PENERAPAN METODE HERMENEUTIKA FEMINISME PADA AYAT-AYAT GENDER DALAM ALQURAN

Kajian Alquran oleh tokoh-tokoh feminis muslim kontemporer menawarkan hermeneutika feminisme untuk metode penafsiran Alquran. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk menunjukkan bahwa bias gender dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh masalah metodologis. Epistemologis Alquran secara inheren adalah anti patriarki dan memberi legitimasi atas tindakan untuk merumuskan teori tentang kesetaraan gender.  Hermeneutika feminisme disusun atas  dasar pengalaman/persepsi perempuan dan menggunakan kerangka teori feminisme, menggunakan metode kontekstualisasi historis, intratekstualitas dan paradigma tauhid.

Dengan lima unsur dasar di atas, hermeneutika feminisme dapat diterapkan pada ayat-ayat gender dalam Alquran atau ayat-ayat yang terkait perempuan. Bagaimana metode ini diterapkan dapat disimak dari reinterpretasi (penafsiran ulang) enam ayat-ayat gender yang dilakukan oleh Dr. Amina Wadud dalam bukunya Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective yang terbit tahun 1992. Ayat-ayat gender tersebut yaitu :
1. Qs.Annisa/4 :1 tentang Penciptaan
2. Qs. Annisa/4 : 34 tentang Kepemimpinan
3. Qs. Al-Baqarah/ 2 : 228 tentang talak
4. Qs. Annisa/4 :3 tentang poligami
5. Qs. Annisa/4 :11 tentang pembagian warisan
6. Qs. Al-Baqarah/ 2 : 282 tentang kesaksian

Penafsiran ayat tentang penciptaan (Qs. Annisa/ 4:1)

Berkaitan dengan ayat penciptaan (Qs. Annisa/4:1) dengan menggunakan metode hermeneutika feminisme, khususnya melalui pembacaan intratekstual serta analisis linguistik terhadap kata-kata kunci : ayat,nafs, min dan zawj, ditemukan bahwa perempuan tidak diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Alquran tidak membedakan penciptaan antara laki-laki dan perempuan. Kejadian perempuan dan laki-laki adalah sama, yaitu sama-sama berasal dari nafs wahidah yaitu roh yang sama dan merupakan bagian dari suatu sistem kesatuan yang berpasangan untuk menjadi khalifah fil-ardh dan sama-sama bertangungjawab terhadap tugas kekhalifahan itu. Kesimpulannya, Alquran tidak membedakan penciptaan antara laki-laki dan perempuan. Alquran menyatakan bahwa manusia diciptakan berpasangan (dualisme penciptaan). Selanjutnya, dengan penerapan paradigma Tauhid, salah satu unsur hermeneutika feminisme ditemukan bahwa manusia ciptaan-Nya adalah setara. Hanya Allah Yang Maha Tinggi. Konstruksi hirarkhis dalam kehidupan masyarakat, dimana laki-laki dipandang lebih tinggi derajatnya dari perempuan melanggar paradigma  tauhid.

Penafsiran ayat tentang Kepemimpinan (Qs. Annisa/ 4:34)
Secara umum  ayat kepemimpinan (Qs. 4/Annisa:34) ditafsirkan bahwa laki-laki pemimpin atas perempuan. Ketika ayat ini ditafsir ulang dengan metode hermeneutika feminisme, ditemukan bahwa ayat ini telah ditafsirkan secara sempit. Dengan menganalisis konsep-konsep dalam ayat ini seperti Qawwamuuna, nusyuz dan Qanitat serta melihat korelasi antar konsep-konsep tersebut, maka kepemimpinan laki-laki atas perempuan bersyarat dan ditujukan untuk kepemimpinan rumah tangga. Bila suami tidak mampu menafkahi dan melindungi isterinya, maka laki-laki tidak menjadi pemimpin atas perempuan. Sekalipun konsep kepemimpinan laki-laki didukung oleh konsep nusyuz (pemberontakan perempuan) tapi nusyuz memiliki lapisan makna dan makna yang telah digunakan adalah makna yang merugikan perempuan. Dengan metode hermeneutika feminisme, hasil  penafsiran ayat ini adalah bahwa siapa saja bisa menjadi pemimpin asal memiliki kemampuan, larangan terhadap perempuan untuk menjadi pemimpin tidak ada landasan yang jelas dan tidak ada satu ayatpun dalam Alquran yang melarang perempuan untuk menjadi pemimpin.

Penafsiran ayat tentang Talak (Qs.Al-Baqarah /2:228)
Dengan metode hermeneutika feminisme, khususnya menerapkan metode konstektualisasi historis ditemukan bahwa tafsir ayat tentang talak ini  tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ayat ini ditafsirkan  sesuai dengan kondisi sosial  zamannya yaitu masyarakat abad 7 di jazirah Arab, dimana perempuan dipandang rendah dan diperlakukan secara sewenang-wenang. Ketika tafsir ini dikodifikasi menjadi hukum. maka ketentuan dalam hukum talak menunjukkan derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan, dimana laki-laki memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan talak. Hal ini merupakan suatu ketidakadilan. Hak sepihak untuk menjatuhkan talak itu tidak adil. Hasil penafsiran ayat talak ini dengan menggunakan metode hermeneutika feminisme, khususnya metode kontekstualisasi historis  dapat disimpulkan bahwa menjatuhkan talak sewenang-wenang adalah tidak adil. Tidak ada petunjuk Alquran bahwa wewenang menjatuhkan talak tidak ada pada perempuan.

Penafsiran ayat tentang Poligami (Qs. Annisa /4:3)
Tafsir hermeneutika feminisme tentang ayat poligami memberi kesimpulan bahwa tidak ada dukungan langsung dari Alquran terhadap poligami. Pandangan yang membolehkan poligami didasarkan pada masalah finansial. Karena perempuan tidak bisa memenuhi kebutuhan finansialnya, maka laki-laki boleh beristeri lebih dari satu. Ayat tentang poligami adalah ayat kontekstual, pemahamannya harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi ketika ayat diturunkan. Kebolehan poligami adalah salah satu solusi kemasyarakatan pada masyarakat Arab abad ke 7 (masalah anak yatim). Suatu teks yang dikonstruksi untuk suatu kasus tertentu tidak dapat digunakan secara umum dalam segala situasi dan kondisi. Selanjutnya syarat adil dalam poligami sulit dipenuhi, karena adil dalam perkawinan bukan hanya masalah finansial tapi kasih sayang, perhatian dan penghormatan sulit dibagi secara adil terhadap pribadi-pribadi (isteri-isteri). Maka itu, perkawinan ideal dalam Islam adalah monogami.
Secara historis dapat dilihat bahwa tradisi dalam masyarakat Arab abad ke 7, seorang laki-laki boleh beristeri sebanyak-banyaknya. Islam datang, laki-laki boleh berpoligami tapi dibatasi hingga empat isteri. Perkembangan kehidupan di zaman ini, tentu perkawinan ideal adalah monogami.

Penafsiran ayat tentang Waris (Qs. Annisa /4:11)
Penafsiran klasik tentang ayat waris mengandung unsur ketidakadilan terhadap perempuan, dimana warisan untuk anak perempuan setengah dari anak laki-laki. Model pembagian waris 2:1 untuk anak laki-laki dan perempuan adalah pembagian waris yang tidak adil. Pembagian waris harus adil, ukuran adil adalah memberi manfaat bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Ayat ini turun dalam rangka menata hukum warisan yang lebih adil. Pada zaman Arab Abad ke 7, perempuan sama sekali tidak mendapat hak waris. Sistem kekerabatan Arab abad ke 7, anak dihitung dari garis keturunan bapak dan perempuan dipandang hanya sebagai alat reproduksi. Bila anak perempuan diberi warisan, maka harta akan berpindah kepada keluarga laki-laki lain, yaitu suami dari anak perempuan. Oleh karena itu, dalam sistem kekerabatan Arab kuno ini, anak perempuan tidak mendapat hak waris. Perempuan tidak memiliki hak waris  berakar dari pandangan bahwa perempuan lemah dalam aksi bela diri dan harus dilindungi. Perempuan. dipandang sebagai anak yang belum dewasa, sehingga tidak mendapat status sebagai orang yang memiliki hak. Dalam Arab kuno basis pilihan masyarakatnya adalah heroisme dan kegagahan dalam pertempuran.  Ketika Islam datang anak perempuan mendapat hak waris tapi setengah dari anak laki-laki atau anak laki-laki mendapat warisan dua kali warisan saudara perempuannya. Pembagaian seperti ini didasari logika bahwa  kebutuhan perempuan dipenuhi oleh suaminya, Di zaman ini dimana tugas dan peran yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan boleh dikatakan sudah sama, maka pembagian waris dengan model 2:1 telah dipandang sebagai pembagian yang tidak adil. Pembagian warisan harus adil.
Penafsiran ayat tentang Saksi (Qs. Al-Baqarah /2:282)
Nilai kesaksian perempuan dipandang kurang bobotnya dari kesaksian laki-laki, karena dalam persaksian diperlukan dua saksi perempuan, sementara saksi laki-laki hanya satu orang. Pertanyaan hukum dalam konsep saksi adalah kenapa diperlukan dua orang saksi perempuan, sementara saksi laki-laki cukup satu. Jawaban dari pertanyaan ini sangat mengusik harga diri perempuan, yaitu perempuan dangkal kecerdasannya dan mudah lupa sehingga perlu dua orang saksi. Hal ini berarti bahwa kualitas satu orang saksi laki-laki sama dengan dua rang saksi perempuan. Dengan menggunakan hermeneutika feminisme diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada satu dalilpun yang mengatakan bahwa kesaksian laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Soal kesaksian tidak ada batasan gender. Ayat ini telah boleh digeneralisasi karena ayat ini hanya untuk satu persoalan tertentu , yaitu semata-mata berkaitan dengan soal kesaksian finansial di zaman Arab kuno, tidak ada alasan untuk memahaminya secara general.

Kehadiran hermeneutika feminisme telah mengisi kekosongan hermeneutika yang berpihak pada keadilan gender. Hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran telah memberi instrumen bagi intelektual feminis Islam untuk membongkar kesalah-pahaman penafsir klasik tentang perempuan. Bias gender dalam penafsiran Alquran perlu dibongkar dan perlu dilakukan penafsiran ulang. Tidak ada finalitas dalam penafsiran Alquran, Alquran harus ditafsirkan terus menerus. Hermeneutika feminisme sebagai instrumen baru dapat digunakan untuk menghasilkan tafsir yang adil gender.Hermeneutika feminisme memberi ruang untuk kreativitas baru dan membuka ruang berbagai suara dapat berbunyi.

secara ringkas dapat dilihat pada bagan ini