HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE KAJIAN ILMU SOSIAL DAN FEMINISME
Pengantar
Metode merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran untuk menghasilkan pengetahuan. Ada dua jenis cara berpikir, deduktif dan induktif. Berpikir deduktif adalah berpikir yang dimulai secara umum dan berakhir secara khusus. Sedangkan berpikir induktif adalah dimulai secara khusus dan berakhir secara umum. Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu.
Selama ini kajian ilmiah menggunakan 2 pendekatan, kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu kajian fenomena sosial dan masalah manusia dengan menggunakan suatu metode tertentu. Pendekatan kuantitatif adalah kajian terhadap bagian-bagian dan fenomena sosial serta hubungan-hubungannya. Pendekatan kuantitatif menggunakan model matematis, teori atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam.
Dalam dua dasawarsa terakhir ini, terjadi perdebatan metodologis dalam ilmu-ilmu sosial. Perdebatan ini melahirkan epistemologi post positivisme sebagai lawan dari positivisme. Epistemologi positivisme dipandang memiliki berbagai kelemahan bila diterapkan pada kajian ilmu-ilmu sosial. Sehubungan dengan itu, Wilhelm Dilthy , filsuf Perancis menggagas pemisahan metode kajian ilmu sosial dan kajian ilmu alam. Selanjutnya, Dilthy menggagas hermeneutika sebagai metode ilmu sosial.
Ilmu pengetahuan dapat dibedakan atas Ilmu alam (naturwissensachten ) dan ilmu sosial ( giesteswissenchaften). Ilmu alam bersifat eklaeren (menjelaskan),nomotetis dan merupakan hard-science. Ilmu sosial, bersifat verstehen (pemahaman), ideografis, interpretative dan merupakan soft- science. Ilmu sosial bertujuan untuk menemukan keunikan dari suatu peristiwa. Ilmu alam bertujuan untuk mencari hukum alam. Kajian ilmu alam cenderung menggunakan metode kuantitatif, menggunakan model matematis. Kajan ilmu sosial selama ini sama dengan metode ilmu alam. Menurut Willhelm Dilthey, kajian ilmu sosial tidak bisa menggunakan metode ilmu alam. Dilthy menggagas hermeneutika sebagai metode ilmu sosial.
Hermeneutik pada dasarnya berhubungan dengan bahasa. Kita befikir, berbicara, menulis , mengerti dan menginterpretasi dengan bahasa. Hermeneutika adalah cara baru untuk ‘bergaul’ dengan bahasa. Gadamer mengatakan bahwa bahasa harus dipahami secara teleologis ( sesuai tujuannya). Wilhelm Dilthey menyebutkan bahwa kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan (telos) tersendiri. Ada hubungan bahasa dan kekuasaan kata Pierre bourdieu. Bahasa dapat melanggengkan kekuasaan, dapat menguasai tubuh dan pikiran serta menciptakan berbagai realiatas. Pengungkapan makna bahasa merupakan pusat sentral kegiatan hermeneutika.
Hermeneutika
Hermenutika dapat dikatakan sebagai cara-cara menafsirkan teks dengan menggunakan asas-asas tertentu sesuai dengan jenis teks yang dikaji. Secara umum hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran. Kata penafsiran yang berasal dari kata dasar tafsir, artinya proses, cara, perbuatan menafsirkan, upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas (KBBI).. Hermeneutika adalah sebuah upaya untuk menyelami teks hingga makna yang terdalam. Dewasa dalam kehidupan yang serba kompleks, ditemui banyak paradoks-paradoks yang sukar dipecahkan secara rasional. Hermeneutika dapat digunakan sebagai metode penafsiran teks dalam kajian ilmu sosia. Hermeneutika memang sudah mulai digunakan sebagai metode kajian ilmu sosial.
Bangkitnya hermeneutika memberi petunjuk bahwa ilmu pengetahuan Positivisme yang berteraskan Emprisisme dan Rasionalisme mengandung banyak kelemahan. Positivisme hanya mencari kebenaran objektif sesuai teori, sementara kebenaran yang terdalam tidak tergali. Menurut penganjur-panganjur hermeneutika, kebenaran objektif itu tidak ada, karena kebenaran yang diperoleh positivisme adalah kebenaran di jantung teori. Hermeneutika berfungsi mencari makna terdalam atau makna bathin teks, sehingga diperoleh kebenaran genuin. Kebangkitan hermeneutika melahirkan minat dan semangat untuk meneliti teks-teks yang signifikan dalam sejarah dan peradaban manusia.
Kesejarahan merupakan aspek penting dalam hermeneutika. Setiap penafsiran dan pemahaman teks memiliki konteks sejarah dan sosiologis tertentu. Baik teks maupun penafsir tidak pernah bebas dari sejarah. Sejarah pemikiran ketika teks itu ditulis dan ketika penafsir membaca teks tidak sama. Oleh karena itu, pengetahuan tentang sejarah pemikiran yang melatari penulisan teks mendapat perhatian dalam hermeneutika. Menggunakan hermeneutika sebagai metode dalam kajian ilmu sosial, kesadaran penafsir akan mengalami transformasi yang bermakna karena mendapat cakrawala baru yang lebih luas dari sebelumnya.
Sejarah Hermeneutika
Hermeneutika berasal dari kata Yunani kuno hermeneutikos, yang berasal dari kata hermes. Bentuk kata kerjanya hermeneuin, artinya menafsirkan. Bentuk kata bendanya hermeniea, artinya penafsiran. Pada masa Yunani kuno, filsuf-flsuf seperti Plato, Aristoteles dan Mazhab Stoa dan St. Agustinus telah menguraikan pentingnya hermeneutika bagi kajian filsafat.
Dalam mitologi Yunani, hermeneutika dikaitkan dengan nama Hermes. Hermes orang yang terpilih untuk menyampaikan pesan dewa kepada manusia. Untuk bisa menyampaikan pesan dewa, Hermes harus mengerti bahasa dewa dan bahasa manusia tempat pesan itu akan disampaikan. Hermes sebagai penghubung alam ketuhanan dan kemanusiaan memperlihatkan betapa pentingnya penafsiran dalam memahami sebuah teks. Betapa pentingnya merangkai kata-kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar dipahami manusia.
Dikaitkan dengan kisah Hermes, sejak awal hermeneutika berurusan dengan tugas menerangkan kata-kata dan teks yang tidak dipahami masyarakat. Hermeneutika berperan membimbing penafsir (pembaca) menemukan makna tersembunyi dalam teks. Kegiatan penafsiran secara hermeneutika,melibatkan tiga elemen : pengarang, teks dan penafsir (pembaca). Ketiga elemen ini disebut triadic of the act of interprtation.
Hermeneutika Klasik Yunani
Plato, Aristoteles, filsuf Stoa dan St. Agustinus dapat dikatakan sebagai tokoh-tokoh utama hermeneutika klasik. Plato dipandang sebagai filsuf pertama yang mengemukakan asas-asas hermeneutika. Hermeneutika Plato berkaitan dengan spritual. Dalam buku-bukunya, Plato menyebutkan hermeneutika sebagai teknik dan kaidah penafsiran yang diperoleh melalui meditasi, kontemplasi dan dialog. Menurut Plato, hermeneutika merupakan pengetahuan religius dengan ilham keagamaan yang diperoleh melalui penyingkapan kalbu (illuminatif). Menurut Plato, untuk menjadi seorang penafsir harus melakukan perenungan yang dalam dan membersihkan kalbu agar mendapat ilham. Hermeneutika Plato juga didasarkan pada metode dialektik, yaitu dua orang berdialog, saling melemparkan pertanyaan dan jawaban secara bergantian. Dengan cara ini kebenaran yang diperoleh lebih mantap, karena kekaburan dan ketidakjelasan suatu perkara dapat dihilangkan.
Seperti disebutkan di atas, kesejarahan merupakan aspek penting dalam hermeneutika. Maka itu, dapat dimengerti kecendrungan hermeneutika Plato ke arah spritual. Pada masa itu terjadi krisis kewenangan dalam menafsirkan pesan keagamaan dari mitologi yang merupakan sumber pengetahuan keagamaan bagi masyarakat Yunani kuno. Pemegang otoritas menafsirkan mitologi pada awalnya adalah para penyair. Mereka meninggalkan perannya dan mengantikannya dengan metode rasional logis, sehingga lenyap kesakralan mitologi.
Aristoteles, mengembangkan hermeneutika melalui metode logika. Aristoteles menyusun filsafatnya dengan bertopang pada pemikiran rasional spekulatif dan logika formal berteraskan silogisme. Sepeninggal Aristoteles, hermeneutika menjadi perbincangan dalam filsafat mazhab Stoa. Filsuf Stoa mengembangkan hermeneutika menjadi tafsir alegoris. Metode logika silogisme Aristoteles disingkirkan, diganti dengan metode simbolis dan keruhanian dengan maksud menemukan makna batin teks, bukan makna harfiah seperti yang ditemukan dengan metode logika dan rasional. Perkembangan hermeneutika Stoa dengan metode alegoris mencapai puncaknya dalam karya Philo dari Iskandariah ( 20-50 M).
Hermeneutika alegoris yang didedahkan filsuf Stoa mendapat penolakan. Kembali dimunculkan hermeneutika Aristoteles yang menekankan aspek logika dan semantik. Dalam pertentangaan kedua bentuk hermeneutika ini muncul hermeneutika St. Agustinus. Menurut St. Agustinus, hermeneutika alegoris melakukan reduksi berlebihan terhadap teks, sementara hermenutika dengan metode logika dan semiotik memproduk tafsir yang dangkal dan harfiah. Mendamaikan kedua bentuk hermeneutika ini, Agustinus memberikan arti baru pada hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik. Kemudian hari, pandangan Agustinus menjadi rujukan bagi tokoh-tokoh hermeneutika moderen.
Hermeneutika moderen
- Hermeneutika teoritis
Tokoh pertama yang memberikan tonggak yang kukuh bagi hermeneutika adalah Frederich Daniel Ernst Schleirmacher. Bangunan teori hermeneutikanya berfundasi pada grammatical interpretation dan psycology interpretation. Menurut schleimacher, dengan kupasan bahasa dan psikologis terhadap suatu teks, maka penafsir dapat menjelaskan asumsi-asumsi yang sesuai dengan makna yang dimaksud oleh pengarang. Hermeneutika Schleirmacher ini menjadi langkah bagi Wihelm Dilthy untuk menemukan metode ilmu sosial sesuai tuntutannya agar ada pemisahan metode ilmu alam dengan ilmu sosial. Hermeneutika, mulai bangkit dan menjalankan perannya sebagai metode penafsiran. Dilthy telah mengusung hermeneutika menjadi metode terhormat dalam filsafat dan ilmu sosial.
Hermeneutika Dilthy disebutkan dengan aliran hermeneutika teoritis. Aliran hermeneutika ini memfokuskan pembahasan pada fundasi teoritis hermeneutika. Perhatian difokuskan pada masalah teori umum penafsiran dan digunakan sebagai metode bagi ilmu-ilmu sosial. Hermeneutika ditempatkan sebagai metode penafsiran bagi pemikiran pengarang. Asumsinya, pemikiran pengarang harus dipahami seobjektif mungkin sehingga dapat dijadikan fundasi bagi penelitian ilmah.
- Hermeneutika filosofis
Aliran hermeneutika teoritis dikritik oleh hermeneutika filosofis dengan tokoh utamanya Martin Heidegger. Heidegger menolak pemahaman subjek-objek harus objektif dalam dunia keilmuan. Bila demikian, maka produk hermeneutika akan kaku dan hitam putih. Heidegger memfokuskan pembahasan pada fundasi ontologis hermeneutika.
Hermeneutika Heidegger dilanjutkan oleh muridnya Gadamer. Gadamer menegaskan bahwa hermeneutika adalah proses produksi makna bukan reproduksi makna. Objektivistik dalam penafsiran teks merupakan kerja sia -sia. Antara teks dan penafsir terbentang jurang pemisah, yaitu tradisi dan historis. Teks dan pembaca teks masing-masing terikat dengan tradisi dan historisnya, tidak mungkin disatukan. Hermeneutika Gadamer melakukan pendekatan terdap teks melalui pra -andaian dan realitas historis kekinian. Penafsir dapat memproduksi makna dari teks secara subjektif setelah melakukan proses dialogis antara cakrawala teks dan cakrawala penafsir ( the fusion of horizon).
- Hermeneutika Kritis
Hermeneutika filosofis dan teoritis mendapat tantangan dari pemikir Teori Kritis. Tokoh-tokoh Teori Kritis seperti Habermas dan Karl Otto Apel mengintrodusir hermeneutika berbingkai Teori Kritis, yang disebutnya sebagai hermeneutika kritis. Jka dalam hermeneutika filosofis, yang menjadi problem hermeneutis adalah bahasa dan permainan bahasa, pada hermeneutika kritis, justru hal-hal ekstralinguistik yang harus dipecahkan secara hermeneutis. Hermeneutika teoritis dan filosofis mengabaikan hal-hal diluar bahasa, seperti kerja dan dominasi. Padahal, kerja dan dominasi sangat menentukan terbentuknya konteks pemikiran dan perbuatan.
Dengan berkembangnya pemikiran post moderen, hermeneutika mulai berperan menjadi salah satu disiplin yang kritis terhadap metode penafsiran teks. Tokoh-tokoh posmo mengeritik hermeneutika moderen. Menurut mereka,hermeneutika tidak lagi terbatas pada metode penafsiran yang valid untuk mencapai kebenaran penafsiran, tetapi mendekonstruksi acuan-acuan kebenaran yang selama ini dipercaya. Hadirnya pemikiran post moderen membawa hermeneutika ke arah diskursus yang bernuansa dekonstruksi.
Hermeneutika Islam
Dalam tradisi intelektual Islam, terdapat dua jenis cara menafsirkan teks, yaitu , tafsir dan takwil. Tafsir merupakan pemahaman harfiah yang bertumpu pada ungkapan lahir atau formal (exoteric exegete). Takwil menyingkap makna simbolis atau makna batin teks ( esoeric exegete). Simbol-simbol kaya makna, punya konteks yang luas dan berfungsi menghubungkankan dimensi formal dan transenden. Dalam simbol-simbol tersembunyi prinsip atau pengertian tertentu.
Takwil adalah bentuk hermeneutika yang berkembang dalam tradisi Islam. Hermeneutika dalam tradisi Islam ini (hermeneutika Islam) mulai diperkenalkan pada abad 10-11. oleh para sufi seperti Sahl al-Tustari, Sulami, Mansur al – Hallaj dan lainnya. Di Indonesia hermeneutika Islam telah digunakan sejak abad ke 16 dalam bentuk hermeneutika sastra. Tercatat nama-nama tokoh sufi Indonesia yang menggunakan hermeneutika, seperti Hamzah Fansuri, Amir Hamzah,Sunan Bonang dan lainnya. Sekitar tahun 70-an hermeneutika di Indonesia mulai diperkenalkan kembali setelah sekian abad dilupakan. Penerapan kembali hermeneutika dalam mengkaji karya-karya intelektual muslim bertujuan untuk membangun suatu teori pasca kolonial yang dapat membebaskan teks dari pengaburan makna oleh peneliti-peneliti yang selama ini terkungkung oleh prasangka Barat yang diwariskan sejak masa penjajahan.
Seperti Gadamer, hermeneutika dalam Islam diasaskan sebagai seni pemahaman teks oleh penafsir yang mampu melakukan pemanduan cakrawala pemikirannya dengan cakrawla yang terbentang dalam teks.Tujuan hermeneutika Islam adalah menyingkap makna batin teks. Seperti Gadamer, hermeneutika Islam adalah proses produksi makna, bukan reproduksi makna.
Salah satu bentuk hermeneutika Islam adalah hermenerutika Alquran. Hermeneutika untuk penafsiran Alquran telah dikembangkan oleh para intelektual Islam kontemporer seperti Fazlur Rahman, menawarkan hermeneutika double movement, Muhammad Shahrur, menawarkan hermeneutika intertekstual, Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan hermeneutika signifikan dan lainnya.
Bentuk-bentuk hermeneutika yang dikembangkan tokoh-tokoh intelektual muslim ini telah memproduksi makna baru dari beberapa ayat-ayat Alquran. Pemahaman baru ini dipandang lebih membumi tidak berkutat pada pemahaman klasik yang konteks zamannya telah berbeda dan terkesan anti perubahan. Berdasarkan pemahaman bahwa Alquran adalah kitab Illahiah yang menjadi pedoman manusia sepanjang masa, tentulah penafsirannya harus bersifat fleksibel untuk mengakomodir situasi budaya yang sangat beragam. Bila hanya satu penafsiran yang diproduk pada suatu konteks zaman tertentu, maka akan membatasi jangkauan Alquran. Para penganjur hermeneutika Islam berpandangan bahwa teks Alquran dan penafsir , masing-masing terikat dengan tradisi dan historisnya. Teks -teks Alquran memiliki tradisi dan historisnya, demikian pula penafsirnya. Sebuah tafsir ayat Alquran dipengaruhi oleh faktor budaya dan kecendrungan politik dari penafsirnya.
Hermeneutika Feminisme
Disamping bentuk-bentuk hermeneutika Alquran yang dilangsir oleh para tokoh intelektual muslim yang disebutkan di atas, hermeneutika feminisme adalah hermeneutika Alquran berbasis feminisme. Hermeneutika Alquran yang berbasis feminisme disebut hermeneutika feminisme. Feminisme telah berkembang menjadi suatu teori dan telah diterima dalam dunia akademis. Berkembangnya hermeneutika sebagai metode kajian ilmu sosial memberi dukungan metodologis bagi kajian feminisme. Ketika feminisme diterima di dunia akademis, hal pertama yang dipersoalkan adalah metodologinya.
Hermeneutika feminisme berbingkai teori feminisme yang berintikan tidak ada nilai inheren yang ditetapkan pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban dan hak yang sama. Perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama. Hermeneutika feminisme bercorak moral dengan meletakkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sandaran utama moralitas. Prinsip hermenutika feminisme adalah kesetaraan dan keadilan gender dan menolak budaya patriarkhi yang merugikan perempuan.
Asumsi-asumsi hermeneutika feminisme didasarkan pada pengalaman perempuan. Hermeneutika feminisme berangkat dari pengalaman perempuan yang merupakan pra pemahaman untuk menambah perspektif dan kesimpulan penafsiran. Hermeneutika feminisme bersifat kritis, dekonstruktif dan emansipatoris. Karena itu, ia mampu mendialogkan ayat-ayat gender dalam Alquran dengan kondisi kekinian. Dan mampu merasionalisasikan pesan-pesan Alquran sehingga tafsir feminis ( produk hermeneutika feminisme) bisa beradaptasi dengan perempuan di zaman millenial ini.
Cara kerja hermeneutika feminisme menerapkan langkah-langkah metodologis hermeneutika moderen, terutama menerapkan metode konstekstualisasi historis dan pembacaan intertekstualitas (membaca teks secara keseluruhan) dengan paradigma tauhid sebagai paradigma berpikirnya.
APA METODE KAJIAN ILMU SOSIAL DAN FEMINISME?
Metode yang digunakan adalah Hermeneutika Feminisme, yang dapat disimak dari kerangka berpikir dalam tulisan ini