Hermeneutika Feminisme urgen untuk menafsirkan teks yang berkeadilan gender

Perdebatan metodologis dalam ilmu-ilmu sosial   telah melahirkan epistemologi pos positivisme sebagai lawan dari positivisme.  Epistemologi positivisme  yang berteraskan Emprisisme dan Rasionalisme mengandung banyak kelemahan. Positivisme hanya mencari kebenaran objektif sesuai teori, sementara kebenaran yang terdalam tidak tergali Hermeneutika berfungsi mencari makna terdalam atau makna bathin teks, sehingga diperoleh kebenaran  genuin. Makanya,  Wilhelm  Dilthy , seorang filsuf Perancis  hadir dengan gagasan  pemisahan metode kajian ilmu sosial dan kajian ilmu alam dan mengggagas hermeneutika sebagai metode ilmu sosial. Ketika hermeneutika digunakan sebagai metode ilmu sosial, Feminisme melihat pentingnya sumbangan hermeneutika untuk menafsirkan teks-teks yang berkeadilan gender. Dalam pendekatan positivistik tidak ada ruang bagi kajian feminis. Maka itu, kaum feminis membangun Hermeneutika Feminisme .

Ilmu pengetahuan terdiri dari Ilmu alam (naturwissensachten) dan ilmu sosial  (giesteswissenchaften). Ilmu alam bersifat eklaeren (menjelaskan),nomotetis dan merupakan hard-science. Ilmu sosial, bersifat verstehen (pemahaman), ideografis, interpretative  dan merupakan soft- science. Ilmu alam bertujuan untuk mencari hukum alam.  Ilmu sosial bertujuan untuk menemukan keunikan dari suatu peristiwa. Dengan demikian, metode kajian ilmu sosial dan kajian ilmu alam harus dibedakan. Kajian ilmu alam  bisa menggunakan  model matematis-  kuantitatif sedangkan ilmu sosial perlu menggunakan hermenutika.

Pengertian dan sejarah Hermeneutika

Secara umum hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran. Hermenutika digunakan sebagai cara menafsirkan teks dengan menggunakan asas-asas tertentu sesuai dengan jenis teks yang dikaji.  Hermeneutika sebuah upaya untuk menyelami teks hingga makna yang terdalam. Dewasa ini,  dalam kehidupan yang serba kompleks, ditemui banyak paradoks-paradoks yang sukar dipecahkan secara rasional. Hermeneutika dapat digunakan sebagai metode penafsiran teks.   Kebangkitan hermeneutika melahirkan minat dan semangat untuk meneliti teks-teks yang signifikan dalam sejarah dan peradaban manusia.

Secara etimologi, hermeneutika berasal dari kata  Yunani kuno hermeneutikos. Bentuk  kata kerjanya adalah hermeneuin  yang artinya menafsirkan dan bentuk kata bendanya hermeneia artinya penafsiran. Hermeneutika sudah  muncul dalam tulisan-tulisan Plato, dan pada karya-karya para penulis kuno, seperti Xenophon, Plutarch, Europides, Epicuros, Lucretius,dan Longinus. 

Secara mitologis kata  hermeneutika didekatkan dengan  nama dewa  Yunani yaitu  Hermes.  Hermes dalam mitologi Yunani  bertugas menyampaikan pesan  dan menafsirkan pesan dewa kepada manusia. Dalam tradisi yang  berbahasa Latin, Hermes dikenal dengan sebutan Mercurius. Menurut Quraish Shihab dengan mengutip pendapat para ulama,  Hermes adalah nabi Idris. Idris atau Hermes adalah orang yang terpilih untuk menjelaskan pesan-pesan Tuhan pada manusia.  Nabi Idris  dalam Alquran dikenal sebagai orang pertama yang mengetahui cara menulis dan memiliki kemampuan teknologi (sina’ah), kedokteran, astrologi, sihir dan lain-lain.

Untuk menyampaikan pesan, Hermes harus membiasakan diri dengan bahasa dewa dan bahasa manusia. Dalam  konteks komunikasi, Hermes membawa pesan dari Tuhan  sebagai sender, disampaikan  kepada manusia sebagai  receiver. Hermes berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang bisa dimengerti. Dari nama Hermes ini lahir istilah hermeneutika.

Aspek penting dalam hermeneutika adalah sejarah. Setiap penafsiran teks memiliki konteks sejarah dan sosiologis tertentu. Sejarah  pemikiran tidak sama, ketika teks  ditulis dan ketika penafsir membaca teks itu.  Makanya, pengetahuan tentang sejarah pemikiran yang melatari penulisan suatu  teks mendapat perhatian  dalam hermeneutika.  Dengan menggunakan hermeneutika sebagai metode penafsiran teks, maka  kesadaran penafsir akan mengalami transformasi karena  mendapat cakrawala baru yang lebih luas dari sebelumnya.

Hermeneutika Klasik

Hermeneutika sudah digunakan dalam era Yunani klasik.  Plato, Aristoteles, filsuf Stoa dan St. Agustinus dapat dikatakan sebagai tokoh-tokoh utama hermeneutika klasik.  Plato  dipandang sebagai filsuf pertama yang mengemukakan asas-asas hermeneutika.  Hermeneutika Plato berkaitan dengan spritual.  Plato menyebutkan hermeneutika sebagai teknik dan kaidah penafsiran yang diperoleh melalui meditasi, kontemplasi dan dialog. Menurut Plato, hermeneutika merupakan pengetahuan religius dengan ilham keagamaan yang diperoleh melalui penyingkapan kalbu (illuminatif). Bagi Plato untuk menjadi hermeneutikus  ( penafsir)  harus melakukan perenungan yang dalam dan membersihkan kalbu agar mendapat  ilham.

Aristoteles,  menyusun hermeneutikanya  dengan metode logika silogisme yang  bertopang pada pemikiran rasional spekulatif dan logika formal. Filsuf Stoa menyingkirkan hermeneutika Aristoteles diganti dengan hermeneutika alegoris  metode simbolis dan keruhanian dengan maksud menemukan makna batin teks, bukan makna harfiah seperti yang ditemukan dengan metode logika dan rasional Aristoteles.  Perkembangan hermeneutika Stoa dengan metode alegoris mencapai puncaknya dalam karya Philo dari Iskandariah ( 20-50 M). 

Setelah era Stoa, hermeneutika mendapat konten baru dalam pemikiran St. Agustinus.  Agustinus menolak hermeneutika dengan metode alegoris yang didedahkan filsuf Stoa . Menurut  Agustinus, hermeneutika alegoris  melakukan reduksi berlebihan terhadap teks, sementara hermenutika Aristoteles menghasilkan penafsiran yag dangkal dan harfiah.  Agustinus mendamaikan kedua bentuk hermeneutika ini dan  memberikan arti baru pada hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik. Kemudian hari, pandangan Agustinus menjadi rujukan bagi tokoh-tokoh hermeneutika moderen.

Hermeneutika moderen 

Dengan munculnya gagasan pemisahan metode ilmu sosial dan ilmu alam seperti diuraikan diawal tulisan ini,  maka berkembanglah hermeneutika moderen. Hermenutika moderen ini  digunakan sebagai metode studi ilmu sosial budaya. Tercatat beberapa tokoh yang berjasa dalam mengembangkan hermeneutika moderen, seperti Friederich Schleiermacher, Wilhem Dilthey, Martin Heidegger, Hans Georg Gadamer dan lainnya.  Kemudian,  hermeneutika moderen dikembangkan dalam berbagai perspektif, salah satunya perspektif feminis. Feminisme melihat pentingnya sumbangan hermeneutika untuk menafsirkan teks-teks yang berkeadilan gender. Hal ini  menjadi inspirasi bagi  para feminis untuk memunculkan Hermeneutika Feminisme.

Hermeneutika Feminisme

Feminisme telah berkembang menjadi suatu teori dan telah diterima dalam dunia akademis. Ketika feminisme diterima di dunia akademis, hal pertama yang dipersoalkan adalah metodologinya. Berkembangnya hermeneutika sebagai metode kajian ilmu sosial memberi dukungan metodologis bagi kajian feminisme. Muncul hermeneutika feminisme sebagai metode feminisme.  Prinsip hermenutika feminisme adalah  kesetaraan dan keadilan gender dan menolak budaya patriarkhi yang merugikan perempuan.  Asumsi-asumsinya didasarkan pada pengalaman perempuan,  berbingkai teori feminisme (kesetaraan gender) dan bercorak moral dengan meletakkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sandaran utama moralitas.