HERMENEUTIKA FEMINISME REFORMASI GENDER DALAM ISLAM
Dipresentasikan pada Mei 2019 dalam acara Ulang Tahun Filsafat UI di Cemara 6 Jakarta Pusat. Dimuat di Majalah Mitra Budaya No. 26 tahun XX/Juni 2019.




Absrtrak
Tulisan ini merupakan kajian Hermeneutika Feminisme, fokusnya pada Hermeneutika Feminisme bagi penafsiran Alquran. Berangkat dari pemikiran tokoh-tokoh intelektual feminis Islam yang mengusung kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir Alquran diformulasikan sebuah metode penafsiran Alquran berbasis feminis. Temuan kajian ini adalah hermeneutika Alquran berbasis feminis yang disebut dengan hermeneutika feminisme. Para tokoh feminisme Islam, menggugat bias gender dalam penafsiran Alquran. Bias gender melahirkan pandangan bahwa kedudukan perempuan tidak sederajat dengan laki-laki, perempuan tidak diakui sebagai manusia utuh hanya sebagai subordinat dari laki-laki. Atas nama agama, perempuan tidak boleh mempresentasikan diri, tidak boleh jadi pemimpin, harus rela dipoligami. Bias gender dalam penafsiran Alquran telah merugikan perempuan. Maka itu, dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam, bias gender dalam tafsir yang membuat kegelapan status perempuan dalam Islam perlu disingkap.
Kata kunci : Hermeneutika Feminisme, Tafsir Alquran, Kesetaraan dan Keadilan gender.
PENGANTAR
Dalam masyarakat Islam masih kuat anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Kemanusiaan perempuan dipandang tidak utuh dan eksistensi perempuan hanya melengkapi dan melayani laki-laki. Anggapan ini mengakibatkan perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Ketika ide kesetaraan dan keadilan gender menjadi pembicaraan global pada akhir abad 20, para tokoh intelektual Islam yang terlibat dalam wacana ilmu-ilmu keislaman mulai mempertanyakan dan mengkaji posisi perempuan menurut Alquran. Mereka menyimpulkan bahwa penyebab terpuruknya posisi perempuan dalam masyarakat Islam adalah bias gender dalam penafsiran agama. Tafsir bias gender memposisikan perempuan di pihak yang dirugikan.
Di hadapan perubahan–perubahan sosial yang semakin gencar dan dahsyat dewasa ini, tafsir bias gender tetap menjadi referensi keagamaan yang paling absah dan sakral. Taaaafsir ini dikodifikasi menjadi sistem hukum, harus ditaati. Bila dilanggar dituding kafir. Perempuan menjadi tawanan teologis. Untuk membebaskan perempuan dari belenggu ini, bias gender dalam penafsiran Alquran perlu dibongkar dan ayat-ayat gender dalam Alquran perlu reinterpretasi.
Bias gender dalam penafsiran Alquran telah banyak yang menggugat. Gugatan tersebut dapat disimak dari pemikiran para intelektual Islam seperti, Amina Wadud, Asma Barlas dan lainnya. Bias gender dalam penafsiran Alquran juga digugat oleh Intelektual Islam Indonesia, seperti Siti Musdah Mulia, Nasaruddin Umar, Husein Muhammad dan lainnya. Dalam pandangan para intelektual Islam ini bias gender dalam penafsiran Alquran menjadi salah satu sebab diskriminasi gender dalam masyarakat Islam. Karena itu tokoh-tokoh ini membongkar penafsiran yang bias gender dan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat gender dalam Alquran.
Memahami gugatan terhadap tafsir bias gender dapat disimpulkan bahwa munculnya bias gender dalam penafsiran Alquran karena problem metodologis. Tafsir bias gender produk zaman klasik yang menggunakan metode klasik. Metode klasik lemah secara metodolog, bersifat atomistik, tekstual/harfiah, terkonstruksi secara kultural, terstruktur secara secara historis sehingga makna yang terbatas, tidak bisa berlaku sepanjang zaman. Maka itu, perlu dihadirkan metode alternatif bagi penafsiran Alquran. Sehubungan dengan itu, kajian ini menghidangkan metode Hermeneutika Feminisme, hermeneutika yang berpihak pada keadilan gender, penafsiran Alquran berbasis feminis untuk memproduk tafsir feminis.
Tulisan ini mengintrodusir hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran. Hermeneutik Feminisme merupakan hermeneutika Alquran. Memang tokoh-tokoh Islam kontemporer, seperti Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun telah lebih dulu mengintrodusir hermeneutika Alquran, dan menawarkan berbagai hermeneutika yang berpihak kepada keadilan sosial, tapi belum ada metode hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Hermeneutika feminisme adalah hermeneutika yang berpihak pada keadilan gender.
Hermeneutika Feminisme disusun dengan menggarap karya lima tokoh feminis Islam. Sesunguhnya cukup banyak karya feminis Islam yang mempersoalkan perempuan dalam tafsir, bila dimasukkan disini akan gigantik. Kelima tokoh tersebut adalah, pertama, Amina Wadud melalui karyanya Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective dan Inside The Gender Jihad, Woman’s Reform in Islam. Kedua, Aysha A. Hidayatullah melalui karyanya Feminist Edges of the Qur’an (2014). Ketiga, Siti Musdah Mulia melalui karyanya Muslimah Sejati dan indahnya Islam menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender (2014). Keempat, Asma Barlas melalui karyanya Believing woman in Islam: Unreading Patriarchal Interpretation of the Quran (2002). Kelima, Kecia Ali, melalui karyanya Sexsual Etics & Islam: Feminist Reflectionson Qur’an, Hadith and Yurisprudence (2012).
Tokoh-tokoh feminis di atas menggugat tafsir bias gender dan memproduk tafsir berbasis feminis. Mereka dapat dikategorikan dalam dua generasi. Generasi pertama adalah, Amina Wadud dan Musdah Mulia. Generasi kedua adalah, Asma Barlas, Aysha A. Hidayatullah dan Kecia Ali. Generasi pertama telah berjasa memunculkan penafsiran Alquran berbasis feminis. Generasi ini bekerja sebagai “Trailblazers”, karena dalam menghasikan karyanya mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa, mengalami dominasi kaum laki-laki berbasis intelektual dan gender. Karya mereka bernuansa melawan sistem patriarki dengan keras dan banyak memuat pengalaman personal yang menunjukkan bahwa mereka tertindas. Generasi ini terfokus pada karyanya masing-masing, tidak ada saling kutip mengutip dan mendiskusikan tema-tema yang mereka bahas dan tidak ada saling mendukung pandangan yang dikemukakan.
Generasi kedua muncul tahun 1990, dipicu oleh peningkatan pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan secara internasional, seperti konferensi Perempuan sedunia di Beijing tahun 1995 yang melahirkan komitmen untuk membangun manusia melalui kesetaraan gender dan CEDAW (Convention on the elimination of all forms of discrimination against women) yang melahirkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Pemikiran generasi kedua menunjukkan perkembangan, dimana mereka saling mendukung dan saling terkait antara satu sama lain.
Dengan menganalisa pemikiran kelima feminisme Islam di atas dan memahami gagasan mereka mengenai penafsiran Alquran berbasis feminis, maka tugas kajian ini adalah mem formulasikan sebuah model hermeneutika feminisme. Hermeneutika feminisme adalah metode penafsiran Alquran yang didasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan gender, bekerja dengan menggunakan langkah–langkah metodologis yang mengikuti prinsip-prinsip teori hermeneutika moderen. Hermeneutika feminisme dalam kajian tafsir dapat merupakan suatu metode alternatif untuk penafsiran Alquran, terutama untuk menafsirkan ayat-ayat gender. Tokoh-tokoh feminis Islam di atas telah membuktikannya dengan melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis dan memproduk tafsir feminis, yaitu tafsir yang berkeadilan gender.
AMINA WADUD

Dr. Amina Wadud, seorang intektual feminis Islam dan pejuang gender dari Amerika Serikat. Selesai studi doktor dengan penelitian disertasi tentang kedudukan perempuan dalam Alquran, memulai karir sebagai professor di International Islamic University of Malaysia (IIUM), pada jurusan Islamic Revealed Knowledge and Heritage. Kembali ke Amerika ( 1992) menjadi professor di Virginia Commonwealth University. Pemahamannya tentang tafsir Alquran diperoleh dari bacaannya pada kitab-kitab yang ditulis oleh Al-Zamakhsary, Sayyid Qutb dan Maududi. Dalam mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir Alquran, dia merujuk pemikiran Islam kontemporer, seperti Fazlur Rahman.
Amina Wadud baik secara ilmiah maupun sebagai aktivis gender, mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam. Wadud membongkar bias gender yang mewarnai tradisi tafsir Alquran selama ini. Dia membedah ayat-ayat dan kata kunci tertentu dalam Alquran yang membatasi peran perempuan baik secara individu maupun sosial. Ketika menemukan beberapa aspek kesetaraan dan keadilan gender dalam Alquran, Wadud melakukan reinterpretasi ayat-ayat gender dalam Alquran dari perspektif perempuan tanpa steriotype yang dibuat oleh kerangka interpretasi laki-laki. Wadud menggagas hermeneutika berbasis feminis yaitu metode penafsiran Alquran yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki. Pemikiran ini berangkat dari pandangannya bahwa bias gender dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh problem metodologis. Tradisi penafsiran Alquran tidak memperhatikan soal gender sebagai kategori dasar pemikiran dan sebagai aspek analisis.
Gagasan hermeneutika berbasis feminis yang dikemukakan Wadud dapat disimak dari kritiknya terhadap tafsir klasik. Menurut Amina Wadud tidak ada tafsir Alquran yang benar- benar objektif, karena masing-masing muffasir melakukan beberapa pilihan subjektif. Wadud mengeritik tafsir klasik baik metode, perspektif maupun isinya. Lalu Wadud menawarkan penafsiran Alquran yang bercorak holistik yaitu mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif. Pemikiran Wadud tentang hermeneutika berbasis feminis dapat dikatakan pioner. Dia memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana). Beberapa fokus yang menjadi konsentrasinya, yaitu apa yang dikatakan Alquran, bagaimana Alquran mengatakannya, apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakan, dan ditambah dengan pengertian sekarang, yaitu apa yang belum dikatakan. Dengan hermeneutika berbasis feminis Wadud menafsir ulang ayat-ayat gender dalam Alquran dan menghasilkan tafsir yang berkeadilan gender.
Tafsir berkeadilan gender tidak hanya dalam teks, tapi dipraktekkan dalam kehidupan sosial. Gebrakan Amina Wadud yang sangat terkenal adalah ketika Wadud menjadi imam dan khotib shalat Jumaat pada tanggal 18 Maret 2005 di sebuah gereja Anglikan, di Synod House, Manhattan, New York. Wadud melaksanakan shalat Jumat di gereja tersebut setelah tiga mesjid menolak karena ada ancaman bom terhadap mereka. Shalat Jumat ini disponsori oleh “Muslim Women Freedom Tour” organisasi pemberdayaan perempuan pimpinan Asra Nomani. Shalat ini dikuti lebih kurang seratus jamaah laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan Wadud, kepemimpinan dalam ibadah telah dijadikan sandaran bagi kepemimpinan di bidang politik, maka sandaran itu harus didobrak.
AYSHA A. HIDAYATULLAH

Dr. Aysha A. Hidayatullah adalah asisten Profesor Universitas San Fransisco, sebuah lembaga Katolik Jesuit. Dia mengajar kursus tentang Islam, gender, dan ras. Aysha Hidayatullah menyajikan analisis komprehensif dari tafsir feminis kontemporer terhadap Alquran. Dia memadukan penafsiran Alquran berbasis feminis dari tokoh-tokoh feminis dan memberikan pengantar penting untuk bidang ilmu tafsir Alquran berbasis feminis. Aysha melakukan penyelidikan mendalam dan kritik radikal terhadap metode-metode penafsiran Alquran berbasis feminis dan pendekatannya.
Dalam karyanya Feminist Edges of the Qur’an , mengemukakan tiga metode penafsiran Alquran berbasis feminis yaitu: metode kontekstualisasi sejarah, intratekstualitas dan paradigma tauhid. Metode kontekstualisasi sejarah yaitu menafsirkan Alquran dengan memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul). Dengan metode ini dibedakan ayat-ayat partikular dan universal. Ayat-ayat partikular diterapkan untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal untuk semua manusia. Metode kontekstual historis meletakkan peran sejarah dalam melahirkan bias gender dan esensialisme biologis dalam tafsir klasik.
Metode pembacaan intratekstual memperlakukan Alquran secara holistik, yaitu melacak bagaimana bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh teks Alquran dan membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama. Cara membaca Alquran dengan metode intratekstual, yaitu tidak membaca ayat-ayat tersebut satu persatu, tapi membaca ayat dalam tema yang sama secara keseluruhan dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia.
Paradigma tauhid berkaitan dengan konsep utama Islam, yaitu tauhid. Paradigma tauhid berarti keesaan Allah dan Allah tidak dapat dibagi dan dibandingkan. Dalam paradigma tauhid paham yang membedakan gender (seksisme) dapat dianggap pemberhalaan, karena semua manusia adalah khalifah di bumi. Bila perempuan dikatakan kapasitasnya tidak sempurna, maka hal ini jelas merupakan suatu kekeliruan memahami maksud Tuhan tentang manusia sebagai khalifah di bumi. Bila perempuan dipandang tidak sempurna, maka perempuan tidak bisa memenuhi perannya sebagai wali Allah. Dengan demikian paradigma tauhid merupakan dasar dari kesetaraan dan keadilan gender.
MUSDAH MULIA

Dr. Musdah Mulia adalah profesor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. Musdah dikenal sebagai pejuang kesetaran dan keadilan gender yang gigih dan konsisten. Dia bergerak dari ide ke aksi. Pemikirannya tentang kesetaraan dan keadilan gender ditulis dalam karya-karyanya dan kegiatannya sebagai aktivis gender terlihat dari berbagai usaha untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Di Indonesia, mengusung soal gender dalam kehidupan keberagamaan, tantangannya berat dan sensitivitasnya tinggi. Musdah Mulia melakukannya bahkan menggugat bias gender dalam penafsiran Alquran dan membawa masuk ide kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir. Musdah sangat vokal menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender. Semua ini jelas memerlukan suatu keberanian, bukan keberanian biasa tapi keberanian filosofis. Musdah Mulia memiliki keberanian filosofis.
Musdah telah lama menyadari bahwa perempuan terkurung dalam penjara teologis, karena bias gender dalam penafsiran Alquran, seperti tampak dalam karya karyanya. Karena tafsir Alquran merupakan produk pemikiran manusia, maka sebagai produk pemikiran, maka tafsir Alquran dapat diubah. Berangkat dari keyakinan bahwa manusia laki-laki dan perempuan adalah sama-sama khalifah fil ardh, Musdah melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis dan memproduk tafsir feminis, diantaranya menafsirkan ayat poligami dan menafsir ulang konsep nusyuz dalam ayat Alquran. Menurut Musdah, poligami menafikkan kemanusiaan perempuan. Perintah Alquran hanya taat pada Allah SWT dan hormat pada suami. Itu penafsirannya terhadap konsep nusyuz.
ASMA BARLAS

Asma Barlas Ph.D. dari international studies from the University of Denver. Dia berasal dari Pakistan dan menjadi perempuan pertama (1976) di Pakistan pada masa Ziaul Haq yang bekerja untuk pelayanan luar negeri ( foreign service ). Dalam melihat bagaimana Islam berbicara tentang perempuan, Barlas menggunakan dua argumen penting: argumentasi sejarah dan argumentasi hermeneutik. Yang dia maksud dengan argumentasi sejarah adalah pengungkapan karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, terutama proses yang telah menghasilkan tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarkis. Sedangkan argumentasi hermeneutika dimaksudkan untuk menemukan apa yang ia sebut sebagai epistemologi egalitarianisme dan antipatriarchi dalam Alquran. Barlas menjelaskan karakter teks Alquran yang polisemik dan membuka pelbagai kemungkinan pemaknaan, sebagai kritik terhadap pola penafsiran yang reduksionis dalam kerangka patriarkis.
Asma Barlas memunculkan epistemologi baru dengan menerapkan prinsip-prinsip hermeneutika berbasis feminis dalam penafsiran ayat-ayat Alquran. Adapun tujuan hermeneutik berbasis feminis bagi penafsiran Alquran adalah untuk menunjukkan bahwa epistemologi Alquran secara inheren adalah anti patriarki dan mengabsahkan tindakan merumuskan suatu teori tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran digunakan sebagai alat untuk menjelaskan persoalan gender dalam tafsir Alquran dengan tujuan untuk membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran untuk direinterpretasi.
KECIA ALI

Dr. Kecia Ali adalah Profesor Departemen Agama di Boston University dan memberi kuliah untuk materi yang berkaitan dengan Islam. Dia telah menulis berbagai buku tentang gender dalam Islam yang fokusnya pada hukum Islam tentang perempuan. Dia membahas kekerasan seksual terhadap perempuan dan memperlihatkan adanya tabrakan antara moral dan hukum. Kecia Ali berpandangan bahwa ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan merendahkan perempuan, maka itu perlu refleksi feminis atas Alquran dan Hadis. Kecia Ali melakukan refleksi feminis terhadap Alquran dan hadis serta hukum Islam,terutama mengenai pernikahaan dan seksual serta masalah perbudakan dalam Islam. Dalam masalah perkawinan Ali membahas antara lain soal mahar, soal talak dan misoginis terhadap perempuan dalam perkawinan.
Menurut Kecia Ali, pendekatan progresif terhadap teks Alquran tidak dapat terbatas pada presentasi selektif ayat ayat egaliter dalam isolasi dari konteks kitab suci yang luas. Pendekatan seperti ini akan sia-sia, karena argumen kesetaraan gender dibangun dengan menafsirkan ayat-ayat yang selektif. Disinilah metode yurisprudensi dapat ditawarkan. Karena para ahli hukum akan terkait dengan sumber teks dengan konteks sosial. Hukum yang dibangun memiliki sasaran tindakan penafsiran. Menurut Kecia Ali, pemahaman terhadap teks Alquran harus berubah setiap waktu sesuai perubahan sosial.
MODEL HERMENEUTIKA FEMINISME
Sesuai dengan tugas kajian ini yaitu memformulasikan pemikiran dan gagasan kelima tokoh di atas, maka Hermeneutika Feminisme dapat dijelaskan dalam 5 skema. Pertama, didasarkan pada pengalaman/pandangan perempuan. Pengalaman/pandangan perempuan dalam penafsiran Alquran merupakan satu hal penting. Bila Alquran ditafsirkan berdasarkan pengalaman laki-laki, maka persepsi laki-lakilah yang mempengaruhi posisi tafsir tentang perempuan.
Kedua, berbingkai teori feminisme. Teori-teori feminisme yang berintikan ide kesetaraan dan keadilan gender menjadi bingkai untuk membangun hermeneutika feminisme. Bila hermeneutika kritis berbingkai teori kritis, maka Hermeneutika Feminisme berbingks teori feminisme.
Ketiga menggunakan metode kontekstualisasi sejarah. Metode kontekstualisasi historis, yaitu memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul). Metode ini bertujuan untuk membedakan ayat-ayat partikular, yaitu ayat-ayat untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal yaitu ayat-ayat untuk semua manusia.
Keempat, menggunakan metode intratekstualitas. Penerapan metode intratekstualitas,dimaksudkan untuk mengembangkan sebuah kerangka berdasarkan pemikiran sistematis untuk mengkorelasikan beberapa ayat yang membicarakan tema yang sama agar tampak pertalian yang sesuai dengan ayat-ayat Alquran, daripada menerapkan makna sekaligus terhadap satu ayat.
Kelima, paradigma tauhid. Untuk memperoleh penafsiran yang adil terhadap perempuan, kita harus kembali kepada inti ajaran Alquran yaitu tauhid sebagai kerangka paradigma penafsiran Alquran. Konsep tauhid mengakui keesaan Allah, keunikan-Nya dan tidak terbagi (indivisibility) Tauhid merupakan metode kunci dalam hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran dan merupakan doktrin mengenai keesaan Tuhan yang tidak terbandingkan. Dengan paradigma tauhid akan terlihat secara jelas, perbedaan Alquran dengan penafsirannya. Model Hermeneutika feminisme dapat digambarkan seperti bagan dibawah ini.
MODEL HERMENEUTIKA FEMINISME

KESIMPULAN
Pembacaan Hermeneutika Feminisme pada teks-teks agama akan melahirkan penafsiran yang berkeadilan gender. Hermeneutika feminisme bercorak moral dengan meletakkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai sandaran utama moralitas Islam. Hermeneutika feminisme bersifat kritis, yaitu kritis terhadap metodologi penafsiran Alquran, kritis terhadap produk tafsir klasik terkait perempuan serta kritis terhadap persepsi yang meminggirkan pengalaman perempuan dalam proses penafsiran. Sikap kritis ini melahirkan isu-isu subjektif dan bersifat emansipatoris.
Hermeneutika Feminisme perlu untuk penafsiran Alquran agar ajaran Alquran terkait perempuan bisa beradaptasi dengan kehidupan perempuan di era kontemporer ini. Hermeneutika feminisme mampu mendialogkan ayat-ayat gender dalam Alquran dengan kondisi kekinian, merasionalisasikan pesan-pesan Alquran terkait perempuan. Hermeneutika Feminisme dapat diaplikasikan pada ayat-ayat gender dalam Alquran. Tokoh-tokoh Feminisme Islam telah melakukannya.
Daftar Pustaka
Abu Zayd, Nasr Abu Hamid, 2003,Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana terhadap Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: SAMHA)
Al-Qattan Manna’ Khalil, 1996, Studi Ilmu-ilmu Alqur’an, (Jakarta: Litera Antar Nusa)
Arivia, Gadis, 2003, Filsafat Berspektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan)
————— 2006, Feminisme: Sebuah Kata Hati, (Jakarta : Kompas Media Nusantara)
Ahmed, Leila 1992, Women and Gender in Islam:Historical roots of a modern Debate, (New Haven : Yale University)
————— 2000, Wanita dan Gender dalam Islam, (Jakarta : Lentera)
Ashghar, Ali Engineer, 1994, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: Bentang Pustaka)
Alcoff, Linda, 1993, Feminist Epistemologies, (Routledge : New York-London)
Ali, Kecia, 2012, Sexual Ethics & Islam: Feminist Reflections on Qur’an, Hadith, and Jurisprudence, (England : Oneworld Publications 185 Banbury Road Oxford OX27AR)
Arkoun, Mohammad, 1995, Rethingking Islam, (Beirut)
Badran, Margot, 1995, Feminis, Islam and Nation : Gender and the Making Of Modern on Egypt,(Princento : Princenton University Press)
Barlas,Asma, 2002, believing Women in Islam:Unreading Patrarchal Interpretationsof the Qur’an, (Austin : University of Texas)
——————, 2004, Amina Wadud’s Hermeneutics of the Qur’an :Women Reading Sacred text, dalam Taji al-Faruki,ed. Modern MuslimIntellectuals and the Qur’an, (London : Oxford University Press)
Mulia ,Musdah , 2011, Muslimah Sejati : Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Illahi, , (Bandung: Penerbit Maja)
————— 2014, Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Jender ,(Yogyakarta : Naufan Pustaka)
…………… 2014 , Kemuliaan Perempuan dalam Islam, (Jakarta : Megawati Institute) …………… 2005, Muslimah Reformis : Perempuan Pembaru keagamaan, (Bandung : Mizan)