
Keberanian Filosofis seorang Musdah Mulia

Sejak abad 20, studi Islam tentang epistemologi dan relasi gender dalam Islam mulai mendapat perhatian ilmuan, baik di Barat maupun di Timur. Pada awalnya, studi Islam bertumpu pada idealisme dan menjadikan Alquran sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Kemudian, menjadi kajian ilmiah dengan pendekatan empiris. Lahir berbagai ilmu pengetahuan empiris dari perspektif Islam. Di kekinian, studi Islam berkembang lebih komprehensif, multiaproach. Islam mengatur tidak saja hubungan manusia dan Tuhan, tapi juga mengatur hubungan antar manusia yang bergerak dalam suatu kehidupan sosial. Multiapproach dalam studi Islam suatu keniscayaan.
Musdah Mulia berdasarkan karya-karyanya, dapat dilihat sebagai pemikir Islam yang reformis. Karya tertulis Musdah Mulia memperlihatkan bahwa dia seorang intelektual Islam yang memberi perhatian terhadap epistemologi dan relasi gender dalam Islam. Dia mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir Alquran dan menggagas reformasi sosial terutama reformasi hukum keluarga dalam Islam, seperti hukum nikah, talaq, poligami, waris . Karya tulis Musdah Mulia antara lain,
Poligami DalamPandangan Islam,
Kesetaraan dan Keadilan Gender: Perspektif Islam,
Menggugat Poligami,
Perempuan dan Politik,
Muslimah Reformis,
Perempuan Pembaru Keagamaan,
Islam and Violence Against Women,
Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender,
Menuju Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depotisme Perempuan di Indonesia.
Dari karya seseorang kita dapat mengenal orangnya dan pemikirannya. Karyanya menjadi lahan garapan. Bila karya itu dibaca dengan ketangkasan hermeneutis, tidak hanya terbaca pemikiran penulisnya, tapi dapat diangkat ide-ide yang masih terselubung untuk diungkapkan lebih jelas. Dalam hermeneutika moderen, hermeneutika digunakan sebagai instrumen untuk mencari kebenaran dan pencerahan dan berperan sebagai salah satu disiplin yang kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas.
Dari karya-karya Musdah Mulia, kita dapat mengetahui latar belakang kehidupannya dan memahami pemikiran yang disampaikannya. Mengetahui dan memahami dua konsep berbeda. Mengetahui mendapatkan data sedangkan memahami menemukan makna dari pemikiran yang disampaikan.
Siti Musdah Mulia lahir 3 Maret 1959 di kota Bone, sebuah kota yang terletak di teluk Bone Sulawesi Selatan, Indonesia. Musdah Mulia putri pertama dari H. Mustamin Abdul Fatah dan Hj. Buaidah Achmad. Ibunya merupakan gadis pertama di desanya yang menyelesaikan pendidikan di Pesantren Darul Dakwah wal Irsyad (DDI), Pare Pare Sulawesi Selatan. Ayahnya pernah menjadi Komandan Batalyon dalam Negara Islam pimpinan Abdul Kahar Muzakkar yang kemudian dikenal sebagai gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Pendidikan formal Sekolah Dasar ( SD) dItempuhnya di Surabaya dan tamat di SD Kosambi Tanjung Periuk Jakarta (1969). Kemudian melanjutkan ke Pesantren As’adiyah, tamat tahun 1973, SMA Perguruan Islam tamat tahun 1974, Program Sarjana Muda Jurusan Dakwah (1980) dan program S1 Jurusan Bahasa dan Sastra Arab ( 1982). Semuanya ditempuh di Makasar Sulawesi Selatan. Kemudian melanjutkan ke program S2 Bidang Sejarah Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992); dan Program S3 Bidang Pemikiran Politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1997). Musdah Mulia melakukan penelitian disertasinya di Kairo, Mesir (1994) dengan judul Negara Islam: Pemikiran Husain Haikal (1997).
Musdah Mulia sebagai pejuang gender sering diidentikkan dengan sosok kontroversial. Banyak istilah yang di sematkan padanya oleh kelompok yang menolak ide-idenya. Dia disebut sebagai tokoh penghalal homo sexsual, tokoh nikah beda Agama, pemikir Islam yang sesat dan lainnya. Begitu terkenalnya Musdah Mulia dengan ide dan aktivitasnya, Majalah Tempo pernah menganugerahinya sebagai People of Year pada tahun 2004.
Musdah Mulia dikenal sebagai pejuang kesetaraan dan keadilan gender yang gigih dan konsisten. Dia bergerak dari ide ke aksi. Ide tentang kesetaraan dan keadilan gender mendapat porsi yang banyak dalam karya-karyanya. Dalam mengkaji relasi gender dalam Islam, Musdah Mulia meletakan pusat perhatiannya pada hukum keluarga, sehingga menghidupkan lagi perdebatan fikih klasik tentang keluarga.
Hukum perkawinan poligami menjadi fokus pemikiran Musdah Mulia. Hal ini cukup intens diperjuangkannya di berbagai forum. Menurutnya, poligami selain menafikkan kemanusiaan perempuan juga dapat melegitimasi perkawinan bawah tangan. Poligami akan membuat isteri dan anak-anak menderita, baik secara psikologis maupun secara ekonomi. Dia berjuang agar Indonesia melarang secara mutlak poligami seperti di Tunisia dan Turki.
Poligami dalam peradaban Arab abad ke 7 tidak terbatas, sehingga seorang laki-laki bisa menikahi perempuan sebanyak mungkin dengan mahar semau laki-laki. Bahkan menjadi hal yang biasa, seorang anak menikahi bekas isteri ayahnya. Ketika Islam datang hal ini ditentang oleh Islam, tapi poligami tidak dihapus sama sekali, hanya jumlah isteri seorang laki-laki dibatasi sampai dengan empat. Ketika perempuan tidak lagi berada dipinggir peradaban, perempuan tidak mau lagi merelakan suami beristeri sampai empat orang. Itu merendahkan perempuan.
Kegiatan Musdah Mulia sebagai aktivis gender terlihat dari pengalamannya di birokrasi GO (Goverment Organisation) maupun pengalamannya di organisasi NGO (Non Goverment Organisation). Musdah Mulia mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender ke dalam tafsir Alquran. Di Indonesia, mengusung soal gender dalam kehidupan keberagamaan, tantangannya berat dan sensitivitasnya tinggi. Musdah Mulia melakukannya, bahkan menggugat bias gender dalam penafsiran Alquran. Musdah Mulia sangat vokal menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender.
Musdah Mulia mempermasalahkan tafsir klasik yang mengungkung dan membatasi hak-hak perempuan. Menurut Musdah, perempuan harus di berdayakan semaksimal mungkin melalui penyadaran akan hak-hak mereka. Jika mereka sadar akan hak-hak mereka dan potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut, tentu mereka akan tergugah berjuang mempertahankan, menegakan, dan memajukan hak-hak tersebut dan pada gilirannya nanti mereka dapat memberikan partisipasinya dan kontribusinya secara maksimal dalam upaya pembangunan manusia.
Musdah Mulia berjuang secara konsisten menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender, baik secara ide maupun aksi. Semua ini jelas memerlukan suatu keberanian, bukan keberanian biasa tapi keberanian filosofis. Musdah Mulia memiliki keberanian filosofis.