Hermeneutika feminisme

Poligami dalam Hermeneutika Feminisme

Poligami dalam Hermeneutika feminisme
Hermeneutika feminisme

Di media sosial sedang  ramai dibicarakan tentang aturan  Partai Keadilan Sejahtera (PKS)  yang mempersilakan kader-kader nya melakukan poligami alias beristeri lebih dari satu. Himbauan berpoligami secara terang-terangan ini dipandang sebagai narasi misoginis bagi sebagian orang. Misoginis atau kebencian terhadap perempuan rupanya belum hilang dalam peradaban baru ini. Perempuan masih diperlakukan sebagai objek, pemuas syahwat laki-laki. Padahal dunia perkawinan adalah tempat hidup tenang dalam balutan cinta dan kasih sayang, bukan sekedar menyalurkan kebutuhan biologis.    

Mengenai poligami ini, di media sosial pernah ramai curahan hati  kekecewaan Dian Rose, istri penyanyi Opick. Ketika Opick  menikah lagi secara diam-diam, setelah menikah selama 17 tahun dan telah dikaruniai 6 putra.  Dian meradang dan mengatakan :  “Poligami ngga semudah memuntahkan sperma pada lubang yang baru. Syaratnya berat.“  

Begitu juga yang terjadi pada Teh Nini. Ketika  Aa Gym menikah lagi, media sosial ramai memperbincangkannya. Teh Nini  ogah dimadu dan akhirnya bercerai setelah menikah selama 18 tahun dan dikaruniai anak 7 orang.  Aa Gym salah satu dai kondang Tanah Air melakoni perkawinan poligami, hingga kini  gosip tentang mereka selalu merebak di media sosial.

Dalam doktrin Islam baik itu Alquran maupun Hadis, poligami memang disebutkan secara terang benderang. Ayat yang menjadi dasar adalah Surat An-Nisa ayat 3: “Dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (ketika kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senang: dua, tiga atau empat, jika kamu tidak bisa berbuat adil, maka cukup seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Surat An-Nisa ayat 3 multi tafsir. Ada yang menafsirkan ayat ini memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang ketat. Ada yang menafsirkan poligami  dilarang karena syaratnya sangat berat yaitu harus bisa bersikap adil. Ada yang menafsirkan ayat ini bahwa makna ayat ini  tidak  menganjurkan apalagi mewajibkan poligami.

Membaca ayat ini dengan hermeneutika feminisme yaitu  menafsirkan ayat secara hermeneutis dengan pendekatan feminisme, terlihat  alasan poligami adalah  sebagai pemenuhan kebutuhan seksual laki-laki. Bila satu isteri tidak cukup memenuhi kebutuhannya maka dapat mengambil isteri hingga empat orang. Hal ini jelas perbuatan yang tidak Qurani tapi nafsu tidak terkendali.   Ayat poligami adalah ayat kontekstual, pemahamannya  harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi ketika ayat diturunkan. Kebolehan poligami salah satu solusi kemasyarakatan di Arab abad ke-7 mengenai masalah anak yatim. Tentu hal ini tidak relevan lagi di abad 21 ini. Karena perempuan sudah banyak yang mampu mandiri dan banyak panti dan badan amal yang mengatasi masalah ini.

Poligami merupakan warisan budaya jahiliah, dimana seorang laki-laki dapat menikahi perempuan sebanyak disuka. Kemudian Islam datang, terjadi reformasi. Laki-laki diperbolehkan berpoligami hingga 4 isteri . Hal itu merupakan kebiasaan yang lazim berlaku di masyarakat Arab abad ke-7.  Pada waktu itu, derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Ketergantungan perempuan sangat tinggi pada laki-laki. Sebelum menikah anak perempuan bergantung pada ayahnya, setelah menikah bergantung pada suaminya. Sekarang ini, poligami terlihat  menafikan kemanusiaan perempuan. Perempuan tidak dianggap sebagai manusia utuh dengan segenap potensi kemanusiaannya.

Bila  belajar dan merujuk pada pernikahan Nabi Muhamad secara utuh, beliau menikah monogami (satu istri) dengan Khadijah selama 28 tahun. Kehidupan poligami Nabi hanya 8 tahun. Jika demikian, mengapa bukan masa yang lebih banyak yang diteladani?. Bahkan dengan terang-terangan Nabi tidak mengizinkan puterinya, Fatimah, dimadu oleh suaminya, Ali bin Thalib. Ali pun taat dan hidup monogami sampai Fatimah wafat. Alasan Nabi melarang Ali mempoligami puterinya karena itu menyakiti hati puterinya, bila hati puterinya sakit maka beliau juga sakit.

Membaca historis, Khadijah, feminis Islam Pertama, berjiwa mandiri.  Dia menikah dua kali sebelum akhirnya menikahi Nabi Muhammad. Kedua pernikahan itu dikaruniai anak-anak. Ketika kembali menjanda, ia sangat hati-hati dalam mencari pasangan. Sebagai perempuan sukses dan hebat, tak sedikit pria ingin meminangnya. Tak ingin lagi menderita ditinggal suami, ia memfokuskan diri sebagai orang tua tunggal, hingga akhirnya meminta Nabi menikahinya. Ia jatuh cinta pada Nabi.

Pembacaan ayat poligami dengan hermeneutika feminisme, terlihat bahwa Islam memilih sistem monogami. Tidak ada ayat Alquran yang mengapresiasi perilaku poligami, apalagi mengaitkan poligami dengan ukuran ketakwaan seseorang. Dalam ayat di atas jelas dan tegas menolak poligami “Yang demikian itu (monogami) lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Menyadari bahwa Islam menjadi variabel utama membentuk kesadaran sosial dan sangat berpengaruh terhadap tradisi suatu masyarakat, maka  tidak ada pilihan lain, selain merekonstruksi kembali tafsir kitab-kitab klasik, terutama ayat-ayat gender atau ayat ayat terkait perempuan. Perlu tafsir agama yang sesuai dengan rasa kemanusiaan dan keadaban masa kini. Ketidakadilan terhadap perempuan  merupakan harga kemanusiaan yang tertimbun dalam formasi  penafsiran yang  usang. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman baru terhadap kitab-kitab keagamaan, agar ketidakadilan gender yang berlindung  dibalik legitimasi pesan-pesan agama tidak terus menggejala dalam  kehidupan masyarakat Islam.

Bias gender dalam  doktrin-doktrin agama  perlu dikritisi  dan dikaji ulang. Bias gender dalam pemikiran Islam disebabkan oleh kekeliruan dalam menafsirkan teks-teks agama  karena metode yang digunakan adalah metode tekstual yang sifatnya spekulatif, sepotong -sepotong dan tidak utuh. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru dalam menafsirkan teks-teks agama. Hermeneutika  feminisme merupakan suatu pendekatan baru yang sedang berkembang sebagai metode penafsiran teks berperspektif feminis (perempuan).  Pendekatan dengan hermenutika feminisme menghasilkan tafsir yang relevan dengan adab masa kini.

Dalam dunia dengan teknologi baru di abad ini, tuntutan keadilan gender terutama penghapusan poligami merupakan tuntutan yang serius. Negara negara Islam yang tanggap seperti Tunisia,Turki, Mesir telah melakukan reformasi terhadap hukum poligami. Tunisia merupakan negara Arab pertama yang melarang poligami dan memandang poligami sebagai tindakan kriminal.

Bagaimana dengan Indonesia?.

Di tingkat DPR-RI periode 2009-2014 terjadi perdebatan penolakan Rencana Undang-Undang Kesetaraan dan keadilan Gender (RUU KKG), yang berisi pelarangan poligami.  Perdebatan penolakan terhadap RUU ini diwarnai oleh argumentasi agama yang cukup mendominasi. RUU ini dipandang akan bertentangan dengan ajaran Islam, salah satunya poligami. Namun cukup menggembirakan bahwa saat ini sedang  dibahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Mudah-mudahan Poligami dipandang sebagai salah satu kekerasan seksual. 

Hermeneutika Feminisme sebagai metode penafsiran ayat poligami dalam Alquran  membuka selubung makna bahwa  Alquran menonjolkan keadilan. Hermeneutika Feminisme mengangkat poligami sebagai ketidakadilan gender yang selama ini terpinggirkan dalam pemikiran Islam. Diharapkan  Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menghilangkan aturan yang memperbolehkan poligami bagi kader-kader nya. Himbauan berpoligami secara terang-terangan dipandang sebagai narasi misoginis yang sangat menyakitkan.

Sekian