Korupsi, Sistem yang salah ?
Sampai hari ini berita tentang korupsi di berbagai lembaga negara masih memenuhi headline media massa baik cetak maupun on line. Banyak tumpukan informasi tentang kasus korupsi yang dikedepankan termasuk kasus korupsi dalam pengadaan E-KTP. Tidak tangung-tangung, korupsi E-KTP ini melibatkan nama-nama pejabat penting di negara ini, mulai dari Ketua DPR RI dan pejabat negara lainnya. Korupsi bagai wabah, koruptor muncul dimana-mana, baik di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Penyelenggara negara mencuri uang negara. Sungguh tragis.
Dalam era reformasi, Indonesia bertekad melaksanakan sistem politik demokrasi yang sungguh-sungguh, tidak seperti demokrasi ala Orde Baru. Sistem politik Orde Baru, secara konseptual demokrasi tapi pelaksanaannya otoriter. Untuk mengubah hal ini, maka UUD 1945 diamandemen. APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara ) ditetapkan berdasarkan persetujuan DPR RI sebagai tanda Rakyat berdaulat. UUD 1945 dalam pasal 23 memposisikan kekuasaan DPR RI lebih kuat dibanding Pemerintah dalam menentukan anggaran belanja negara. DPR RI melalui Badan Anggaran memiliki wewenang menentukan besaran plafon anggaran, baik penerimaan maupun pengeluaran. Badan anggaran DPR- RI bisa lebih detail mengetahui perencanaan dan penggunaan anggaran dan penggunaan anggaran juga berada dibawah pengawasan DPR RI.
Ketentuan ini rupanya telah membuat keuangan negara binasa. Ketika kekuasaan DPR RI lebih besar dalam menentukan anggaran, maka muncul mafia anggaran yang melibatkan oknum-oknum anggota DPR RI dan oknum-oknum pejabat di kementrian. Korupsi uang negara tidak terhindarkan, penyelenggara Negara mencuri uang Negara. “pagar makan tanaman”.
APBN merupakan undang-undang negara. Sebelum disahkan menjadi undang-undang, ia merupakan RUU (Rencana Undang-Undang ) tentang APBN. Tiap RUU dibahas oleh DPR dan pemerintah. Sebelum pengesahan RUU harus melalui proses Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan masyarakat, bahkan dilakukan uji publik ke daerah-daerah dan ada yang harus studi banding ke luar negeri. Setelah melalui berbagai proses maka RUU disahkan menjadi Undang-Undang.
RUU APBN harusnya dibahas dengan proses yang sama. Jika setiap RUU sebelum pengesahan harus melalui proses Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan masyarakat, bahkan dilakukan uji publik ke daerah-daerah, tetapi pembahasan RUU APBN tidak demikian. Pembahasan RUU APBN ini cenderung elitis dan tidak transparan. Tidak ada Rapat Dengar Pendapat dengan masyarakat apalagi proses uji efisiensi dalam alokasi anggaran. Akibatnya, muncul alokasi anggaran yang tidak berdasarkan kebutuhan rakyat, tetapi lebih kepada kepentingan politik semata. Muncul celah-celah untuk korupsi dan proses jual beli kewenangan dalam menentukan alokasi anggaran. Muncul mafia anggaran.
Sebagian besar rakyat hanya bisa mencaci dan memaki. Sementara rakyat didera kemiskinan, mafia anggaran menggerogoti uang negara. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi ? Apakah sistem yang salah atau para penyelenggara yang tidak lagi memiliki integritas moral?. Ini perlu kajian tersendiri yang memerlukan pendekatan lintas disiplin, sehingga dapat ditetapkan sistem dan mekanisme yang tepat untuk pembahasan APBN, sehingga tidak memberi ruang untuk korupsi dan jalan –jalan tikus calo anggaran.