Kritik Amina Wadud dalam Tradisi Penafsiran Alquran: Kajian Hermeneutika Feminisme

Abstract

This paper is analysis Wadud’s thinking about Islam and the status of women, especially regarding gender bias in the interpretation of the Alquran. Methodological problems in the interpretation of the Alquran has led gender issues that disadvantage women. Gender issues in the interpretation has made women subordinate, spacegoated, subordinated and oppressed. Thus, in order to achieve gender equality, Wadud dismantles gender bias in the interpretation of the Alquran and reveal the darkness of the status of women. Furthermore, Wadud first interpretation offered by women, an interpretation which echoes the voice of women in the Alquran

Keywords: gender bias, commentary on the Alquran, equality and gender justice

Abstrak

Tulisan ini merupakan analisis pemikiran Amina Wadud mengenai Islam dan status perempuan, khususnya mengenai bias gender dalam penafsiran Alquran. Problem metodologis dalam penafsiran Alquran telah melahirkan isu-isu gender yang merugikan perempuan. Isu-isu gender dalam tafsir telah membuat kaum perempuan menjadi subordinat, dikambinghitamkan, dinomorduakan dan ditindas. Maka itu, dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender, Wadud membongkar bias gender dalam tafsir Alquran dan menyingkap tabir kegelapan status perempuan. Selanjutnya, Wadud mempersembahkan tafsir pertama oleh perempuan, sebuah tafsir yang mengumandangkan suara perempuan dalam Alquran.

Kata Kunci : bias gender,tafsir Alquran, kesetaraan dan keadilan gender

Pengantar

           Salah satu penyebab terpuruknya posisi perempuan dalam masyarakat muslim adalah bias gender dalam penafsiran agama.1 penafsiran yang keliru terhadap ayat-ayat terkait perempuan (ayat-ayat gender) menjadi salah satu sebab munculnya pandangan yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan perempuan. Perempuan tidak diakui sebagai manusia utuh, tidak berhak mempresentasikan diri, dilarang menjadi pemimpin, dipojokkan sebagai makhluk domestik, harus menjadi istri yang taat suami dan harus rela bila suami berpoligami sampai dengan empat isteri. Atas nama agama perempuan diposisikan sebagai objek hukum, khususnya hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti hukum perkawinan dan pewarisan.2 Ketika ide kesetaraan dan keadilan gender mulai ramai diperbincangkan mengiringi perkembangan pemikiran Islam dalam menyikapi situasi kekinian, bias gender dalam penafsiran Alquran mulai digugat. Gugatan terhadap bias gender dalam penafsiran Alquran dapat disimak dari pemikiran para tokoh-tokoh intelektual Islam seperti, Fatima Mernissi, Amina Wadud, Asma Barlas dan lainnya. . Gugatan terhadap tafsir bias gender juga dapat dilihat dalam pemikiran tokoh-tokoh intelektual Islam Indonesia, seperti Siti Musdah Mulia, Nasaruddin Umar, Husein Muhammad dan lainnya. Tokoh-tokoh Islam ini sepakat mengatakan bias gender dalam penafsiran Alquran menjadi salah satu sebab ketidakadilan gender dalam masyarakat muslim.

Sekalipun bias gender dalam penafsiran Alquran telah banyak digugat dan penafsiran ulang ayat-ayat gender telah banyak dilakukan, tapi impilkasinya terhadap kehidupan sosial belum terasa. Dskrimnasi dan ketidakadilan masih dialami oleh perempuan muslim di berbagai belahan bumi. Ide kesetaraan dan keadilan gender belum banyak berpengaruh terhadap perilaku yang telah terpola dalam masyarakat dan sandaran hukum Islam tetap pada tafsir lama ( klasik). Hal ini sekurang-kurangnya dapat dilihat di Indonesia. Saat ini terdapat 354 Peraturan Daerah (Perda) bernuansa bias gender.3 Wacana penerbitan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender oleh DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) menimbulkan banyak polemik di kalangan masyarakat dan dicurigai dapat merusak sendi-sendi agama Islam.4

Bias gender dalam penafsiran Alquran telah membuat perempuan menjadi subordinat, dikambinghitamkan dan dinomorduakan. Tafsir bias gender yang dikodifikasi menjadi hukum melahirkan hukum yang diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Dalam hukum yang diskriminatif dan tidak adil itu, perempuan terbelenggu dalam dilema: taat pada hukum berarti pembiaran terhadap pelanggengan ketidakadilan, tetapi meninggalkan hukum dapat dituduh murtad dan dikafirkan. Karenanya, untuk membebaskan perempuan dari belenggu ini, perlu produk tafsir yang adil terhadap perempuan. Untuk mendapatkan produk tafsir yang dapat diterima saat ini, terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat gender, maka perspektif perempuan tidak dapat diabaikan.

Tulisan ini akan mengantarkan kita pada tawaran dimaksud, khususnya berkaitan dengan pikiran-pikiran Amina Wadud, Professor Virginia Commonwelt University ini seorang pemikir revolusioner dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dan tokoh gerakan Perempuan Muslimah Afro-Amerika. Agar pembahasan tidak tidak melebar dan fokus pada masalah bias gender dalam penafsiran Alquran, maka penulis menggunakan buku Amina Wadud Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective sebagai acuan. Melalui bukunya ini, Amina Wadud membongkar bias gender yang mewarnai taradisi tafsir selama ini. Dia membedah ayat-ayat tertentu dan kata-kata kunci dalam ayat-ayat tersebut yang selama ini telah digunakan untuk membatasi peran perempuan, bahkan membenarkan kekerasan terhadap perempuan.

Tafsir bias gender dalam penafsiran Alquran dapat ditemukan dalam tafsir klasik,5 seperti dalam tafsir at-Thabari, dimana tafsir ini diwarnai oleh cerita mitologi yang hidup dalam masyarakat, seperti mitologi turunnya Adam dan Hawa, Amina Wadud mengajak agar bersifat radikal terhadap bias gender dalam penafsiran Alquran dan mengajak agar memasukkan analisis gender dalam teori penafsiran sehingga dapat menghasilkan tafsir yang lebih adil terhadap perempuan. Wadud juga mengeritik bahwa pemikiran Islam tidak memperhatikan soal gender sebagai salah satu kategori pemikiran dan aspek analisis, sehingga anggapan bahwa derajat perempuan rendah dari laki-laki sulit diubah. Menurut Amina Wadud, bukan Alquran yang merendahkan derajat perempuan, tapi penafsiran Alquran yang dianggap lebih penting dari Alquran itu sendiri yang memposisikan perempuan sebagai kelompok marginal.

Berangkat dari prasangka bahwa salah satu faktor yang menyebabkan munculnya bias gender dalam penafsiran Alquran adalah problem metodologis dalam penafsiran Alquran, maka Wadud mengolah ayat-ayat Alquran dengan metode hermeneutika feminisme, yaitu suatu metode untuk menafasirkan Alquran terkait perempuan yang mengacu kepada ide atau gagasan kesetaraan dan keadilan gender.6 Sehubungan dengan itu, tulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada dua masalah penting dalam pemikiran Amina Wadud yaitu, pertama, hermeneutika feminisme, kedua isu-isu gender dalam penafsiran Alquran.

Hermeneutika Feminisme menurut Amina Wadud

Secara umum hermeneutika dipahami sebagai ilmu tentang teori penafsiran. Dalam konteks kekinian terdapat tiga pemahaman tentang hermeneutika: Pertama, teknis praktis penafsiran. Pemahaman pada konteks ini lebih dekat pada exegese, yaitu kegiatan untuk memberi pemahaman terhadap suatu teks atau kegiatan untuk mengungkapkan makna terhadap suatu teks agar dapat dipahami orang lain. Kedua, hermeneutika sebagai filsafat penafsiran, yaitu hal yang berkaitan dengan pola bekerjanya pemahaman manusia dan bagaimana hasil pemahaman manusia itu. Ketiga, hermeneutika sebagai metode penafsiran. Pada konteks ini yang dibicarakan adalah teori tentang penafsiran. Hermeneutika sebagai metode lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan dan teori penafsiran yang dikenal dengan hermeneutika moderen.7 Hermeneutika moderen berkembang dalam 3 aliran : Hermeneutika teoritis,filosofis dan kritis. Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodern, hermeneutika mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Hermeneutika tidak lagi terbatas pada metode apa yang paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran, tapi juga mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan mengkritisi dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang menopangnya. Dengan demikian, hermeneutika kritis berkembang menjadi hermeneutika dekonstruktif atau hermeneutika radikal dalam pemikiran Jaques Derrida.8

Amina Wadud mengakui bahwa tidak ada finalitas dalam penafsiran Alquran, maka itu, Alquran harus ditafsirkan terus menerus. Alquran merupakan katalisator politik, sosial, spiritual dan intelektual yang mampu mengubah tatanan kehidupan masyarakat Arab abad ke tujuh dan tentu juga dapat berperan sebagai katalisator bagi masyarakat kontemporer. Karena itu, Wadud berupaya mengadop metodologi baru penafsiran Alquran untuk memperkaya tafsir agar sesuai dengan realitas sosial. Dia melakukan reformulasi penafsiran Alquran dengan menggunakan hermeneutika feminisme, hermeneutika yang lebih kritis dan sistimatis dan mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender.9

Metode hermeneutika feminisme tergolong baru. Sekalipun para pemikir Islam kontemporer telah mengemukakan hermeneutika Alquran yang berpihak kepada masalah-masalah kritis kehidupan, seperti ketidakadilan, tetapi belum ada yang terarah pada ide kesetaraan dan keadilan gender. Karena itu diperlukan suatu cara baru mendekati Alquran, yaitu hermeneutika feminisme yang merupakan metode penafsiran yang bersifat transformatif terhadap perempuan dan memiliki solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi perempuan dewasa ini.

Munculnya hermeneutika feminisme dalam kajian tafsir merupakan suatu keniscayaan dan Wadud seorang tokoh feminisme telah membuktikan hal tersebut. Dalam tulisan-tulisannya Wadud salalu mengemukakan betapa pentingnya pengalaman perempuan dijadikan bahan pertimbangan bagi penafsiran Alquran.10 Tuhan telah menciptakan perempuan sebagai manusia utuh dan sempurna tapi diingkari dalam realitas sejarah dan dijustifikasi dalam tafsir. Dalam bukunya Qur’an and Woman Amina Wadud mengeritik tafsir klasik bahwa tafsir klasik ditulis secara mayoritas oleh kaum laki-laki sehingga pengalaman laki-lakilah yang mempengaruhi produksi tafsirnya, sementara perempuan dan pengalamannya diabaikan. 11

Kontribusi penting Amina Wadud terkait penafsiran Alquran adalah upaya untuk memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis khususnya antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana suatu ayat ditafsirkan). Amina Wadud mempertanyakan apa yang dikatakan Alquran, bagaimana Alquran mengatakannya, apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakannya. Pertanyaan-pertanyaan ini membawanya pada kritik terhadap penafsiran klasik mengenai ayat-ayat gender dalam Alquran. Wadud mengeritik kesenjangan dalam penafsiran klasik berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan dalam masalah penciptaan, masalah hak dan peran perempuan dalam dinamika kehidupan seperti kepemimpinan, masalah poligami,waris, saksi dan lainnya. Berangkat dari kritik ini, Wadud mengajukan gagasan pemikiran mengenai metodologi penafsiran Alquran.

           Amina Wadud mengemukakan tiga kategori penafsiran terkait perempuan,12 yaitu pertama, adalah tafsir tradisional yang menginterpretasikan seluruh isi Alquran baik dari periode moderen maupun klasik dengan tujuan tertentu, seperti hukum, isoteris, gramatika, ritorika dan sejarah. Sekalipun tujuan ini menimbulkan perbedaan dalam berbagai tafsir, tetapi metodologi yang digunakan adalah sama yaitu atomistik. Karya tafsir dengan metodologi atomistik dimulai dengan ayat pertama dari surat pertama lalu ke ayat kedua dari surat pertama, satu-satu ayat berturut-turut hingga akhir Alquran. Penafsiran klasik ini tidak tematik, tidak mengulas secara rinci hubungan satu ayat dengan ayat lainnya, sehingga hubungan antara gagasan, struktur, sintaksis, prinsip atau tema Alquran tidak ada metodologinya. Kedua, tafsir reaktif, merupakan reaksi para ulama moderen terhadap berbagai kendala berat yang dihadapi perempuan baik secara individual maupun sosial. Tujuan yang dicari adalah sesuai dengan cita-cita kaum feminis dan metode yang digunakan berakar dari dasar pemikiran feminis. Di sini tidak ada analisis Alquran yang komprehensif sehingga tafsir ini tidak berhasil membedakan antara penafsiran dan muatan Alquran. Ketiga, tafsir holistik, yaitu mempertimbangkan berbagai metode tafsir dan memecahkan masalah secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama, termasuk isu-isu perempuan di era modern. Kategori penafsiran ini tergolong baru dan belum ada pembahasan yang substansial. Dalam upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran, Wadud menempatkan dirinya dalam kategori penafsiran holistik dengan melibatkan suara perempuan dalamnya.

Aspek Hermeneutika: Konteks, Gramatika & Pandangan Dunia (Weltanschauung)

      Menurut Amina Wadud, penafsiran perlu memperhatikan tiga aspek dari ayat yaitu: konteks saat ayat diturunkan, susunan gramatika ayat (bagaimana bunyi dan apa yang dikatakan serta makna ayat secara menyeluruh) dan bagaimana Welstanschauung atau pandangan dunianya.13 Menurut Amina Wadud untuk memahami teks harus dalam konteks (kontekstual), dimana dan kapan ayat diturunkan dan bagaiman respon masyarakat terhadap ayat tersebut dan kemudian dibawa ke konteks kekinian (isu-isu sosial budaya masa lalu dan masa kini). Aspek gramatika bahasa penting diperhatikan dalam penafsiran. Istilah netral tidak dapat dilihat sebagai bergender dan hal-hal universal dan partikular perlu didudukan secara jelas. Ada hal-hal yang dikhususkan untuk masyarakat abad ke 7, tidak bisa diuniversalisasi. Oleh karena itu, perlu menyertakan informasi historis dan peristiwa turunnya ayat, perlu memahami asbabulnuzul dalam konteks sosio kultural masyrakat Arab abad ke 7dan mengaplikasikan konsep taqwa sebagai konsep multidimensional yang tidak terbatas (bermakna universal). Kajian teks Amina Wadud menggunakan langkah-langkah linguistik: struktur sintaksis, konteks tektual dan analisa terhadap kata kerja dan kata benda verbal, susunan bahasa yang lazim dalam bahasa Arab dan susunan bahasa Arab yang bermakna ganda. Dengan menggunakan pendekatan linguistik-hermeneutika, Amina Wadud menganalisis ayat- ayat yang memberi petunjuk khusus bagi perempuan, baik yang disebutkan terpisah ataupun bersamaan dengan laki-laki. Ayat-ayat dianalisis pada konteks dan konteks pembahasan topik yang sama dengan Alquran, tatanan bahasa yang sama dari struktur sintaksis yang digunakan di seluruh bagian ayat.

      Aspek Wellstanschauung (pandangan dunia) perlu mendapat perhatian. Ada kata-kata dalam ayat Alquran memiliki Wellstanschauung yang berbeda dengan bahasa Arab. Makna dasar suatu kata sebelum wahyu turun akan memiliki makna berbeda dalam Alquran. Disamping itu, realitas gaib yang diterakan dalam Alquran sulit digambarkan dengan kata-kata, karena alam gaib tersembunyi dari persepsi manusia, tidak bisa ditafsirkan baik secara empiris maupun harfiah. Dengan mengedepankan aspek-aspek penafsiran Alquran di atas, Amina Wadud mengajukan paradigma penafsiran yang lebih maju dengan menggunakan metode yang bersifat kontekstual. Karena Alquran turun dalam konteks yang spesifik, peran asbabul nuzul adalah mutlak. Untuk melacak makna otentik Alquran tentang perempuan, Wadud menjelaskan makna dari konsep-konsep dalam ayat-ayat Alquran dan mengungkapkan ketimpangan makna dari penafsiran klasik.

      Amina Wadud menerapkan metode hermeneutika duble movement (gerakan ganda) dari Fazlur Rahman,yaitu bergerak dari situasi sekarang ke situasi Alquran, kemudian menemukan prinsip umum dan dikembalikan pada masa sekarang untuk diterapkan. Penafsiran Wadud bersifat tematik dengan menggunakan metode maudhu’i (melacak, menghimpun, menyusun dan memahami korelasi ayat-ayat yang membicarakan perempuan). Seperti dalam pemikiran Fazlur Rahman yang menempatkan tradisi dalam intelektual Islam sebagai faktor non linguistik yang harus dipecahkan oleh hermeneutika, bagi Amina Wadud, faktor non linguistik yang harus dipecahkan adalah persepsi tentang perempuan yang ditentukan oleh kondisi sosial budaya masyarakat abad ke 7 dan ideologi patriarkhi yang sangat dominan. Secara umum telah diketahui bahwa kehidupan bangsa Arab abad ke 7 berada dalam kekacauan luar biasa dengan berbagai bentuk kebobrokan moral. Relasi gender dalam kehidupan sosial sangat buruk, perempuan diperlakukan secara zolim ,sampai yang tidak berdosapun merasakan kezoliman itu, yaitu bayi-bayi perempuan ditanam hidup-hidup karena takut miskin dan hina.

      Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model penafsiran Amina Wadud masuk kategori holistik yang mempertimbangkan berbagai metode tafsir dan persoalan sosial termasuk isu-isu gender di era moderen sebagai pra pemahaman (prior text). Amina Wadud melakukan kajian teks dengan menggunakan langkah-langkah hermeneutika linguistik.

Membongkar Bias Gender dalam Tradisi Tafsir Alquran

      Isu-isu gender dalam tafsir Alquran yang diangkat Amina Wadud meliputi isu mengenai eksistensi, hak dan peran perempuan. Eksistensi perempuan dalam tafsir dipandang tidak sempurna, perempuan dipandang berasal dari tulang rusuk laki-laki. Pandangan ini ditolak oleh Amina Wadud. Menurutnya Alquran tidak membedakan penciptaan laki-laki dan perempuan dan Alquran menyatakan bahwa manusia diciptakan berpasangan (dualisme penciptaan). Amina Wadud menegaskan bahwa Aluran menggariskan bahwa manusia sengaja diciptakan dalam pasangan laki-laki dan perempuan yang diberi perhatian yang sama atau sederajat dan diberkati dengan potensi yang sama atau sederajat. Alquran mendorong semua orang yang beriman, laki-laki dan perempuan supaya mengikuti keimanan mereka dengan tindakan dan untuk itu Alquran menjanjikan pahala yang besar bagi mereka. Eksistensi perempuan dipandang sempurna sama dengan eksistensi laki-laki.

      Hak dan peran perempuan yang menjadi perhatian Amina Wadud antara lain hak dalam kepemimpinan,talak, poligami,waris dan saksi. Dalam masalah kepemimpinan, Wadud menolak isu dalam tafsir bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Dia berpendapat bahwa tidak ada satu ayatpun dalam Alquran yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Hal ini berakar dari tradisi yang menuntut ketaatan perempuan yang sering ditafsirkan dalam bentuk serba membatasi gerak perempuan dalam masyarakat. Ketaatan perempuan pada Allah diukur dari ketaatannya pada laki-laki (suami) dan individualitas seorang perempuan diukur dari posisinya sebagai pelengkap bagi laki-laki. 14 Amina Wadu mengubah ide kepemimpinan perempuan dengan bertindak selaku imam sekaligus khotib shalat Jumaat sebagai bentuk implemetasi kesetaraan dan keadilan gender dan kounter terhadap tradisi dalam Islam. Isu gender dalam tafsir mengenai poligami, saksi dan waris dipersoalkan Amina Wadud karena bersifat diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan.

      Pembongkaran bias gender dalam penafsiran Alquran dapat dilihat dalam aplikasi hermeneutika feminisme terhadap ayat-ayat gender dalam Alquran, yakni ayat yang berkaitan dengan penciptaan15 dan kepemimpinan perempuan, 16 ayat tentang poligami,17 saksi 18 dan waris 19. Berkaitan dengan penciptaan perempuan Wadud mengatakan bahwa ada kekeliruan dalam memahami konsep-konsep nas,min,dan zawj dalam ayat penciptaan manusia, sehingga disimpulkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Wadud membongkar makna konsep-konsep di atas dan menemukan makna baru yaitu perempuan diciptakan dari sumber yang sama dengan laki-laki. Tidak satu ayatpun mengatakan bahwa perempuan berasal dari tulang rusuklaki-laki. Berkaitan dengan kepemimpinan perempuan, konsep qawwamuna ‘ala dalam Qs.4:34 telah ditafsirkan secara sempit, yaitu mengatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Dengan menganalisis konsep di atas, Wadud menemukan bahwa kepemimpinan tidak didasarkan gender tapi didasarkan pada kemampuan. Pada tingkatan aplikatif Wadud mencontohkan ide kepemimpinan perempuan dalam ibadah shalat dengan menjadi imam shalat Jumaat.

Berkaitan dengan poligami, menurut Wadud kebolehan poligami hanya bersifat kontekstual tidak berlaku universal. Pernikahan ideal dalam Islam adalah monogami, karenanya syarat poligami tidak mudah dilaksanakan, yaitu harus bersikap adil pada banyak orang. Menurut Wadud, kebolehan poligami harus dipahami dan ditafsirkan secara konteks perilaku relasi laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosial Arab abad ke 7. Poligami dalam peradaban Arab abad ke 7 tidak terbatas, sehingga seorang laki-laki bisa menikahi perempuan sebanyak mungkin, bahkan sudah menjadi hal yang biasa seorang anak menikahi bekas isteri ayahnya dengan mahar semau laki-laki. Berkaitan dengan ketentuan pembagian waris dan kesaksian perempuan, menurut Wadud tidak memiliki alasan mendasar. Pembagian warisan 2:1 untuk anak laki-laki dan perempuan merupakan produk tafsir yang menampilkan wacana patriarkhal dan menunjukkan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Pembagian waris harus adil dan ukuran adil adalah memberi manfaat bagi orang-orang yang ditinggalkan. Amina Wadud berpandangan bahwa kesaksian perempuan harus sama dengan laki-laki. Siapa yang mampu bersaksi boleh bersaksi tidak ada batasan gender.

Kesimpulan

Pemikiran Amina Wadud telah menyingkap tiga hal krusial, pertama, diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami perempuan dalam masyarakat Islam berakar dari bias gender dalam penafsiran Alquran. Kedua, tafsir klasik yang telah menjadi doktrin agama telah membenturkan hak-hak asasi perempuan kepada tembok-tembok hukum Islam. Ketiga, berbagai ketentuan dalam hukum Islam mengenai perempuan telah memberi legitimasi bagi dominasi laki-laki atas perempuan, padahal Alquran menjamin kesetaraan dan keadilan gender.

      Pokok-pokok pikiran yang dikembangkan Amina Wadud dapat dijelaskan dari kritik Amina Wadud terhadap metode tafsir klasikdan mengacu kepada metode hermeneutika feminisme yang ditawarkannya untuk menafsirkan Alquran. Hermeneutika feminisme dipandang mampu menjawab isu-isu kesetaraan gender. Tafsir klasik dalam pandangan Wadud memiliki berbagai kelemahan, yaitu bersifat androsentris (mayoritas penafsir adalah laki-laki), gagasan, struktur, sintaksis dan prinsip Alquran tidak dikaji secara hermeneutika sehingga gagal menangkap pesan-pesan Alquran, karena banyak makna ayat yang tereduksi. Maka muncul isu-isu gender dalam tafsir klasik merendahkan dan merugikan perempuan seperti isu penciptaan dan kepemimpinan perempuan, isu-isu mengenai poligami, waris dan saksi.

      Untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan, Amina Wadud membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran, khususnya membongkar ayat-ayat tentang penciptaan dan kepemimpinan perempuan, ayat mengenai poligami, waris dan saksi dan menafsir ulang ayat-ayat Alquran tersebut dengan metode hermeneutika feminisme. Usaha Wadud di atas patut diapresiasi dan tafsir baru tentang ayat-ayat gender yang dihidangkannya patut didukung karena sesuai dengan kebutuhan perempuan di zaman ini. Penulis mengharapkan semoga pembahasan pemikiran Amina Wadud ini dapat dilihat sebagai bagian kecil dari upaya meyakinkan masyarakat tentang arti penting kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan sosial kita. Penulis juga berharap, tulisan ini dapat memotivasi penulis-penulis lainnya untuk memainkan peran yang lebih besar dalam upaya meyakinkan masyarakat muslim, khususnya kaum muslimin Indonesia akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender.

Daftar Pustaka

Arivia, Gadis, Filsafat Berspektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003

—————             Feminisme: Sebuah Kata Hati, Jakarta, Kompas Media    Nusantara, 2006

Ali, Kecia, Hammer, Juliane, and Silvers, Laury, A Jihad For Justice: Honoring The Work and Life Of Amina Wadud,Printed in USA, 48 Hr Books, 2012

Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme,Kaukan Dipantara,Yogyakarta,2014

Mernissi, Fatima, Women’s Rebellion & Islamic Memory, Literary Agency Inc, 1993

Mulia ,Musdah, Muslimah Sejati : Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Illahi, Penerbit Maja, Bandung, 2011

—————     Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Jender Penerbit, Sm & Naufan Pustaka, Yogyakarta, 2014

……………   Kemuliaan Perempuan dalam Islam,Megawati Institute, Jakarta, 2014

Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Bantul, Yogyakarta, LKiS, 2010

Shihab M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Penerbit Mizan, Jakarta, 1992

—————     Kaidah tafsir, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2013

Umar, Nasaruddin, Argumen kesetaraan Gender Perspektif AlQuran, Paramadina, Jakarta, 1999

Wadud ,Amina Quran and Women : Rereading The Sacred Tect From A Woman’ Perspective, Oxford University Press, 1999

—————     Inside The Gender Jihad: Women’s Reform In Islam , Thomson –Shore, USA, 2007

Lubis, Achyar Yusuf, Filsafat Ilmu , Klasik Hingga Kontemporer, (Depok : Penerbit Raja Grafindo Persada), 2014

……………….   Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya Kontemporer, (Depok : Dep.Filsafat, FIB Universitas Indonesia), 2012

 

Catatan Akhir

  1. Musdah Mulia dalam Islam dan Hak Asasi Manusia,2010 hal.168
  2. Musdah Mulia dalam Muslimah Sejati,2011 hal. 98
  3. Laporan Komnas Perempuan Tahun 2013
  4. Draft Rencana Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan gender (RUU KKG) mulai diproses 2010, ketika draft ini disosialisasikan terdapat perdebatan di internal DPR-RI ,hingga saat ini belum ada keputusan untuk menjadikan draft RUU tersebut sebagai RUU inisiatif DPR-RI.
  5. Tafsir adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia, Penafsiran Alquran berlangsung dalam dua periode, penafsiran awal yaitu penafsiran Alquran oleh Nabi Muhammad, penafsiran para Sahabat dan penafsiran kalangan tabiin (murid-murid para Sahabat) dan penafsiran setelah masa Penafsiran awal disebut dengan tafsir klasik, tafsir yang tidak menerapkan prinsip-prinsip pokok penafsiran.
  6. Irsyadunnas dalam Hermeneutika Feminisme 6
  7. Mudjia Raharjo,2008 hal.32
  8. Akhyar Yusuf Lubis dalam Filsafat Ilmu
  9. Amina Wadud dalam Qur’an and Woman xx
  10. Ibid hal.6
  11. Ibid hal.2
  12. Ibid hal.1-3
  13. Ibid hal.62
  14. Ibid hal.ix
  15. Annisa/4 :1 tentang Penciptaan
  16. Annisa/4 : 34 tentang Kepemimpinan
  17. Annisa/4 :3   tentang poligami
  18. Annisa/4 :11 tentang pembagian warisan
  19. Al-Baqarah/ 2 : 228   tentang kesaksian

dimuat di Jurnal Perempuan Vol 20 No 1, Februari 2015