KDRT
KDRT
Tini menikah tiga tahun lalu, suaminya seorang laki-laki lucu, humoris dan senang membuat semua orang tertawa. Segala sesuatu yang terjadi di antara mereka tampak hebat dan indah. Mereka sering jalan berdua. Ngobrol santai menghadirkan perasaan nyaman. Mereka tetap menjadwalkan waktu khusus untuk kencan seperti pacaran dulu. Mereka saling menjaga perasaan masing-masing.
Namun, semua keadaan itu berbalik saat usia pernikahan mereka menginjak lebih dua tahun. Suami Tini mulai sering marah secara tiba-tiba. Sering Tini dipanggilnya dengan sebutan yang menyakitkan, seperti bodoh, jelek, dan tidak berguna. Bila sedang marah Tini diancam akan dibunuh. Kalau Tini meninggalkan rumah, suaminya selalu mengeceknya, bertanya di mana Tini berada dan sedang bersama siapa, dan berapa banyak uang yang sudah dihabiskan. Tini sering dituduh selingkuh. Suaminya berprasangka Tini ingin meninggalkannya untuk orang lain. Berkali-kali Tini meyakinkan bahwa suaminya lah satu-satunya lelaki yang ada bersamanya saat ini dan tini memutuskan kontak dengan semua teman-teman laki-lakinya.
Sering Tini termenung dan menyadari betapa bodoh dirinya yang tidak menyadari apa yang sebenarnya sedang dialaminya. Yang dia tahu, dia mencintai suaminya dan tak akan pernah meninggalkannya. Karena suaminya tidak pernah memukul, Tini tidak pernah merasa bahwa apa yang dilakukan terhadap dirinya adalah tindak kekerasan, kekerasan verbal.
Seperti Tini, banyak isteri yang tidak memahami bahwa kekerasan dalam rumah tangga tak hanya berbentuk fisik, tapi juga berbentuk kekerasan verbal (ucapan) dan mental. Mereka tidak tahu bahwa dirinya sedang mengalami kekerasan verbal dan mental. Bila kekerasan fisik saja sering sulit meminta perlindungan hukum, apalagi kekerasan verbal dan mental, tentu jauh lebih sulit. Padahal luka yang ditinggalkan bisa lebih dalam. Pada kekerasan verbal, anggota tubuh memang tak rusak dari luar, namun, justru dari dalam, tekanan psikologis yang membuat orang mudah sakit secara fisik dan menguras energi positif dalam dirinya.
Masih banyak orang yang belum memahami bahwa sikap mengejek, mencaci maki dan menuduh selingkuh termasuk dalam kategori kekerasan. Ya Kekerasan verbal. Karena suami tidak pernah memukul, isteri tidak pernah merasa bahwa apa yang dilakukan terhadap dirinya termasuk dalam kategori kekerasan.
Isteri korban kekerasan verbal, akan mengalami tekanan emosional dan kehilangan kepercayaan diri. Pada kekerasan fisik, luka memar akan dapat sembuh dengan sendirinya, tapi luka hati tak dapat sembuh dengan mudah. Butuh waktu panjang agar dapat bangkit dari tekanan emosional. Pukulan mental yang dijatuhkan bertubi-tubi, diejek, dihina dan dituduh selingkuh akan membuat korban depresi dan putus asa. Rasa depresi, putus asa dan kesedihan berlarut-larut akan membuat orang mati secara pelan-pelan. Karena rasa deprasi itu berdampak pada kinerja jantung dan respon otak dan mengundang datangnya berbagai penyakit. Maka tak heran jika korban kekerasan verbal akan mudah sakit.
Kekerasan verbal membuat korbannya gagal mencintai diri sendiri. Seorang isteri yang mengalami kekerasan verbal tidak mencintai dirinya. Akibatnya, dia akan berhenti untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan menjaga kesehatan dan kecantikan diri sendiri. Selalu merasa bersalah dan meyakini bahwa diriya adalah perempuan jelek, malas, tak becus, buruk, dan apa yang suami lakukan padanya adalah hukuman yang patut diterimanya.