Politisi era digital

Namaku Dona. Kata orang wajahku mirip  Doni. Aku dan Doni bukan adik – kakak, kami pasangan suami -isteri. Doni politisi yang sibuk. Dia  politisi era digital, politisi di zaman edan sosmed ini  sibuk membangun branding, mengejar citra. Sering  mendramatisir berbagai fakta, agar tampak menyentuh walaupun menabrak  logika.  Melalui sosmed semua itu mudah dilakukan.    

Aku dan Doni  memiliki cara pandang yang berbeda pada tiap  masalah. Tetapi aku dan Doni  dapat berbagi makna dan impak kedewasaan. Aku lebih condong  melihat persoalan secara teoritis, sedangkan Doni lebih banyak dalam penerapan. Aku  menjelaskan doktrin, Doni lebih mengartikulasikan praktek . Aku  mengemukakan berbagai pandangan dan pendapat, Doni  bergaul dengan berbagai pandangan dan pendapat tersebut.

Cara pandang kami berbeda. Aku seorang guru, dia politisi.  Cara pandang berbeda inilah yang membuat kami sangat akrab.  Berkomunikasi  merupakan alat  utama  mempererat hubungan ini. Kami berkomunikasi dari soal remeh temeh hingga merespon peristiwa politik aktual. Sekalipun sikap dasar manusia cenderung  menekankan egoisme masing-masing, tetapi komunikasi kami sering sampai menyentuh ruang eksistensial.

Ketika kami berbincang merespon kerusuhan yang terjadi di Papua yang kami saksikan lewat televisi,   waktu itu masih dalam suasana Agustusan, peringatan Kemerdekaan Indonesia, terjadi  peristiwa di Malang dan Surabaya yang berbuntut kerusuhan Papua. Kerusuhan itu berbuntut pembakaran Gedung DPRD Papua Barat.

“ Bila kita ingat pesan  Bung Karno tentang Persatuan Bangsa, membuat hati bergetar”, kataku tatkala aku dan Doni berbincang bincang  mengenai kerusuhan  berbasis sara itu.

“Bung Karno memesankan bahwa  Republik Indonesia, bukan milik kelompok manapun, tidak milik kelompok agama atau kelompok etnis,  adat dan tradisi apa pun, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”,  kataku berapi-api, mengulik rasa nasionalisme Doni.  

“Itukan jargon  lama, kata Doni acuh tak acuh.  

“Ini dianggap lumrah. Telah puluhan tahun begitu. Kita masih merasa asing untuk menerima bingkai perbedaan. Pada hal kita telah sepakat untuk menjadi sebuah negara kesatuan” sungutku.

Doni diam.

Entah kenapa kali ini dia malas berbincang  tentang  peristiwa politik ini.

 Aku termenung. Muncul   pesan Bung Karno di tempurung kepala.

 “ Saya sadar bahwa saya akan tenggelam. Namun biarkan. Saya rela tenggelam, agar rakyat Indonesia    tetap bersatu, tidak terpecah belah”, kata Bung Karno di akhir masa jabatannya sebagai Presiden RI.

Aku masih termenung. Pikiran liar melompat kesana kesini. Aku ingat narasi-narasi negatif yang dibangun sewaktu kampanye pemilu. Narasi narasi itu  sudah menguras banyak energi persatuan bangsa. Pemilu  usai, harusnya waktu  menjaga dan merawat Indonesia. Tidak perlu energi dihabiskan lagi untuk menebarkan wajah kebencian. Perbedaan pandangan politik sudah saatnya dirajut kembali. Kini saatnya saling bermaafan dan berlomba menebarkan  kebaikan.

Di masa kampanye Pemilu   politisi  sibuk mencari kesalahan-kesalahan lawan politiknya. Percakapan di dunia maya riuh dengan omongan provokatif  dan hoaks. Para  politisi menggiring  masyarakat untuk mencapai tujuannya. Face book, Whats App , twitter dan lainnya digunakan untuk perang mulut antar politisi. Kinerja politik yang tidak santun dan penuh manipulasi menguap kepermukaan. Menjalankan politik dengan penipuan, kebohongan, fitnah  dan ujaran kebencian dianggap biasa.  Berbagai rekayasa  dilakukan untuk mencapai hasil yang ditargetkan. Dulu hanya media mainstream  yang menggoreng isu-isu politik. Sekarang bermunculan spin doctor yaitu orang  yang punya akun dengan banyak follower. Mereka sering mengumbar rasa kebencian secara terus terang  di media sosial.

Politik adalah jalan menuju perjuangan kemanusiaan. Yang penting dalam politik adalah kemanusiaan. Namun , sekarang politik sudah menjadi rimba belantara yang mengandalkan  kekuatan  uang. Berbagai kegiatan politik   pada dasarnya adalah  transaksional yang isinya adalah uang dan  uang.

Aku kaget dari lamunan, ketika cubitan halus mendarat dipipiku. Cubitan Doni. Dari tadi rupanya dia memperhatikan wajahku.

 “  Kok kayaknya berpikir keras, seperti orang mau buat disertasi” ledeknya.

Aku bangkit dan menebar senyum. Tapi suara di kepalaku masih berbisik,

 “ politisi era digital hidup di zaman edan, bukan zaman edannya Ronggowarsito, tapi zaman edannya media sosial.