Kritik Akhmad Sahal terhadap larangan pemimpin non muslim (Kajian hermeneutika Alquran)

Kritik Akhmad Sahal terhadap larangan pemimpin non muslim (Kajian hermeneutika Alquran)

IMG-20160427-114730

Pengantar

          Haramkah pemimpin non muslim ?.  Pertanyaan  ini adalah judul dari artikel yang ditulis oleh Akhmad Sahal Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika ( Pendapat@Tempo.co.id).   Dalam artikel ini Sahal  membongkar interpretasi  ayat-ayat Alquran  Qs. Almaidah 51, Qs. Ali Amran 28 dan An-nisa 144 yang memberi pandangan mengharamkan umat Islam menjadikan non Muslim sebagai pemimpin.   Sahal ragu apakah betul  ayat-ayat di atas yang dijadikan acuan,  benar merupakan  larangan memilih pemimpin non muslim.  Menjawab keraguannya ini, Sahal membongkar penafsiran ayat-ayat tersebut dan menggali makna otentiknya dengan menggunakan hermeneutika Alquran. Hermeneutika Alquran adalah penafsiran Alquran  dengan metode hermeneutika. Prinsip hermeneutika adalah penafsiran kontekstual.  Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada hermeneutika Alquran dalam pemikiran Akhmad Sahal.

Hermeneutika

     Secara umum hermeneutika dipahami sebagai ilmu tentang teori penafsiran. Dalam konteks kekinian, hermeneutika lebih dipahami sebagai metode penafsiran  teks, termasuk penafsiran teks-teks kitab suci.  Hermeneutika sebagai metode  berurusan dengan pelbagai aturan dan teori penafsiran yang dikenal dengan hermeneutika moderen yang  berkembang dalam 3 aliran : Hermeneutika teoritis, filosofis dan kritis. Perkembangan mutakhir, hermeneutika  berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Hermeneutika tidak lagi terbatas pada metode apa yang paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran, tapi juga mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan mengkritisi dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang menopangnya.

          Hermeneutika moderen memperhatikan tiga aspek penafsiran yaitu,  konteks, gramatika dan wellstanschauung (pandangan dunia).  Menafsirkan Alquran dengan pendekatan hermeneutika berarti  memperhatikan tiga aspek penafsiran tersebut yaitu:

 pertama, memperhatikan konteks saat ayat diturunkan  atau asbabul Nuzul . Alquran turun dalam konteks yang spesifik, maka peran asbabul nuzul adalah mutlak. Ayat-ayat  Alquran haruslah dipahami secara kontekstual.

Kedua, memperhatikan susunan gramatika ayat, bagaimana bunyi dan makna ayat secara menyeluruh. Pembacaan Alquran harus  secara keseluruhan, tidak ayat per ayat dan melacak bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh ayat, membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama.

Ketiga, memperhatikan aspek Welstanschauung dari ayat yang ditafsirkan. Aspek  Wellstanschauung (pandangan dunia)  perlu mendapat  perhatian. Ada kata-kata dalam ayat Alquran memiliki Wellstanschauung yang berbeda dengan bahasa Arab. Makna dasar suatu kata sebelum wahyu turun akan memiliki makna berbeda dalam Alquran. Disamping itu, realitas gaib yang diterakan dalam Alquran sulit digambarkan dengan kata-kata, karena alam gaib tersembunyi dari persepsi manusia, tidak bisa ditafsirkan baik secara empiris maupun harfiah.

Hermeneutika Alquran

          Dalam studi tentang Alquran dan tafsir, hermeneutika merupakan metode baru bagi penafsiran Alquran. Digunakan sejak tahun 1965  oleh  Hassan Hanafi, pakar filsafat  kontemporer  dalam pemikiran Islam. Sekalipun penggunaan metode hermeneutika dalam menafsirkan Alquran menimbulkan pandangan pro kontra, tapi ketika hermeneutika cukup memberikan kontribusi signifikan dan membuka wacana baru dalam pembacaan teks suci, maka metode ini dikembangkan dalam berbagai perspektif oleh intelektual Islam kontemporer, seperti  Fahrur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Essack dan Amina Wadud.  Tokoh-tokoh Islam ini melakukan koreksi terhadap kesalahan umat yang kurang memperhatikan karakterisitik dan fleksibilitas penafsiran ayat-ayat Alquran, sehingga membebani umat, karena tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan konteks sosial abad 21.

Hermeneutika Fazlur Rahman merupakan pemahaman teks dalam konteks, dimana dan kapan suatu ayat diturunkan dan bagaimana respon masyarakat terhadap ayat tersebut, kemudian dbawa ke konteks kekinian. Rahman mengembangkan seperangkat metode tafsir yang menggunakan pendekatan historis dan sintetis analitis untuk menemukan suatu universalitas pesan moral Alquran.  Nasr Hamid Abu Zayd juga menampilkan model baru hermeneutika Alquran yang disebut dengan hermeneutika signifikan. Bagi Zayd,  Alquran mengandung dua unsur yaitu makna objektif  yang terbentuk melalui historis dan metaforis dan makna signifikansi yakni level kata yang maknanya dapat diperluas ke dalam kultur yang berbeda dari kultur awal. Amina Wadud mengembangkan  penafsiran Alquran berbasis feminis  yang diberi nama hermeneutika feminisme.

Penerapan metode hermeneutika Alquran

          Sahal menerapkan  hermeneutika Alquran untuk membongkar penafsiran ayat-ayat tentang haramnya kepemimpinan non muslim untuk direinterpretasi.  Langkah awal  yang dilakukan Sahal adalah membedah kata kunci dalam ayat-ayat-ayat tersebut yaitu kata auliya. Dalam terjemahan Alquran Departemen agama RI,  kata auliya diartikan sebagai pemimpin.  Dalam   terjemahan Alquran  berbahasa  Inggeris seperti  Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Quran  mengartikan kata auliya  diartikan sebagai friends and protectors. Dalam The messages of the Quran,  M.A.S. Abdel Haleem mengartikan kata auliya sebagai allies. Dengan demikian, kata auliya  diartikan pemimpin, teman, sekutu atau penolong.       Untuk melacak makna otentik dari kata auliya, Sahal  menggunakan metode  maudhu’i (intertekstualitas) yaitu melacak makna kata auliya dalam  ayat-ayat yang membicarakan kepemimpinan muslim,  seperti Qs. Almaidah 51, Qs. Ali Amran 28 dan An-nisa 144 . Sahal menggunakan pendekatan asbabun Nuzul ( kontekstulisasi historis) sebagai berikut:

          Menelusuri asbabun Nuzul Qs. Almaidah 51, Sahal menemukan bahwa  dalam  tafsir  Al-Thabary dan tafsir Ibnu Katsir (tafsir klasik) para ulama tafsir  berbeda pendapat tentang  asbabun Nuzul Qs. Almaidah 51. Satu riwayat mengatakan bahwa turunnya ayat tersebut berkaitan dengan Perang Uhud. Dalam situasi kekalahan, ada prajurit muslim yang bermaksud untuk meminta perlindungan kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Maka turunlah larangan bahwa Yahudi dan Nasrani tidak boleh sebagai auliya. Menurut riwayat lainnya, ayat ini turun dalam saat perang Khandaq. Ketika Nabi dan kaum muslim dikepung  kaum kafir Quraisy, beberapa orang sahabat nabi yang punya kedekatan dengan kaum Yahudi mengusulkan minta bantuan pada  kaum Yahudi. Saat itu turun ayat yang melarang bersekutu dengan kaum Yahudi dan Nasrani.

     Menelusuri asbabun Nuzul  Qs. Ali Amran 28, Sahal  mengemukakan pendapat M. Abduh, bahwa ayat ini turum saat penaklukan kota Mekah. Ketika seorang sahabat Nabi menyurati  kerabatnya di Mekah, agar menyelamatkan diri karena tentara Muslim akan melakukan ekspedisi ke Mekah, maka turunlah ayat ini      yang melarang pertemanan yang dekat (auliya)  dengan non muslim sampai pada tingkat membuka rahasia. Dalam peperangan hal ini tentu sangat berbahaya.

     Menelusuri  kitab fiqih, menurut kitab fiqih politik  pemimpin itu harus muslim. Dalam hal ini Sahal mengatakan bahwa pemimpin yang dimaksud dalam fiqih ini adalah  pemimpin yang mengemban tugas keislaman, seperti menjadi muftahid yang menggali  hukum Islam dari Quran dan sunnah.  Pemimpin yang dimaksud dalam fiqih tersebut bukan pemimpin dalam pemerintahan demokrasi moderen yang pada dasarnya adalah administrator yang bertugas mengelola urusan publik.

     Berdasarkan hal diatas Sahal berpendapat  bahwa  auliya dalam ayat ayat di atas bukan berarti pemimpin, melainkan sekutu, teman dekat,penolong. Sehubungan dengan itu, Sahal menggagas agar Kementrian Agama RI  segera merevisi terjemahan Alqurannya mengenai kata auliya. Pemilihan pemimpin pemerintahan demokrasi moderen tidak didasarkan pada agama yang dianut. Setiap warga negara mempunyai hak untuk memimpin. Hal ini tertuang dalam konstitusi negara RI.

Kesimpulan

Memahami langkah-langkah metodologis yang dilakukan Sahal dalam mengeritik penafsiran ayat-ayat Alquran tentang kepemimpinan  non muslim  di atas, jelas bahwa Sahal telah menggunakan metode hermeneutika Alquran. Pemikiran Sahal ini  bersifat reformis yang berusaha merekonstruksi ulang warisan pemahaman lama, dengan cara memberi penafsiran baru. Kritiknya dapat dapat dijadikan dasar untuk mengubah wajah pemahaman keagamaan yang menghambat pembaharuan dan kerukunan hidup beragama di Indonesia. Tulisan ini semoga dapat dilihat sebagai bagian kecil dari upaya menginformasikan pada masyarakat bahwa ada penafsiran ayat-ayat Alquran (ayat-ayat sosiologis) yang  perlu di reinterpretasi.

          Islam memiliki ajaran dasar dan ajaran non dasar. Ajaran dasar  bersifat obsulut, universal dan abadi, seperti  rukum iman, rukun Islam. Ajaran non dasar bersifat fleksible dan kontemporer, umumnya berbicara tentang masalah-masalah sosiologis. Masalah kepemimpinan adalah masalah sosiologis yang tentu berada dalam ranah ajaran non dasar.