
Perempuan Korban KDRT Verbal dan Psikis jadi Terdakwa

Beberapa hari ini media sosial diwarnai oleh berita heboh KDRT. Seorang isteri berurusan dengan hukum gara-gara memarahi suaminya yang mabuk. Karena memarahi suami, isteri menjadi terdakwa di Pengadilan. Sang suami di persidangan mengungkapkan bahwa dirinya sering dimarahi dengan kata-kata kasar dan sering diusir oleh terdakwa. Sementara si isteri menyatakan bahwa sang suami sering mabuk dan menelantarkan keluarga.
Beberapa pihak menganggap kasus ini sangat aneh. Kasus KDRT psikis yang dilakukan oleh seorang isteri pada suaminya bergulir sampai ke pengadilan. Kasus ini ramai dibacarakan netizen dan berbagai pihak ikut mengawasinya. Ada yang menyesalkan proses hukum yang terjadi, karena dipandang yang menjadi korban KDRT psikis adalah sang isteri. Kasus ini mencederai logika dan keadilan publik.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) digariskan bahwa ruang lingkup tindakan KDRT adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman.
Memahami ruang lingkup Undang-Undang KDRT, jelas undang-undang ini diterbitkan untuk melindungi perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga sering korbannya perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya kekerasan fisik tapi juga ada kekerasan verbal dan mental (psikis). Masih banyak orang yang belum tahu bahwa sikap mengancam, memaki dan menelantarkan termasuk dalam kategori kekerasan verbal dan psikis. Karena tidak pernah dipukul, isteri tidak pernah merasa bahwa apa yang dilakukan terhadap dirinya termasuk dalam kategori kekerasan dalam rumah tangga.
“ Orang tak pernah tahu bagaimana sesak yang kutanggung karena sikap suamiku. Hidup kurasa pahit, seolah menjadi tawanan. Kalau aku meninggalkan rumah, suamiku selalu mengecekku, bertanya aku di mana dan bersama siapa dan berapa uang yang aku habiskan. Suamiku sering mengejek, menghina dan mengancamku “.
Keluhan senada di atas sering kita dengar, baik secara langsung maupun postingan di media sosial. Mengamati berbagai fenomena sosial dan fokus pada kasus-kasus KDRT, akan banyak terbaca bagaimana derita perempuan dalam penindasan budaya patriarki. Perempuan senantiasa menjadi korban KDRT, karenanya, perempuan mendapat perhatian khusus dari Pemerintah dengan menerbitkan Undang -Undang Republik Inonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam klausul Menimbang huruf c dari undang-undang ini menyebutkan bahwa :
“ korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan”.
Maka itu, berita perempuan korban KDRT menjalani proses hukum sebagai terdakwa mengebohkan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung dari anggota DPRRI hingga kejakasaan Agung turun tangan. “heboh KDRT. Sungguh menabrak akal sehat. Ternyata masih banyak pihak termasuk penegak hukum belum memahami relasi kuasa dalam kasus-kasus KDRT”, demikian upatan banyak pihak.
Entah apa salah perempuan, perempuan selalu ditindas. Dalam masyarakat Yunani kuno, martabat perempuan dipandang rendah. Perempuan hanya sebagai alat penerus generasi, pembantu rumah tangga, dan pelepas nafsu seksual laki-laki. Filosof Demosthenes berpendapat perempuan hanya berfungsi melahirkan anak. Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya. Plato menilai perempuan tidak punya kompetensi apa-apa, hanya melakukan pekerjaan tak bernilai sambil diam tanpa bicara.
Dalam Islam, zaman klasik (abad ke 7), tafsir Alquran yang dikodifikasi sebagai sistem hukum umat Islam, telah memposisikan perempuan sebagai pihak yang dirugikan. Perempuan dipandang tidak sederajat dengan laki-laki. Perempuan dilarang menjadi pemimpin, dipojokkan sebagai makhluk domestik, harus rela bila suami berpoligami.
Zaman now, zaman teknologi tinggi. Informasi bagai air bah. Pandangan dunia sudah berubah. Suatu kondisi pos humanisme telah membangkitkan sebuah kesadaran sosial baru. Salah satunya adalah kesadaran gender yang melahirkan ideologi Feminis yang disebut Feminisme. Sebagai sebuah teori, Feminisme merupakan suara atau pandangan perempuan di dunia ilmu pengetahuan dan sebagai praktek, Feminisme adalah sebuah perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan gender.
Gerakan sosial kesetaraan dan keadilan gender sudah berlangsung lama dan sampai hari ini masih tetap bergema. Tujuannya pasti, Stop kekerasan terhadap Perempuan termasuk di Lingkungan Peradilan Umum.
Dalam menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Sejak itu, pemerintah tetap berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dengan berbagai upaya, antara lain melindungi perempuan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Kesetaraan dan keadilan Gender dalam aturan hukum di Indonesia, tentu kita harap terwujud impelementasinya dalam realitas. Putusan hukum Bias Gender, yaitu keberpihakan kepada laki-laki seperti dalam kasus heboh KDRT yang sedang viral saat ini patut dihentikan. Sungguh menggilas akal sehat, perempuan korban KDRT verbal dan psikis, menjadi terdakwa.