
Kritik Akhmad Sahal terhadap larangan pemimpin non muslim (Kajian hermeneutika Alquran)
Pengantar
Haramkah pemimpin non muslim ?. Pertanyaan ini adalah judul dari artikel yang ditulis oleh Akhmad Sahal Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika ( Pendapat@Tempo.co.id). Dalam artikel ini Sahal membongkar interpretasi ayat-ayat Alquran Qs. Almaidah 51, Qs. Ali Amran 28 dan An-nisa 144 yang memberi pandangan mengharamkan umat Islam menjadikan non Muslim sebagai pemimpin. Sahal ragu apakah betul ayat-ayat di atas yang dijadikan acuan, benar merupakan larangan memilih pemimpin non muslim. Menjawab keraguannya ini, Sahal membongkar penafsiran ayat-ayat tersebut dan menggali makna otentiknya dengan menggunakan hermeneutika Alquran. Hermeneutika Alquran adalah penafsiran Alquran dengan metode hermeneutika. Prinsip hermeneutika adalah penafsiran kontekstual. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada hermeneutika Alquran dalam pemikiran Akhmad Sahal.
Hermeneutika
Secara umum hermeneutika dipahami sebagai ilmu tentang teori penafsiran. Dalam konteks kekinian, hermeneutika lebih dipahami sebagai metode penafsiran teks, termasuk penafsiran teks-teks kitab suci. Hermeneutika sebagai metode berurusan dengan pelbagai aturan dan teori penafsiran yang dikenal dengan hermeneutika moderen yang berkembang dalam 3 aliran : Hermeneutika teoritis, filosofis dan kritis. Perkembangan mutakhir, hermeneutika berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Hermeneutika tidak lagi terbatas pada metode apa yang paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran, tapi juga mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan mengkritisi dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang menopangnya.
Hermeneutika moderen memperhatikan tiga aspek penafsiran yaitu, konteks, gramatika dan wellstanschauung (pandangan dunia). Menafsirkan Alquran dengan pendekatan hermeneutika berarti memperhatikan tiga aspek penafsiran tersebut yaitu:
pertama, memperhatikan konteks saat ayat diturunkan atau asbabul Nuzul . Alquran turun dalam konteks yang spesifik, maka peran asbabul nuzul adalah mutlak. Ayat-ayat Alquran haruslah dipahami secara kontekstual.
Kedua, memperhatikan susunan gramatika ayat, bagaimana bunyi dan makna ayat secara menyeluruh. Pembacaan Alquran harus secara keseluruhan, tidak ayat per ayat dan melacak bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh ayat, membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama.
Ketiga, memperhatikan aspek Welstanschauung dari ayat yang ditafsirkan. Aspek Wellstanschauung (pandangan dunia) perlu mendapat perhatian. Ada kata-kata dalam ayat Alquran memiliki Wellstanschauung yang berbeda dengan bahasa Arab. Makna dasar suatu kata sebelum wahyu turun akan memiliki makna berbeda dalam Alquran. Disamping itu, realitas gaib yang diterakan dalam Alquran sulit digambarkan dengan kata-kata, karena alam gaib tersembunyi dari persepsi manusia, tidak bisa ditafsirkan baik secara empiris maupun harfiah.
Hermeneutika Alquran
Dalam studi tentang Alquran dan tafsir, hermeneutika merupakan metode baru bagi penafsiran Alquran. Digunakan sejak tahun 1965 oleh Hassan Hanafi, pakar filsafat kontemporer dalam pemikiran Islam. Sekalipun penggunaan metode hermeneutika dalam menafsirkan Alquran menimbulkan pandangan pro kontra, tapi ketika hermeneutika cukup memberikan kontribusi signifikan dan membuka wacana baru dalam pembacaan teks suci, maka metode ini dikembangkan dalam berbagai perspektif oleh intelektual Islam kontemporer, seperti Fahrur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Essack dan Amina Wadud. Tokoh-tokoh Islam ini melakukan koreksi terhadap kesalahan umat yang kurang memperhatikan karakterisitik dan fleksibilitas penafsiran ayat-ayat Alquran, sehingga membebani umat, karena tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan konteks sosial abad 21.
Hermeneutika Fazlur Rahman merupakan pemahaman teks dalam konteks, dimana dan kapan suatu ayat diturunkan dan bagaimana respon masyarakat terhadap ayat tersebut, kemudian dbawa ke konteks kekinian. Rahman mengembangkan seperangkat metode tafsir yang menggunakan pendekatan historis dan sintetis analitis untuk menemukan suatu universalitas pesan moral Alquran. Nasr Hamid Abu Zayd juga menampilkan model baru hermeneutika Alquran yang disebut dengan hermeneutika signifikan. Bagi Zayd, Alquran mengandung dua unsur yaitu makna objektif yang terbentuk melalui historis dan metaforis dan makna signifikansi yakni level kata yang maknanya dapat diperluas ke dalam kultur yang berbeda dari kultur awal. Amina Wadud mengembangkan penafsiran Alquran berbasis feminis yang diberi nama hermeneutika feminisme.
Penerapan metode hermeneutika Alquran
Sahal menerapkan hermeneutika Alquran untuk membongkar penafsiran ayat-ayat tentang haramnya kepemimpinan non muslim untuk direinterpretasi. Langkah awal yang dilakukan Sahal adalah membedah kata kunci dalam ayat-ayat-ayat tersebut yaitu kata auliya. Dalam terjemahan Alquran Departemen agama RI, kata auliya diartikan sebagai pemimpin. Dalam terjemahan Alquran berbahasa Inggeris seperti Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Quran mengartikan kata auliya diartikan sebagai friends and protectors. Dalam The messages of the Quran, M.A.S. Abdel Haleem mengartikan kata auliya sebagai allies. Dengan demikian, kata auliya diartikan pemimpin, teman, sekutu atau penolong. Untuk melacak makna otentik dari kata auliya, Sahal menggunakan metode maudhu’i (intertekstualitas) yaitu melacak makna kata auliya dalam ayat-ayat yang membicarakan kepemimpinan muslim, seperti Qs. Almaidah 51, Qs. Ali Amran 28 dan An-nisa 144 . Sahal menggunakan pendekatan asbabun Nuzul ( kontekstulisasi historis) sebagai berikut:
Menelusuri asbabun Nuzul Qs. Almaidah 51, Sahal menemukan bahwa dalam tafsir Al-Thabary dan tafsir Ibnu Katsir (tafsir klasik) para ulama tafsir berbeda pendapat tentang asbabun Nuzul Qs. Almaidah 51. Satu riwayat mengatakan bahwa turunnya ayat tersebut berkaitan dengan Perang Uhud. Dalam situasi kekalahan, ada prajurit muslim yang bermaksud untuk meminta perlindungan kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Maka turunlah larangan bahwa Yahudi dan Nasrani tidak boleh sebagai auliya. Menurut riwayat lainnya, ayat ini turun dalam saat perang Khandaq. Ketika Nabi dan kaum muslim dikepung kaum kafir Quraisy, beberapa orang sahabat nabi yang punya kedekatan dengan kaum Yahudi mengusulkan minta bantuan pada kaum Yahudi. Saat itu turun ayat yang melarang bersekutu dengan kaum Yahudi dan Nasrani.
Menelusuri asbabun Nuzul Qs. Ali Amran 28, Sahal mengemukakan pendapat M. Abduh, bahwa ayat ini turum saat penaklukan kota Mekah. Ketika seorang sahabat Nabi menyurati kerabatnya di Mekah, agar menyelamatkan diri karena tentara Muslim akan melakukan ekspedisi ke Mekah, maka turunlah ayat ini yang melarang pertemanan yang dekat (auliya) dengan non muslim sampai pada tingkat membuka rahasia. Dalam peperangan hal ini tentu sangat berbahaya.
Menelusuri kitab fiqih, menurut kitab fiqih politik pemimpin itu harus muslim. Dalam hal ini Sahal mengatakan bahwa pemimpin yang dimaksud dalam fiqih ini adalah pemimpin yang mengemban tugas keislaman, seperti menjadi muftahid yang menggali hukum Islam dari Quran dan sunnah. Pemimpin yang dimaksud dalam fiqih tersebut bukan pemimpin dalam pemerintahan demokrasi moderen yang pada dasarnya adalah administrator yang bertugas mengelola urusan publik.
Berdasarkan hal diatas Sahal berpendapat bahwa auliya dalam ayat ayat di atas bukan berarti pemimpin, melainkan sekutu, teman dekat,penolong. Sehubungan dengan itu, Sahal menggagas agar Kementrian Agama RI segera merevisi terjemahan Alqurannya mengenai kata auliya. Pemilihan pemimpin pemerintahan demokrasi moderen tidak didasarkan pada agama yang dianut. Setiap warga negara mempunyai hak untuk memimpin. Hal ini tertuang dalam konstitusi negara RI.
Kesimpulan
Memahami langkah-langkah metodologis yang dilakukan Sahal dalam mengeritik penafsiran ayat-ayat Alquran tentang kepemimpinan non muslim di atas, jelas bahwa Sahal telah menggunakan metode hermeneutika Alquran. Pemikiran Sahal ini bersifat reformis yang berusaha merekonstruksi ulang warisan pemahaman lama, dengan cara memberi penafsiran baru. Kritiknya dapat dapat dijadikan dasar untuk mengubah wajah pemahaman keagamaan yang menghambat pembaharuan dan kerukunan hidup beragama di Indonesia. Tulisan ini semoga dapat dilihat sebagai bagian kecil dari upaya menginformasikan pada masyarakat bahwa ada penafsiran ayat-ayat Alquran (ayat-ayat sosiologis) yang perlu di reinterpretasi.
Islam memiliki ajaran dasar dan ajaran non dasar. Ajaran dasar bersifat obsulut, universal dan abadi, seperti rukum iman, rukun Islam. Ajaran non dasar bersifat fleksible dan kontemporer, umumnya berbicara tentang masalah-masalah sosiologis. Masalah kepemimpinan adalah masalah sosiologis yang tentu berada dalam ranah ajaran non dasar.