Perempuan dalam “ Bumi Manusia”

” Bumi Manusia ” , sebuah filem Indonesia ( tahun 2019 ). Diangkat dari buku Bumi Manusia ( tahun 1980) terbitan Hasta Mitra. Penulisnya Pramoedya Ananata Toer. Penulis asal Blora, Jawa Tengah ini menulis karyanya  di Pulau Buru, Maluku, tempat pembuangannya  tanpa pengadilan.  Penulis ini menjadikan pembuangannya dari Agustus 1969 hingga November 1979,  sebagai momentum untuk terus berkarya.  Bumi Manusia, Novel Sejarah Karya Pramoedya ini pernah dilarang pemerintah  Orde Baru untuk dibaca dan disebarkan.

Buku itu sarat dengan pesan tentang  semangat anti-feodalisme dan anti-imperialisme dan berlatar zaman pra kemerdekaan Indonesia.  Pemerintah Orde Baru melarang membaca buku itu. Pada hal tidak ada sedikit pun mengampanyekan ideologi komunis atau Marxis-Leninis yang telah dilarang melalui TAP MPR,  sehingga Bonar Tigor Naipospos, dibui 8,5 Tahun penjara dengan tuduhan mengedarkan buku Bumi  Manusia. Bambang Isti Nugroho divonis 8 tahun dan Bambang Subono dibui 7 tahun.  Bahkan, Maxwell Lane, Staf Kedutaan Besar Australia di Jakarta  ketika menerjemahkan Bumi Manusia ke dalam bahasa Inggris, dipulangkan ke negaranya. (liputan 6 petang).

Filem ini mengisahkan percintaan dua anak manusia Minke dan Annelies di  atas pentas pergulatan tanah kolonial awal abad 20.  Minke  pemuda pribumi. Dia satu-satunya pribumi dizaman itu yang diperbolehkan masuk sekolah Belanda, HBS. Akses ini diperoleh Minke karena dia pintar menulis. Dia penulis bagi  surat Kabar  Belanda  yang terbit masa itu. Pemikirannya revolusioner, menyadarkan rakyat Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajahan. Sehingga tulisannya ditakuti. Teman-teman sekolahnya banyak yang tidak suka padanya. 

 Sementara Annelies adalah seorang gadis Indo Belanda anak seorang Nyai. Posisi Nyai di masa itu dianggap sama rendah dengan binatang peliharaan. Sekarang  disebut sebagai isteri simpanan. Nyai, ibu yang melahirkan Annelis adalah sosok yang unik. Di satu sisi, ia dipandang rendah oleh bangsanya sendiri karena jadi gundik seorang bule. Namun, kemampuannya bicara Belanda dan kepiawaiannya memimpin perusahaan membuat perempuan itu setara dengan  perempuan  Eropa  yang dianggap mulia. Nyai, berpikiran revolusioner. Dia  menghadapkan Minke pada kenyataan bahwa bangsanya   dipandang rendah.  Hebatnya lagi, ia mengizinkan seorang pribumi menjalin cinta dengan putrinya yang indo.

Sebagai isteri simpanan, pernikahan Sang Nyai dan Herman Mellema, ayah Annelies dianggap tak ada. Ketika Herman Mellema meninggal pengadilan kolonial memutuskan, seluruh harta benda bahkan Annelies pun harus dikembalikan ke istri sah Tuan Mellema yang ada di Belanda. Minke dan Nyai Ontosoroh melawan sejadi-jadinya. Dukungan mengalir dari kaum pribumi dan bangsa Eropa yang masih punya hati. Segala argumen dikemukakan. Perlawanan juga dilakukan lewat kata-kata, lewat tulisan. Namun, mereka kalah.

“Kita kalah, Ma,” bisik Minke, usai pengadilan menjatuhkan vonis.

“ Kita telah melawan, Nak, Nyo. Kita telah melawan dengan sebaik-baiknya dan  sehormat-hormatnya,” jawab Nyai.

Meski kalah, setidaknya, mereka telah melawan.