Persepsi

Kultur digital adalah rumah kesadaran baru umat manusia . Humanitas menghadapi transformasi yang dashat. Tubuh berinkarnasi dalam kata dan data. Hampir semua aspek kehidupan kini menggunakan teknologi digital. Sosial media menyuguhkan berbagai informasi, bahkan ada dakwah digital.

Informasi menjadi  salah satu kebutuhan utama manusia. Tapi tidak semua informasi yang ditampilkan sosial media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi tersebut lahir dari manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru melahirkan  prasangka dan kesalahan persepsi bagi pembacanya. Dunia kita adalah persepsi kita, yaitu dunia  sebagaimana kita mempersepsinya.

Persepsi  berasal dari bahasa latin perceptio, percipio, artinya  tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan (Wikipedia). Persepsi bergantung pada fungsi kompleks sistem saraf, terjadi di luar kesadaran. Persepsi dalam filosofi adalah sejauh mana unsur-unsur sensori seperti suara, aroma, atau warna ada dalam realitas objektif, bukan dalam pikiran perseptor.

Persepsi yang ada di kepala kita sering tidak cocok dengan realitas. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Ada orang merasa bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak. Orang yang hidup kesadaran palsu tentang dunia berpendapat bahwa persepsi sama dengan realitas.

Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi sesat yang bercokol di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya begitu dangkal, karena hanya mengikuti saja kesesatan berpikir sehari-hari yang ada di dalam masyarakat luas. Hidup orang ini dipenuhi prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan masyarakat sebagai keseluruhan.

Sosial media membentuk persepsi masyarakat. Media sosial memberitakan suatu peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu dan menutupi sudut pandang lainnya. Suatu pemberitaan menjadi persepsi. Lalu persepsi mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan publik yang menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan, persepsi  mengental menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi identitas sosial suatu kelompok.

Sehubungan dengan itu perlu membangun opini cerdas. Kita bebas mengakses berbagai informasi di internet, tapi kita harus punya opini cerdas. Jangan mudah disetir oleh media sosial  yang tak bertanggung jawab. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka yang bercokol di otak kita, karena serbuan berita-berita tak bertanggungjawab itu. Masyarakat yang cerdas hanya bisa dibangun oleh warga yang memiliki persepsi dan opini yang cerdas.

Bagaimana membangun Opini Cerdas ?

       Jawabnya : sikap kritis dalam menerima berita sehari hari di sosmed.

Kita harus membangun sikap kritis dan sikap curiga yang sehat. Filsafat  mengajak manusia untuk bisa berpikir secara kritis, rasional, sekaligus juga menata pikiran agar jelas pemilahannya. Tapi orang banyak alergi terhadap filsafat. Filsafat dipandang akan membawa orang ke arah atheis. Padahal, filsafat dapat juga membawa orang ke arah sangat religius. Dalam Islam, pertentang antara filosof dan ulama dicatat oleh sejarah. Kaum filosof diwakili oleh Ibnu Rush dan kaum ulama diwakli oeh Al-Ghazali. Kaum ulama menang, filsafat dilarang.

Berpikir kritis diperlukan untuk melindungi akal dari berbagai kebohongan. Dengan berpikir kritis dapat membantu generasi muda agar bisa berpikir lebih maju. Generasi harus membuka diri terhadap ide ide baru.