Hermeneutika dan Perkembangannya
Hermeneutika atau hermeneutics (bahasa Inggeris), berasal dari kata Yunani kuno hermeneutikos, bentuk kata kerjanya adalah hermeneuin yang artinya menafsirkan. Bentuk kata bendanya adalah ” hermeneia” artinya penafsiran. Istilah ini dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan masa Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang didalamnya terdapat risalah terkenal Peri hermeneias atau De interpretatione (Tentang penafsiran). Hermeneutika juga muncul dalam tulisan-tulisan Plato, dan pada karya-karya para penulis kuno, seperti Xenophon, Plutarch, Europides, Epicuros, Lucretius,dan Longinus.
Secara mitologis kata hermeneutika didekatkan dengan nama dewa Yunani yaitu Hermes. Dalam mitologi Yunani, Hermes bertugas menyampaikan pesan dan menafsirkan pesan dewa kepada manusia. Dalam tradisi yang berbahasa Latin, Hermes dikenal dengan sebutan Mercurius. Menurut Quraish Shihab dengan mengutip pendapat para ulama seperti, Sulaiman Ibn Hasaan Ibn Juljul dalam Thabaqat al-athahibba dan Seyyed Hossein Nasher dalam Knowlegde and the Sacre mengatakan bahwa Hermes adalah nabi Idris. Idris atau Hermes adalah orang yang terpilih untuk menjelaskan pesan-pesan Tuhan pada manusia. Nabi Idris dalam Alquran dikenal sebagai orang pertama yang mengetahui cara menulis dan memiliki kemampuan teknologi (sina’ah), kedokteran, astrologi, sihir dan lain-lain. Dikalangan Yahudi dalam mitologi Mesir kuno, Hermes dikenal sebagai dewa Toth yang tidak lain adalah Nabi Musa.
Untuk menyampaikan pesan, Hermes harus membiasakan diri dengan bahasa dewa dan bahasa manusia dimana pesan itu disebarkan. Dalam konteks komunikasi dapat dikatakan bahwa Hermes membawa pesan dari Tuhan sebagai sender, disampaikan kepada manusia (receiver) dan Hermes berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang bisa dimengerti. Dari nama Hermes ini lahir istilah hermeneutika. Dengan kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes, maka penjelasan yang dilakukan Hermes mencakup tiga hal, yaitu pertama, mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran melalui kata-kata dalam rangka menyampaikan pada sasaran yang dituju. Kedua, Penjelasan rasional menyangkut hal-hal yang masih samar agar maksudnya dapat dipahami dengan jelas. Ketiga, menterjemahkan ke dalam bahasa yang dipahami oleh sasaran.
Uraian mitologis yang mengasosiasikan hermeneutika dengan Hermes menggambarkan betapa pentingnya penafsiran dalam memahami makna sebuah teks. Sejak awal terlihat bahwa hermeneutika berurusan dengan tugas menerangkan kata-kata dan teks yang tidak dipahami oleh masyarakat. Sebagai juru bicara Tuhan, Hermes berusaha merangkai kata-kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar pas dan mudah dipahami oleh manusia. Dalam hal ini, persoalan yang dihadapi Hermes adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada manusia. Kelompok manusia memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Problem kesenjangan bahasa, kultur dan penafsiran sebuah teks merupakan inti persoalan dalam kajian hermeneutika.
Hermeneutika pada awalnya merupakan sub-disiplin dari teologi dan merupakan upaya mengeluarkan maksud teks dan kitab suci (exegese). Dalam perkembangan selanjutnya hermeneutika digunakan tidak hanya sebagai metode menafsirkan kitab suci, tapi berkembang sebagai metode penafsiran teks dalam arti yang luas, seperti, tanda, simbol, karya seni dan lainnya. Akhyar Yusuf Lubis membedakan hermeneutika dalam enam bentuk, yaitu (1) Teori eksegesis Bible (2) Metode filologi secara umum (3) Ilmu pemahaman linguistik (4) Fondasi metodologis Geisteswissenschaften (5) Fenomenologi eksistensial (6) sistem interpretasi yang digunakan untuk meraih makna dibalik simbol-simbol dan mitos. Masing-masing bentuk hermeneutika di atas mempresentasikan sudut pandang mana hermeneutika mau dilihat. Tiap bentuk hermeneutika melahirkan suatu pandangan yang berbeda tapi melegitimasikan kisi-kisi tindakan interpretasi, khususnya interpretasi teks.
Richard E. Palmer membedakan antara exsegese dan hermeneutika. Exsegese adalah komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan hermeneutika adalah metodologi yang digunakan untuk ber-exsegese. Jika exegese merupakan komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan, metode dan teori penafsiran. Menurut Palmer, sejak awal hermeneutika mengarah kepada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip penafsiran tekstual. Ada tiga komponen dalam proses tersebut, yaitu mengungkapkan, menjelaskan dan menterjemahkan. Dengan demikian, hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran atau interpretasi teks.
Pemikiran awal mengenai hermeneutika sebagai metode penafsiran berasal dari Wilhelm Dilthey (1833- 1911) filsuf Jerman yang menggagas pemisahan metode ilmu-ilmu alam dengan metode ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kemudian gagasan ini diperkuat oleh Windelband, tokoh hermenutika terkenal (1894) dengan membedakan ilmu-ilmu nomotetis dengan ilmu-ilmu idiografis. Ilmu nomotetis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari hukum-hukum alam, sedangkan ilmu idiografis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menemukan keunikan (kekhasan) suatu peristiwa atau fenomena. Bila ilmu nomotetis terdapat pada naturwissenscaften, seperti yang terdapat dalam kecendrungan pada ilmu kuantitatif, ilmu idiografis terdapat pada giesteswissenschaften, dimana suatu peristiwa tidak pernah terjadi dengan sebab dan akibat yang persis sama. Dasar pembedaan ini bersifat ontologis. Namun oleh kaum positivisme, ilmu idiografis dianggap tidak ilmiah, karena tidak bisa diverifikasi dan tidak bersifat universal sebagai ciri ilmiah yang telah ditentukan. Oleh karena itu, metode hermeneutika untuk giesteswissenschaften, ditolak. Dikemudian hari, barulah hermeneutika dengan sengaja direfleksikan secara filosofis menjadi metode penafsiran dalam giesteswissenschaften seperti yang dilakukan oleh Frederich Daniel Ernst Schleirmacher dan Wilhelm Dilthey. Kedua tokoh ini menjadikan hermeneutika sebagai metode yang terhormat dalam filsafat dan ilmu-ilmu humaniora.
Daniel Ernst Schleimacher (1768-1834) tokoh pertama yang memberikan tonggak yang kukuh bagi hermeneutika dengan membangun hermeneutika sebagai suatu teori. Dia mengemukakan dua dimensi penafsiran grammatical interpretation (interpretasi gramatika) dan psychological interpretation (interpretasi psikologi). Menurut Schleimacher seperti yang dikutip Thompson, dengan menggunakan unsur kupasan bahasa dan psikologis, seseorang mampu membuat kejelasan asumsi-asumsi yang sesuai dengan originalitas ekspresi yang diproduksi yang kemudian bisa memahami sang penutur secara baik. Kerja Schleimacher merupakan langkah bagi Dilthey untuk menemukan metode bagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Sebagai sebuah kajian filsafat dan menjadi sebuah metode dalam berfilsafat, hermeneutika didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda walaupun pada dasarnya metode ini ingin menjelaskan bagaimana cara membaca, memahami dan menghadapi teks, khususnya teks yang tertulis pada saat yang berbeda dan dalam konteks kehidupan yang berbeda. Schleirmacher, mendefinisikan hermeneutika sebagai seni memahami dan menguasai . Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai teori interpretasi (pengoperasian atau aktivitas pemahaman) yang berhubungan dengan interpretasi teks atau mengubah suatu ketidaktahuan menjadi mengerti. Menurut Gadamer, bahasa satu-satunya entitas yang bisa dipahami, oleh karena itu untuk masuk kesuatu teks kita harus masuk kedalam bahasa.
Josef Bleicher membagi hermeneutika atas tiga aliran yaitu : Hermeneutika teoritis, Hermeneutika filosofis dan Hermeneutika kritis. Hermeneutika teoritis memfokuskan perhatian pada masalah teori umum penafsiran sebagai sebuah metodologi untuk ilmu-ilmu tentang manusia dan ilmu sosial dan menempatkan hermeneutika dalam ruang epistemologi, yakni hermeneutika di tempatkannya sebagai metode penafsiran terhadap pemikiran orang lain. Aliran ini mengharapkan pemikiran orang lain (the mind of other) dapat dipahami seobjektif mungkin, maka hermeneutika diupayakan akan menemukan fondasi yang dibutuhkan bagi penelitian ilmiah. Tokoh pendukung hermeneutika teoritis ini antara lain Schleiermacher dan Dilthey.
Hermeneutika teoritis mendapat kritik dari hermeneutika filosofis. Hermeneutika filosofis tidak bertujuan untuk mencari makna objektif seperti hermeneutika teoritis, tetapi menggunakan metode hermeneutika sebagai cara eksplikasi dan diskripsi fenomena Dasein dalam temporalitas dan historikalitas. Hermeneutika filosofis bertujuan tidak menemukan makna melalui dialog antara subjek-objek dan objek yang ditafsirkan tidak mencari makna objektif, tetapi bagaimana penafsir menghasilkan penafsiran baru yang secara praktis relevan dan memperluas wawasan. Tokoh terkemuka dari aliran hermenutika filosofis adalah Martin Heidegger (1889-1976) yang berpengaruh besar terhadap perkembangan hermeneutika pada era postmosdern. Dia memulai proyeknya dengan suatu penelitian ontologis hermeneutika dan menolak pemahaman terhadap dunia keilmuan dimana subjek-objek harus objektif, sehingga melahirkan pemahaman yang kaku dan bersifat hitam putih. Karena itu, Heidegger memfokuskan pembahasan pada fondasi ontologis hermeneutika.
Pemikiran Heidegger dilanjutkan oleh muridnya Hans Georg Gadamer (1900-2002) yang menegaskan bahwa penafsiran adalah proses produksi makna, tidak merupakan reproduksi makna. Gadamer mengemukakan hubungan antara prior text (pra pemahaman) dengan otoritas tradisi. Menurut Gadamer upaya objektivistik akan sia-sia dalam penafsiran sebuah teks, karena antara teks dan penafsir terbentang jurang tradisi yang tidak mungkin disatukan. Penafsir dan teks menurut Gadamer senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Dalam memandang realitas, penafsir tidak bisa melepaskan diri dari tradisi, sehingga penafsiran bukanlah aktivitas subjek sebagai diri yang menyendiri, terpisah dari sejarah, melainkan berangkat dari tradisi dimana ia ada didalamnya, yang dipahami bukan struktur psikologis orang lain, tetapi adalah objek yang punya makna yang tertanam dalam suatu tradisi yang dimilikinya. Pendekatan terhadap teks harus dilakukan melalui prior text dan realitas historis kekinian dan selanjutnya penafsir memunculkan produksi makna dari teks itu dan kesemuanya bersifat subjektif dan dilakukan dengan proses dialogis antara cakrawala teks dengan penafsir yang dikenal dengan the fusion of horizons.
Hermeneutika filosofis mendapat tantangan dari pemikir kritik ideologi seperti yang dikemukan oleh Jurgen Habermas dan Karl Otto Apel. Mereka mengembangkan suatu metode penafsiran hermeneutis yang berbingkai Teori Kritis yang disebut dengan hermeneutika kritis. Jika dalam hermeneutika filosofis yang menjadi problem hermeneutis pada akhirnya adalah bahasa dan permainan bahasa, maka hermeneutika kritis justru menempatkan faktor-faktor ekstra-linguistik sebagai masalah yang harus dipecahkan oleh hermeneutika. Hermeneutika teoritis dan filosofis mengabaikan hal-hal diluar bahasa, seperti kerja dan dominasi yang justru sangat menentukan terbentuknya konteks pemikiran dan perbuatan.
Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodern hermeneutika mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Hermeneutika tidak lagi terbatas pada metode apa yang paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran, tapi juga mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan mengkritisi dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang menopangnya. Hadirnya pemikiran postmoderen membawa hermeneutika ke dalam diskursus yang bernuansa dekonstruksi yang dikemukakan oleh Jacques Derrida (1930-2004) seorang filsuf berkebangsaan Aljazair. Dekontruksi yang disebut juga sebagai hermeneutika radikal telah menjadi konsep penting dan banyak digunakan dalam penelitian sosial budaya kontemporer.