Masihkah feminisme dibenci dan ditolak ?
Pengantar
Ketika komisi 8 DPR-RI masa bakti 2009-2014, menginisiasi RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender, muncul perdebatan bahkan penolakan terhadap RUU tersebut. Penolakan RUU ini diwarnai oleh argumentasi agama yang cukup mendominasi. Ada kecurigaan, bahwa undang-undang ini akan merusak sendi-sendi agama Islam. Feminisme dibenci. Isu kesetaraan dan keadilan gender yang diusung oleh feminisme ditolak, takut merusak. Dengan hati terbuka mari kita sigi dapur feminisme.
Apakah Feminisme itu ?
Feminisme adalah sebuah pemahaman, studi atau teori tentang kesetaraan dan keadilan gender. Sedangkan feminis adalah orang yang menyadari bahawa perempuan telah diperlakukan tidak adil. Menjadi seorang feminis tidak harus perempuan tapi laki-laki juga bisa menjadi seorang feminis. Dewasa ini dimana dunia mulai terarah kepada keadilan termasuk keadilan gender. Sudah cukup banyak laki-laki yang menjadi feminis. Namun dibalik itu, secara umum feminisme masih diterima setengah hati, temasuk di dunia akademis.
Feminisme berasal dari bahasa latin yang berarti perempuan. Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut. Sedangkan menurut Yunahar Ilyas, feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah ke adaan tersebut.
Dari pandangan-pandangan di atas dapat ditarik tiga ciri feminisme, yaitu : menyadari akan adanya ketidak adilan gender, memaknai bahwa gender bukan sebagai sifat kodrati dan memperjuangkan adanya persamaan hak.
Feminisme sebagai sebuah teori atau studi memang awalnya berkembang dalam pemikiran Barat. Ketika isu keadilan gender diusung ke seantero dunia maka isu ini berkembang secara global, masuk ke dalam berbagai lini kehidupan, dibahas dalam pemikiran agama, termasu agama Islam.
Feminisme diawali dengan suatu pergerakan sosial yang muncul di dunia Barat pada tahun 1800-an dengan tuntutan kesamaan hak dan keadilan bagi perempuan. Pergerakan ini diilhami oleh pemikiran Mary Wollstenocraft dalam bukunya The vindication Rights of Woman tahun 1975 yang menuding bahwa pembodohan terhadap perempuan disebabkan oleh tradisi dan kebiasaan masyarakat yang membuat perempuan menjadi subordinasi laki-laki. Pergerakan perempuan yang dimotori oleh sekelompok perempuan di dunia Barat ini kemudian disambut secara global. Pergerakan perempuan merupakan pergerakan sosial yang paling lama bertahan dan terus berkembang sampai kini, disambut secara global, merambah ke berbagai lini kehidupan, dikaji secara ilmiah, termasuk dalam konteks Islam.
Menyimak berbagai literatur tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam, dapat dikatakan bahwa pada akhir abad 20, tokoh-tokoh feminis yang mengkaji studi Islam kontemporer mulai intensif mengusung isu-isu feminisme dalam kehidupan sosial, terutama isu kesetaraan dan keadilan gender. Bahkan tokoh-tokoh feminis Islam yang mengkaji studi Islam ada yang menggugat tafsir Alquran karena dipandang bias gender dan melakukan penafsiran ulang ayat-ayat Alquran dengan pendekatan kesetaraan dan keadilan gender.
Perkembangan feminisme Barat dapat dipetakan dalam tiga gelombang besar seperti yang dikemukakan oleh Gadis Arivia dan Marta Rampton. Menurut Gadis Arivia, gelombang pertama feminisme merupakan pergerakan perempuan yang menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas pergerakan perempuan, seperti menuntut hak dan keadilan. Ini diawali oleh pemikir-pemikir perempuan, yang dapat dibilang berada dibalik lahirnya Deklarasi Konvensi Hak-hak Perempuan di Seneca Falls, yang menginginkan adanya rumusan hak asasi perempuan. Gelombang kedua, pergerakan perempuan masuk ke ruang akademis. Pada gelombang ini, lahir berbagai kajian perempuan dengan teori-teori mengenai keadilan gender, penyebab ketidakadilan dan cara mengatasinya. Pada gelombang dua ini teori feminisme banyak dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme yang dikembangkan oleh Jean Paul Satre dan teori feminisme dari Simone de Beauvoir serta teori-teori psikoanalisa. Gelombang ketiga, muncul teori feminisme yang bersinggungan dengan pemikiran kontemporer dan berkutat pada masalah alienasi perempuan secara seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sebuah sistem.
Marta Rampton juga memetakan perkembangan feminisme dalam tiga gelombang. Menurut Rampton, gelombang pertama feminisme terjadi awal abad ke-20, muncul dari lingkungan industrialisme perkotaan. Gelombang pertama feminisme ini diawali dengan gerakan dalam konvensi Seneca Falls pada tahun 1848, ketika 300 pria dan perempuan bersatu mengemukakan kesetaraan gender. Elizabeth Cady Stanton yang menyusun deklarasi Seneca Falls menguraikan ideologi dan politik strategi gerakan baru yang fokusnya membuka kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan hak pilih. Gelombang kedua dimulai pada tahun 1960 dan berlanjut sampai tahun 1990-an. Gelombang ini berlangsung dalam konteks anti-Perang Vietnam dan gerakan hak-hak sipil yang telah menumbuhkan kesadaran diri berbagai kelompok minoritas di seluruh dunia. Ketika muncul The New Left (Kiri Baru), suara feminisme semakin radikal. Pada gelombang ini, gerakan feminisme menuntut kesamaan hak dan kesetaraan gender dan fokus pembicaraan adalah pada hak-hak seksualitas dan reproduksi. Gelombang ketiga, dimulai pada pertengahan 1990-an yang dipicu oleh pemikiran paskakolonial dan posmodern. Pada gelombang ini banyak konsep yang telah diterima secara universal, seperti perempuan universal, tubuh, gender dan seksualitas. Bila gerakan perempuan pada gelombang sebelumnya ditandai dengan pembebasan diri dari penindasan laki-laki, maka dalam gelombang ketiga ini memperlihatkan kebebasan perempuan dalam menampilkan diri terutama feminisme muda dengan penampilan yang mewah (lipstik, sepatu hak tinggi dan baju dengan leher berpotongan rendah). Rampton menggambarkan feminisme di gelombang ketiga sebagai berikut.
An aspect of third wave feminism that mystifies the mothers of the earlier feminist movement is the readoption by young feminists of the very lipstick, high heels and cleavage proudly exposed by low cut necklines that the first two phases of the movement identified with male oppression.
Aliran-aliran Feminisme
Disamping pemetaan di atas terdapat pula berbagai aliran- aliran pemikiran feminisme dalam feminisme Barat, yaitu aliran feminisme liberal, radikal, eksitensialis, Marxis, psikoanalisa, posmodern, multikultural dan Eko Feminisme. Feminisme liberal adalah pandangan yang menempatkan perempuan sebagai subjek yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas yang merupakan sifat dasariah manusia. Perempuan adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir secara rasional. Teori feminisme liberal dapat disimak dalam pemikiran feminisme Mary Wollstenocraft yang berusaha menunjukkan hak-hak perempuan dengan menghadirkan gagasan ideal mengenai pendidikan bagi perempuan. Wollstenocraft mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan yang otonom dan menekankan bahwa jalan menuju otonomi harus ditempuh melalui pendidikan. Wollstenocraft menginginkan perempuan menjadi manusia utuh tidak diperlakukan sebagai objek yang dirawat suaminya dan bukan pula sebagai instrumen untuk kebahagiaan orang lain. Perempuan adalah suatu tujuan bagi dirinya, agen yang bernalar dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri.
Feminisme radikal merupakan pandangan yang menyorot bahwa sistem seks/gender sebagai penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan. Dalam pandangan feminisme radikal seksisme adalah bentuk opresi yang pertama, yang paling menyebar dan paling dalam. Feminisme radikal menolak fisiologi (kromoson, anatomi, hormon) laki-laki dan perempuan dijadikan dasar identitas dan perilaku maskulin dan feminin, karena hal ini dijadikan alasan untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan. Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif dan laki-laki tetap aktif. Aliran ini berpandangan bahwa untuk mengubah kondisi ini, maka perempuan harus menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk pasif dan laki-laki aktif. Karena itu,harus dikembangkan kombinasi sifat-sifat maskulin dan feminin untuk merefleksikan kepribadian masing-masing.
Pandangan feminisme radikal dapat disigi dalam pemikiran Kate Millett. Ia mengungkapkan bahwa akar opresi terhadap perempuan terkubur dalam sistem seks/gender di dalam patriarki. Dalam bukunya Sexuals Politics (1970) Millett menulis bahwa relasi gender adalah relasi kekuasaan. Kendali laki-laki dalam ruang domestik dan publik melahirkan patriarki. Untuk membebaskan perempuan dari penguasaan laki-laki, maka patriarki harus dihapus. Millett menginginkan masa depan yang androgin, suatu integrasi dari sifat feminin dan maskulin, karena kedua sifat ini saling melengkapi untuk hidup dengan baik dalam suatu komunitas.
Feminisme eksistensialis mempersoalkan eksistensi perempuan. Teori feminisme eksistensialis berakar dari filsafat eksistensialisme, Jean Paul Satre. Dalam pandangan Satre, ada tiga modus “Ada” pada manusia yaitu etre en soi (“Ada” pada dirinya) etre pour soi (“Ada” bagi dirinya) dan etre pour les outres (“Ada” bagi orang lain). Cara berada manusia laki-laki adalah etre pour soi yaitu cara berada yang memiliki kesadaran, kebebasan dan kritis. Sedangkan cara berada perempuan etre pour les outres, ada untuk orang lain.
Tokoh feminisme eksistensialis, Simone De Beauvoir membahas pemikiran Satre di atas. Dia menanggapi cara berada perempuan yang didefinisikan oleh Satre etre pour les outres (ada bagi orang lain) bukan sebagai etre pour soi, yaitu cara berada manusia laki-laki yang berkesadaran dan memiliki kebebasan. Hal ini berarti perempuan tidak berkesadaran (bukan subjek) dan tidak memiliki kebebasan, sehingga relasi gender merupakan relasi subjek-objek, dimana laki-laki mengobjekan perempuan dan membuatnya sebagai the other. Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second sex (1984) mengatakan bahwa eksistensi perempuan sebagai the other (yang lain) memandang perempuan sebagai makhluk lemah. Buku The Second sex merupakan buku klasik tentang feminisme.
Feminisme Marxis didasarkan pada teori K.Marx yang memandang bahwa manusia baru bermakna bila mereka melakukan kegiatan produksi dan lewat berproduksi manusia menciptakan masyarakat yang kemudian membentuk mereka. Sesuai teori Marxis, teori feminisme ini mengeritik sistem kapitalis yang melahirkan penindasan terhadap manusia.
Feminisme psikoanalisa berakar pada teori Sigmund Freud yang memandang bahwa bentuk biologis perempuan yang tidak memiliki penis seperti laki-laki menyebabkan perempuan direndahkan. Simbol penis memberikan kekuasaan pada laki-laki. Feminisme psikoanalisa menentang bahwa bentuk biologis perempuan bukan suatu persoalan yang penting dan menentang penindasan terhadap perempuan karena tidak memiliki penis.
Feminisme posmoderen, berdasarkan pemikiran posmoderen yang sangat menekankan pentingnya peran bahasa. Bahasa adalah rumah realitas dan melalui bahasa realitas dapat dipahami. Feminisme Posmoderen menentang cara oposisi biner, flosentrisme dan logosentrisme dengan menghancurkan kebisuan melalui berbicara dan menulis agar tercipta suatu tatanan konseptual yang baru. Feminisme postmodern berusaha untuk menantang tatanan simbolik dan menawarkan kepada perempuan suatu kebebasan yang paling fundamental yaitu kebebasan dari pemikiran yang menindas.
Feminisme multikultural berkembang pada tahun 1990-an, menekankan pada perbedaan nilai dan prinsip pada setiap kelompok dan menyambut baik terhadap pemikiran budaya multikulturalisme. Perlawanan terhadap seksisme harus menjadi prioritas. Untuk mengatasi ketindasan perempuaan, tidak bisa mengambil satu bagian dan menganggap bahwa bagian tersebut dapat menjelaskan seluruh persoalan ketertindasan perempuan. Persoalan ketertindasan perempuan harus dilihat secara keseluruhan yang memungkinkan kita bergerak bebas dalam menganalisa dan tidak disempitkan dalam satu pandangan tertentu.
Eko feminisme berusaha mununjukkan hubungan antara semua bentuk penindasan manusia dan memfokuskan pada usaha manusia untuk mendominasi dunia. Karena perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam, ekofeminisme berpendapat ada hubungan konseptual, simbolik dan linguistik antara feminis dan isu-isu ekologi.
Gerakan feminisme tidak hanya berkembang di dunia Barat, dalam dunia Islam pada abad 19 telah muncul gagasan emansipasi perempuan yang dicanangkan dan dipelopori oleh tokoh-tokoh intelektual Islam Mesir, seperti Rifa’ah Tahtawi, Qasim Amin dan Muhammad Abduh. Mereka menyerukan perlunya pemberdayaan kaum perempuan dan memberi kesempatan pada perempuan untuk mengungkap partisipasi sebagai bagian dari perjuangan memajukan umat Islam.
Feminisme Islam
Gerakan feminisme dalam dunia Islam yang dipelopori oleh Rifa’ah Tahtawi, Qasim Amin dan Muhammad Abduh, diikuti oleh penerusnya seperti Aisyah Tamuniah, Zainab Fawwaz, Rokeya Sakhwat Hosein. Mereka menumbuhkan kesadaran perempuan mengenai ketidakadilan gender dalam masyarakat Islam. Mereka berpendapat bahwa perempuan perlu membebaskan diri dari kultur dan ideologi masyarakat patriarki yang membelenggu kebebasan.
Gerakan feminisme Islam mulai gencar pada abad 20. Gerakan in berakar dari keyakinan bahwa Alquran mengafirmasi prinsip-prinsip kesetaraan seluruh umat manusia yang selama ini telah disingkirkan oleh budaya patriarki. Gerakan feminisme dalam Islam ini dipelopori oleh tokoh-tokoh perempuan Mesir seperti Nabawiyya Musa, Zainab al Ghazali yang bertujuan untuk meluruskan kembali makna substansial Alquran. Perkembangan selanjutnya, isu kesetaraan dan keadilan gender yang merupakan isu sentral gerakan feminisme masuk ke bidang tafsir Alquran dengan melakukan penafsiran ulang ayat-ayat gender dalam Alquran dengan pendekatan hermeneutika berbasis feminis.
Penutup
Dari uraian di atas terlihat bahwa feminisme yang awalnya sebuah gerakan emansipasi perempuan telah berkembang menjadi sebuah teori dan dikaji secara ilmiah. Gerakan feminisme tidak hanya berkembang di dunia Barat, dalam dunia Islam pada abad 19 telah muncul gagasan emansipasi perempuan. Dalam wacana feminisme, perempuan digambarkan sebagai manusia yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan, sehingga perjuangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender tidak pernah surut.
Kembali ke awal tulisan ini yang mengatakan bahwa hadirnya RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender di DPR-RI telah melahirkan perdebatan dan penolakan berargumentasi agama. Setelah memahami apa itu feminisme dan isu yang diperjuangkannya, tidak patut lagi ada kecurigaan terhadap feminisme. Isu kesetaraan dan keadilan gender yang diusung feminisme telah berkembang dan jelas tidak merusak sendi-sendi kehidupan manusia.