Metodologi Feminis Membongkar Ketidakadilan Gender

Metodologi Feminis Membongkar Ketidakadilan Gender

feminismeIlmu filsafat dibagi atas tiga bidang utama yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Metodologi berada dibawah payung epistemologi yaitu bidang filsafat  yang membicarakan masalah pengetahuan.  Metodologi  adalah ilmu tentang  cara atau jalan  yang digunakan untuk memperoleh kebenaran dan pencerahan. Ada berbagai metode dalam filsafat, di antaranya  metode kritis (Sokrates, Plato), metode Intuitif (Plotinus, Hendri Bergson), metode Transendental (I.Kant), metode Dialektis (Hegel), metode Fenomenologi.

Selama tiga dasawarsa ini bidang metodologi telah menjadi pokok pembicaraan dan perdebatan dalam filsafat. Salah satu perdebatan metodologi adalah metodologi positivistik yang dianggap bermasalah dalam penerapan studi ilmu pengetahuan sosial. Adalah  Wilhelm Dilthey (1833- 1911), seorang filsuf Jerman yang menggagas  pemisahan metode ilmu-ilmu alam dengan metode ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kemudian gagasan ini diperkuat oleh Windelband (1894) dengan membedakan ilmu-ilmu nomotetis dengan ilmu-ilmu idiografis. Ilmu nomotetis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari hukum-hukum alam, sedangkan ilmu idiografis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menemukan keunikan (kekhasan) suatu peristiwa atau fenomena. Terjadi pergeseran paradigma berpikir dalam ilmu-ilmu sosial dari paradigma positivisme ke paradigma fenomenologi.

            Paradigma fenomenologi  berakar dari pemikiran humanisme Plato. Bagi Plato manusia adalah homo humanistis, tidak hanya homo sapien (makhluk rasional). Menurut Plato manusia dipengaruhi oleh rasio, makanya manusia punya idealisme. Idealisme Plato mempengaruhi pemikiran Hegel dan Imanuel Kant dan melahirkan paradigma fenomenologi yang mendapat bentuk yang jelas  dalam pemikiran Husserl. Selanjutnya, dalam bidang metodologi, ilmu-ilmu sosial menggunakan paradigma fenomenologi meninggalkan paradigma positivisme. Menurut fenomenologi, suatu fenomena (penampakan) pasti bermakna menurut  subjek yang menampakkan fenomena itu. Hal ini disebabkan, karena fenomena berasal dari  kesadaran manusia.

 Kesetaraan dan keadilan  gender yang merupakan isu penting dalam feminisme tidak  dianggap  dalam paradigma positivisme. Studi gender dipandang terlalu partikular tidak universal dan berkaitan dengan masalah jenis kelamin. Pertanyaan tentang perempuan berbenturan dengan metodologi positivistik karena pertanyaan tentang  perempuan sangat spesifik.  Metodologi fenomenologi dalam studi ilmu pengetahuan sosial budaya, memberi dukungan metodologis terhadap studi feminis (kajian perempuan). Ketika studi feminis diterima sebagai studi baru di dunia akademis, hal utama yang dipersoalkan adalah metodologi dari studi ini, terutama dalam menjelaskan konsep perbedaan gender. Konsep perbedaan gender ini penting sebagai dasar  untuk menjelaskan perbedaan perilaku, pengalaman dan harapan antara laki-laki dan perempuan. Dengan pendekatan metodologi feminis hal ini dapat dijelaskan. Konsep perbedaan gender didasarkan pada pandangan anti esensialisme dan universalitas.

Konsep dan konstruksi terhadap perempuan dan laki-laki bukan sesuatu yang telah jadi dan selesai, tapi dikonstruksi secara sosial historis. Karena bentukan sosial selama ini bersifat patriarkis, maka lahir pandangan yang merugikan perempuan. Kaum feminis  mengajukan konstruksi konsep-konsep  baru yang bersifat feminis.  Salah satu dari konstruksi konsep-konsep baru tersebut adalah metodologi feminis. Inilah yang akan dibahas secara singkat dalam tulisan ini.

Munculnya metodologi feminisme

Sejak tahun 1990, pemikir-pemikir feminis Barat seperti Nancy Fraser dan Linda Nicholson melakukan rekonstruksi teori feminisme, dari teori yang bersifat universalitas dan esensialis ke arah pemikiran yang menolak universalitas dan esensialisme. Ketika  pemikiran anti universal dan anti esensialis ini berkembang dan merembes ke berbagai bidang ilmu pengetahuan,  pemikiran ini digunakan sebagai metodologi  bagi feminis. Dengan perspektif feminis, Fraser dan Nicholson memahami bahwa penyebab ketidakadilan terhadap  perempuan pada setiap kultur berbeda-beda, sehingga tidak dapat dijelaskan secara universal, tapi harus dipahami berdasarkan kondisi sosial historisnya.

Feminisme menolak grand social theory dan fokus terhadap konsep perbedaan (pluralitas) serta menekankan dimensi perbedaan perspektif. Dalam hal ini, menurut Fraser dan Nicholson, diperlukan percakapan  yang  tidak dibatasi oleh relasi kekuasaan atau ideologi, tapi bersifat inklusif dimana ilmu pengetahuan dari semua perspektif dapat diterima. Jika bentuk-bentuk pengetahuan dipengaruhi  kekuasaan, maka pengetahuan sosial dari perspektif feminisme tidak bisa berkembang, maka  untuk mendukung konsep perbedaan perempuan dan gender serta emansipasi sosial politik yang menjadi perjuangan feminisme, maka metodologi feminis perlu dimunculkan .

Metode Hermeneutika Feminisme

Metodologi feminis bertujuan untuk menjelaskan konsep perbedaan gender yang didasarkan pada pandangan anti esensialisme dan universalitas. Salah satu bentuk metodologi feminis adalah metode hermeneutika feminisme, yaitu metode penafsiran teks berbasis feminis. Intelektual feminis di zaman ini menaruh perhatian pada bagaimana teks diproduksi, bagaimana kekuasaan memainkan peranan dalam proses produksi teks. Menyadari bahwa ada bias gender dan ketidakadilan dalam teori dan kehidupan sehari-hari, maka kalangan intelektual feminis Barat menggunakan hermeneutika feminisme untuk menstransformasi teori politik dan mengadakan perubahan. Pemikiran hermeneutika mereka cenderung berbentuk politik dan disebut dengan hermeneutika teori politik. (Hermeneutic Political Theory). Yang dimaksud dengan hermeneutika teori politik atau disingkat dengan hermeneutika politik adalah pemikiran kritis terhadap karya-karya yang bertema sosial politik, seperti karya Micahel Walzer (sosial demokrasi), karya Alasdair MacIntyre (New Aristotelian) dan karya John Rawls (teori keadilan). Yang semuanya masih bermuatan metanarratif.  Hermeneutika Feminisme keluar dari filsafat metanarratif dan memposisikan  moral sosial dan tradisi politik sebagai teks yang perlu diinterpretasikan. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa kita merupakan bagian dari perkembangan historis, budaya moral dan intelektual yang disebut oleh Bernard William sebagai thick vocabulary yang menjustifikasi  praktek sosial dan  norma- norma kehidupan.

Linda Nicholson melakukan pendekatan hermeneutika feminisme terhadap isu keadilan yang dikembangkan John Rawls. Dia menolak penjelasan abstrak tentang keadilan dalam pemikiran Rawls. Demikian pula, Susan Miller Okin mengeritik Rawls yang tidak mengikutkan diskusi gender dalam pemikiran mengenai keadilan. Okin juga mengeritik pemikiran Mac Intyre yang tidak kritis terhadap tradisi pemikiran para filsuf terdahulu dan Okin mengkounter pemikiran yang berbasis tradisi filsafat aristotelian.  Hermeneutika feminisme dalam pemikiran Nicholson dan Okin tidak hanya mengakui perbedaan dan menghargai penghargaan terhadap keragaman, tapi juga memberikan argumentasi terhadap pentingnya berbagai kritik sosial dan pemikiran politik.

      Hal penting bagi hermeneutika feminisme adalah membuka diskusi hermeneutika terhadap interpretasi tradisi. Perlu keberanian untuk membuka diskusi mengenai hal ini, dengan tujuan untuk mengembangkan diri dan tradisi itu sendiri lewat perbedaan yang ada. Kita dapat  belajar dari keberagaman, sehingga tidak perlu mendekonstruksi pandangan tradisi seperti mendekonstruksi pandangan mengenai  kategori perempuan dan gender. Kita perlu mengenali dimensi sosial dan historis dari pandangan-pandangan tradisi tersebut, sehingga dapat mengartikulasikan beragam teori-teori feminisme. Hermeneutika feminisme tidak menyamakan semua bentuk pemahaman dan mengakui perbedaan perspektif serta berusaha mengurangi tekanan dan pandangan eksklusif dari perbedaan interpretasi.

      Pertanyaan lain yang mengemuka dalam hermeneutika feminisme adalah bagaimana suara lian (otherness) dapat eksis? Cara berada lian cenderung dipinggirkan dalam wacana mainstream sehingga mengakibatkan ketidakadilan.  Otherness di dalam pembahasan feminisme artinya bukan cara memandang perempuan yang telah di konstruksi secara sosial oleh laki-laki (sebagai norma umum, humanitas).  Perempuan bukan “yang lain” dan subordinasi dari laki-laki (lihat Simone de Beauvoir).  Konsep otherness ini telah melahirkan ketidakadilan karena telah membedakan eksistensi perempuan dari laki-laki dengan cara yang merendahkan.  Siapakah yang memutuskan untuk membedakan status perempuan?  Apa kepentingannya? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang penting di dalam hermeneutika feminis.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan metodologi feminis  adalah anti esensialisme dan menolak universalitas dalam teori ilmu pengetahuan. Metodologi feminis dapat berbentuk diskusi yaitu membuka diskusi terhadap interpretasi tradisi (hermeneutika diskusi) dengan tujuan untuk mengembangkan diri perempuan dan tradisi itu sendiri lewat perbedaan yang ada. Disamping konsep perbedaan, hal penting dalam penggunaan metodologi feminis  adalah menjelaskan konsep otherness. Konsep otherness telah melahirkan ketidakadilan gender karena telah membedakan eksistensi perempuan dari laki-laki dengan cara yang merendahkan.

Dengan demikian dapat dikemukakan elemen-elemen dasar metodologi feminis seperti berikut:

  1. Berperspektif feminis, bila persepsi mengenai perempuan didasarkan pada kerangka pemikiran laki-laki maka visi, pengalaman, kehendak dan kebutuhan  perempuan tidak terakomodir.
  1. Mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan sikap anti patriarki sebagai prinsip dasar.
  2. Bercorak holistik, yaitu mempertimbangkan berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
  3. Berpijak pada teori-teori mengenai feminisme. Teori-teori feminisme merupakan bingkai dari metodologi feminis.

Metodologi feminis sebagai pendekatan pada ilmu pengetahuan bahkan untuk metode penafsiran kitab-kitab suci sudah sangat diperlukan saat ini.  Dengan pendekatan metodologi feminis, maka berbagai pandangan negatif   terkait perempuan bisa dibongkar diganti  dengan pandangan baru yang dapat beradaptasi dengan kehidupan perempuan di era kontemporer ini. Berbagai  tradisi dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari perlu didialogkan dengan kondisi kekinian, sehingga kesetaraan dan keadilan gender dapat tampil dalam realitas.