PERSOALAN GENDER DALAM TAFSIR

Tafsir Alquran dan gender sesungguhnya dua entitas yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri tanpa saling menyapa. Masing-masing entitas ini menghuni  dunianya  sendiri-sendiri. Tafsir Alquran dipandang sebagai hal sakral, sedangkan persoalan gender adalah bersifat profan. Namun, ketika kedua entitas ini dikaitkan dengan ide keadilan gender, maka tersingkap hal-hal yang merugikan perempuan dan melumpuhkan peran-peran publiknya. Karenanya, persoalan gender dalam tafsir Alquran penting dikaji, agar keadilan berbasis gender dapat ditegakkan dalam kehidupan.    

Dalam masyarakat, masih kuat anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Eksistensi perempuan dipandang hanya pelengkap. Karenanya, perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi, bahkan tindak kekerasan dalam berbagai dimensi. Perempuan dilarang menjadi pemimpin, dipojokkan sebagai makhluk domestik, harus rela bila suami berpoligami, diposisikan sebagai objek hukum terutama hukum waris dan perkawinan. 

Pada abad ini, cara berada dan berpikir perempuan sudah dipandang sebagai faktor penting bagi kemajuan peradaban. Namun, hingga kini berbagai fenomena menunjukkan, perempuan masih mengalami diskriminasi dan ketidakadilan.  Perbedaan perempuan dan laki -laki hanyalah  perbedaan biologis, tetapi  kebudayaan dibangun oleh laki-laki. Norma dan peraturan banyak  mengandung ketidakadilan  gender. Tidak dapat dipungkiri, relasi gender merupakan  relasi kuasa. Laki-laki mendominasi perempuan. 

Ada kesamaan  pandangan dari para intelektual muslim yang mengkaji masalah perempuan dalam Alquran, bahwa bias gender dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh problem metodologis. Metode penafsiran klasik, melahirkan pandangan  yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan perempuan. Bias gender dalam penafsiran Alquran dipandang telah memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki.

Dalam upaya mewujudkan keadilan gender,  tokoh-tokoh feminis Islam,seperti  Amina Wadud, Riffat Hassan, Asma Barlas, Musdah Mulia dan lainnya, menawarkan metode hermeneutika feminisme sebagai metode alternatif penafsiran Alquran. Dengan metode ini,tokoh-tokoh tersebut telah  memproduksi tafsir feminis, yaitu tafsir yang berkeadilan gender.

Alquran menyatakan bahwa  eksistensi laki-laki dan perempuan secara ontologis adalah sama, yaitu sama-sama dijadikan Tuhan dari unsur yang satu. Tapi hak dan ketimpangan  gender dalam masyarakat Islam   masih terus berlangsung, seperti ketentuan dalam hukum keluarga, seperti talak, poligami, waris dan saksi.   Maka itu feminis Islam  mengeritik diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.  Ketentuan dalam hukum keluarga Islam  menunjukkan ketidakadilan terhadap perempuan dan membenturkan hukum keluarga dengan hak-hak asasi perempuan. Ketentuan dalam hukum talak, poligami, waris dan saksi  menunjukkan derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan dan relasi gender merupakan relasi kuasa, dimana laki-laki memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan talak dan berpoligami. Sehubungan dengan itu, feminis Islam menggagas untuk  mereformasi  hukum keluarga tersebut agar terwujud kesamaan hak dan kesetaraan gender dalam masyarakat Islam.

Disamping itu, dalam  Islam  masih kuat anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki.  Hal terlihat dari larangan perempuan menjadi pemimpin. Larangan ini  berakar dari tradisi yang menuntut ketaatan perempuan yang sering ditafsirkan dalam bentuk serba membatasi gerak perempuan dalam masyarakat. Ketaatan perempuan pada Allah diukur dari ketaatannya pada laki-laki (suami) dan individualitas seorang perempuan diukur dari posisinya sebagai pelengkap bagi laki-laki.  Seorang perempuan yang lebih independen dan berwawasan luas mungkin akan lebih baik dalam memimpin.

Dalam soal kepemimpinan perempuan, gebrakan seorang feminis Islam, Amina Wadud  sangat terkenal ketika Wadud menjadi imam  dan khotib shalat Jumaat pada tanggal 18 Maret 2005 di sebuah gereja Anglikan, di Synod House, Manhattan, Negara Bagian, New York, Amerika Serikat. Amina Wadud melaksanakan shalat Jumat di gereja  tersebut setelah tiga mesjid  menolak  karena ada ancaman bom terhadap mereka.  Shalat Jumat ini disponsori oleh “Muslim Women Freedom Tour” organisasi pemberdayaan perempuan pimpinan Asra Nomani. Shalat ini dikuti lebih kurang seratus jamaah laki-laki dan perempuan.

Sejak itu, imam (pemimpin shalat)  perempuan  menjadi perdebatan kontemporer di bidang fiqih. Mayoritas ulama Islam menolak imam perempuan dan dipandang sebagai aksi menolak kemapanan dan mengganggu tertib kebenaran. Ulama Islam yang menolak imam perempuan, diantaranya Muhammad Sayyid Thantawi dan Grand Syaikh Al-Azhar, Mesir. Beliau mengajukan keberatan perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki.  Yusuf al-Qardhawi, anggota dari “Muslim Brothers”, menuding Wadud telah menyimpang dari tradisi Islam yang telah berjalan 14 abad. Ia pun menyatakan bahwa keempat, bahkan kedelapan, madzhab mengharamkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Sheik Yusuf al-Qardhawi menegaskan tindakan Wadud menjadi imam shalat melanggar ajaran Islam.  Disamping itu, Majelis ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VII tahun 2005 mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya perempuan menjadi imam bagi laki-laki.

            Disisi lain muncul pandangan bahwa  kesetaraan gender perlu dilakukan melalui perjuangan menjadi imam shalat.  Menurut K.H. Husein Muhammad dan Enggar Yuwono, imam perempuan perlu diperkenalkan.  Musdah Mulia mengatakan imam perempuan dihebohkan karena merupakan fenomena yang belum biasa.

Menilik beberapa hadis (Ibnu Majjah dan al-Baihaki) terdapat pandangan yang mengharamkan perempuan menjadi imam shalat, tapi ada pula hadis yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat seperti hadis HR Daud:

Dari Ummu Waraqah binti Abdillah bin Harits berkata: Rasul saw pernah mendatangi rumahnya dan memberinya seorang muazin dan menyuruh Ummu Waraqah menjadi imam bagi penghuni rumahnya. Abdurrahman mengatakan: “aku benar-benar melihat muazinnya adalah seorang laki-laki tua”. 

Dengan landasan hadis HR Daud, perempuan boleh menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki yang telah dewasa. Untuk bisa menjadi imam, Ummi Warakah memiliki kapasitas sebagai imam, disamping bacaan ayat yang fasih, tidak menyalahi majrai dan dia hapal Alquran. Disamping HR. Daud, ada ulama yang berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki seperti Abu Tsaur al Muzanni dan ath-Thabarany.     

Untuk menunjukkan bahwa Alquran tidak membedakan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan, dapat dilihat dari gambaran  figur ideal seorang muslimah, yaitu perempuan yang memiliki prestasi dan kemandirian dalam bidang kehidupan. Tokoh-tokoh perempuan yang dicatat sejarah dan disebut dalam Alquran, seperti Maryam, Ibu Musa dan Bilqis Ratu Seba. Alquran mengangkat tokoh-tokoh perempuan tersebut untuk menunjukkan bahwa perempuan menurut Alquran dapat menerima wahyu (Maryam dan Ibu Musa) dan perempuan bisa menjadi pemimpin seperti Bilqis Ratu Seba.   Musa diputuskan Allah untuk menjadi nabi, agar tidak dibunuh Firaun, maka Allah menurunkan wahyu kepada ibu Musa agar menjatuhkan bayinya, Musa, ke sungai dengan janji Allah bahwa bayi itu akan dikembalikan kepada ibunya. Dengan riwayat dari Alquran ini, maka perempuan dapat berperan sebagai nabi dan dapat menerima wahyu dari Tuhan.  Demikian pula dengan Siti Maryam, satu-satunya perempuan yang tanpa proses biologis normal bisa mengandung dan melahirkan anak. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya seorang ibu (perempuan) bagi kehidupan manusia.

Perjuangan menjadi imam perempuan menunjukkan bahwa pemimpin tidak hanya laki-laki, tapi perempuan juga punya hak untuk memimpin. Larangan perempuan menjadi pemimpin berakar dari tradisi yang menuntut ketaatan perempuan yang sering ditafsirkan dalam bentuk serba membatasi gerak perempuan dalam masyarakat. Ketaatan perempuan pada Allah diukur dari ketaatannya pada laki-laki (suami) dan individualitas seorang perempuan diukur dari posisinya sebagai pelengkap bagi laki-laki.  Seorang perempuan yang lebih independen dan berwawasan luas mungkin akan lebih baik dalam memimpin.

Dalam masyarakat, masih kuat anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Karenanya, persoalan gender dalam tafsir Alquran penting dikaji, agar keadilan berbasis gender dapat ditegakkan dalam kehidupan kekinian.