Keluarga Berkeadilan gender
Awan mulai gelap, pertanda malam akan menampakan perangainya. Lampu-lampu jalan tak kalah seru beradu cahaya dengan bulan yang siap menggantikan matahari sebagai aksen langit. Di sudut kota ini, di sebuah rumah sederhana aku merenungi nasib, kehilangan suami. Senja yang semakin menua menemaniku duduk sendiri dalam kesunyian, menunggu suami tercinta yang tidak mungkin datang.
Hari itu, ketika kaum kerabat, handai tolan, kenalan, dan tetangga satu per satu meninggalkan rumah duka, aku sadar bahwa aku akan sendiri. Aku akan berjalan dalam sunyi menjalani sisa hidup ini. Paling-paling ditemani seorang pembantu rumah tangga, itupun bila masih mampu membayarnya. Tentu saja, sesekali putra-putraku, menantu, dan cucu-cucuku datang berkunjung, namun ketika mereka pulang, aku hanya bisa tersenyum dalam kesedihan. Tangis yang tertahan di dada mendatangkan rasa nyeri. Kesedihan itu terus mengalir. Masa gelap seperti dibordir pada brokat dan sutra.
“ Bu, makan malam sudah disiapkan”, aku dikagetkan oleh suara Atun pembantu yang memberi tahukan bahwa aku harus segera makan karena harus minum obat. Sehari setelah suamiku dikubur, aku masuk rumah sakit. Tangis yang tertahan di dada, mendatangkan rasa nyeri. Rasa nyeri itu menjalar ke lengan dan jari-jari tangan yang kusangka aku kena serangan jantung. Setelah diobservasi tiga hari di rumah sakit, ternyata enzim jantungku negatif, tapi aku tetap dibekali obat yang harus diminum secara rutin untuk maintenance kesehatan.
Dengan malas kuseret kakiku ke meja makan. Aku kembali melamun membayangkan detik-detik terakhir ketika suamiku meninggal dunia. Ajal rahasia Allah. Dia meninggal tanpa ada tanda-tanda. Menghembuskan nafas terakhir saat tersentak tidur. Dia sempat berada sejenak dalam pangkuanku, membuka mata beberapa detik, menatap wajahku, seperti mau mengucapkan selamat tinggal dan memastikan aku ada dekatnya. Kemudian, matanya redup tanpa sinyal kehidupan, tapi seperti menyatakan bahwa dia menepati janjinya, mencintaiku sampai akhir hayat, dan hanya tangan maut yang memisahkan. Tidak ada pesan, tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan pergi selama-lamanya. Redup dan pasrah, wajah terakhir suamiku, tak dapat kulupakan seumur hidupku.
“ Kok ibu masih melamun, nanti sayurnya dingin bu”, suara Atun, mengejutkan aku.
“Ibu jangan sedih terus deh, nanti ibu sakit, kena kanker darah putih lho” kata Atun menimpali.
Si Atun ini sok tahu, kataku dalam hati. Orang sedih kok bisa kena kanker darah putih. Tapi bisa juga Atun punya pengetahuan. Sekarang era digital, smartphone berkembang, penggunaan sosial media meluas dan pengetahuan bisa diperoleh dengan mudah dan murah. Atun rajin reading dan writing di gawainya. Hidup di zaman digital ini adalah hidup yang penuh informasi.
Aku mencicipi makanan sekedar mengisi perut agar dapat meminum obat yang harus diminum setelah makan malam. Sunyi itu terus mengalir. Malam mulai pekat. Ingatan ke masa lalu tidak bisa berhenti. Aku kembali melamun. Genangan kenangan mengaliri jalur-jalur syarafku.
3 Februari 1969. Itu hari pernikahan kami. 3 Desember 2015 sumiku wafat. 47 tahun kurang dua bulan kami hidup berumah tangga, tidak sempat merayakan perkawinan emas. Setelah pensiun, dia mengalami pos power sindrom. Dia mulai sakit-sakitan da mulai keluar masuk rumah sakit.
Suamiku seorang politisi. Dia berjuang di bidang politik praktis, menjadi anggota legislatif selama dua pulah tahun. Sepuluh tahun pertama aku tidak bisa membantu pekerjaannya. Aku menunaikan kodrat ibu, mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anak. Setelah anak-anak masuk sekolah, mulai kubantu dia dalam kerja-kerja politiknya.
Sebagai politisi di lembaga legislatif dia butuh konseptor. Aku menjadi konseptornya. Zaman Orde Baru anggota DPR tidak difasilitasi dengan Tenaga Ahli (TA) dan sekretaris pribadi (sespri). Masing-masing anggota DPR mencari sendiri bahan dan materi untuk dibawa ke meja-meja sidang. Dalam kerja-kerja politiknya, aku menyiapkan diri menjadi sespri dan TA. Untuk itu, dia menyuruhku ke kampus, studi di perguruan tinggi. Kami membahas masalah-masalah politik aktual hampir tiap hari. Kemudian mencari bahan dan materi untuk disusun sebagai konsep yang dibawa ke sidang-sidang legislatif atau dipublikasikan sebagai opini politik.
Karir politiknya telah menempatkan suamiku dalam jabatan penting di sebuah partai politik dan mendapat kesempatan untuk menjadi anggota legislatif beberapa periode. Kegetolan berorganisasi ini telah dijalaninya sejak di bangku kuliah. Selesai kuliah, awalnya dia mengabdi di kampus sebagai tenaga pengajar (dosen). Reformasi politik di Indonesia era Orde Baru, membuka peluang bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik untuk ikut dalam Pemilu 1971. Suamiku masuk ke salah satu Partai politik peserta Pemilu 1971. Sejak itulah dia menjadi anggota legislatif hingga tahun 1992.
Aku dan suami membangun relasi keluarga yang berkeadilan gender. Aku merasa isteri termujur di didunia karena terhindar dari konsep keluarga konvensional. Suami kepala keluarga, pencari nafkah, pelindung keluarga ( peran publik), sedangkan isteri mengurus urusan rumah tangga ( peran domestik) yaitu mencuci, memasak, mengasuh anak dan lain-lainnya. Karena pembagian peran sosial seperti itu, maka relasi suami dan isteri adalah relasi kuasa.
Memang masih ketat dalam pandangan masyarakat bahwa secara sosial perempuan adalah warga kelas dua, inferior, berada di bawah dominasi laki-laki. Relasi Kuasa dan produksi kekuasaan suami pada level rumah tangga, tidak terlepas dari produksi kuasa laki-laki di level negara. Negara cenderung lebih menyukai peran perempuan sebagai istri dengan mengabaikan otonomi pribadinya. Hal ini terkait dengan konsep negara tentang keluarga inti. (UU Nomor 1 tahun 1975 tentang Perkawinan).
Aku dan suami sering diskusi tentang ide kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini merupakan hal yang terindah dalam diskusi kami. Sering dibahas, pandangan masyarakat yang berakar dari pandangan agama (Islam) bahwa perempuan tidak diizinkan punya kehendak, harus mengikuti keinginan suami. Bila tidak taat pada suami dan melanggar apa yang dikatakannya, akan dianggap sebagai perempuan tidak berguna, bahkan menjadi calon penghuni neraka. Membahas hal ini, protesku muncul berapi-api. Suamiku adalah penguatku. Dia laki-laki penyabar, maka diskusi kami berjalan lancar dan indah.
Sesungguhnya, aku dan suamiku memiliki cara pandang yang berbeda pada tiap masalah, tetapi kami dapat berbagi makna dalam impak kedewasaan. Aku lebih condong melihat persoalan secara teoritis, sedangkan dia lebih banyak pada penerapan. Aku bergumul dengan doktrin (dassolen) dia lebih mengartikulasikan praktek (dassain) . Aku mengemukakan berbagai pandangan dan pendapat, dia bergaul dengan berbagai pandangan dan pendapat tersebut.
Cara pandang yang berbeda inilah yang membuat kami sangat akrab sekali. Berkomunikasi merupakan alat utama untuk memproduksi berbagai ide dan pikiran. Sekalipun sikap dasar manusia cenderung menekankan egoisme masing-masing, tetapi aktivitas terkoordinasi akan menghasilkan sesuatu yang istimewa, apalagi dibarengi cinta. Kami saling mencintai. Cinta adalah kendaraan besar dalam keluarga untuk membentuk hidup sukses dan damai.
Aku sangat mencintai nya, diapun demikian. Dia tidak pernah menyakitiku, akupun demikian. Kami hidup damai dan harmonis, penuh vitalitas kehidupan. Kami lebih banyak menggunakan waktu untuk mengolah kemampuan intelektual, terutama di bidang politik. Moralitas politik, sering menjadi fokus diskusi kami. Rencananya, setelah pensiun di panggung politik, kami akan mengolah pengalaman dan pengetahuan politiknya menjadi tulisan dan buku. “Menulis adalah cara berbagi gagasan dengan orang lain” ucapnya waktu itu.
Kini dia telah pergi, sang maut datang menjemput. Aku kehilangan jiwa dan nafasku. Peristiwa kehilangan ini, sakitnya sampai ke hulu hati. Tiap roma di tubuhku terasa tercerabut dari akarnya. Batinku terguncang, aku kehilangan pegangan dan air mata mengalir terus tidak bisa dicegah. Banyak pertanyaan menyesak dada. Mampukah hidupku berdenyut tanpa irama jantungnya?. Apakah aku kini hanya tinggal kerangka, sama sekali tidak hidup lagi ? Bayangan suamiku bertengger terus dalam kepala.
Malam kian larut. Sudah pukul dua dinihari, tapi mata belum juga mau tidur. Kutarik nafas dalam-dalam, kupejamkan mata sesaat, kubuang nafas perlahan, lalu aku berusaha untuk tidur dan berbisik “ aku harus bangkit”.