokoh ini menekankan perbedaan interpretasi dengan pendekatan hermeneutika berbasis feminis.  Pemikiran mereka cenderung berbentuk politik sehingga disebut hermeneutika politik. Tujuannya adalah untuk   mereformasi teori politik dan meredefinisikan konsep keadilan.

Dalam dunia yang ditertibkan oleh global idea, prinsip-prinsip hermeneutika berbasis feminis  mempengaruhi para intelektual feminis Islam. Mereka mulai meneliti sumber bias gender dalam hukum Islam, terutama hukum keluarga. Dengan pendekatan hermeneutika dilakukan studi Alquran terkait perempuan. Mereka  mereinterpretasikan ayat-ayat Alquran dari perspektif feminis sehingga memproduk tafsir feminis. Tafsir feminis adalah tafsir tidak  bias gender tapi bermuatan  keadilan gender.  Para Intelektual feminis Islam menawarkan hermeneutika yang berpihak pada keadilan gender atau hermeneutika feminisme.  

Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa ada kaitan erat antara bangkitnya hermeneutika dengan feminisme. Hermeneutika  memberi dukungan metodologis terhadap studi feminisme. Feminisme  sebagai suatu studi atau teori tentang keadilan gender  selama ini dipinggirkan, kini diangkat ke dunia akademis. Kajian feminisme atau kajian perempuan diterima sebagai studi baru di dunia akademis. Dengan pendekatan hermeneutika, feminisme mengajukan konstruksi konsep-konsep baru kehidupan manusia. Tentu saja konsep-konsep baru kehidupan yang berperspektif feminis atau perempuan.  

Translate ยป