Hermeneutika Feminisme perlu untuk penafsiran Alquran

Orang pertama yang memperkenalkan istilah hermeneutika adalah Homeros (6 SM). Satu abad kemudian, istilah ini digunakan oleh Plato, Aristoteles dan Mazhab Stoa.  Pada abad 18 hermeneutika dipresentasikan sebagai cabang dari kajian Bible. Kemudian Martin Hedegger memperkenalkan hermeneutika moderen yang merujuk kepada hermeneutika awal yang dikemukakan Homeros.

Buku-buku tentang hermeneutika masih sedikit sekali ditulis di Indonesia. Kajian hermeneutika belum begitu diminati baik oleh penulis maupun oleh pembaca. Dari kajian hermeneutika yang  sedikit itu, boleh dikatakan belum ada yang memberi perhatian pada hermenutika feminisme. Tulisan ini akan membahas secara singkat hermeneutika dalam  kaitannya dengan feminisme.

Hermeneutika

Hermeneutika secara umum dipahami sebagai teori penafsiran. Pemikiran awal hermeneutika sebagai metode penafsiran muncul dari Wihem Dilthy (1833 -1911). Menurut filsuf ini, Ilmu sosial menghadapi masalah metodologis. Maka itu, perlu pemisahan metode ilmu sosial dan ilmu alam. Ilmu sosial dibangun berdasarkan perspektif penuturan dan pengalaman yang dihayati. Ilmu sosial harus melepaskan diri dari dogma positivistik  dan rasionalistik agar tidak  membelenggu manusia dalam  mencari kebenaran. Kebenaran dalam ilmu-ilmu sosial beragam tidak bisa direduksi menjadi satu kebenaran. Kebenaran tidak semuanya dapat ditangkap rasio. Dilthy menolak sosiologi relativisme yang reduksionis..

Hermeneutika membawa paham bahwa kebenaran ada dimana mana. Kebenaran tidak tunggal. Kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh tradisi pemikiran tertentu.   Berbeda dengan teori Ilmu alam, seperti teori biologi, teori  genetik dan lainnya. Teori teori  ilmu alam   memiliki  kebenaran tunggal. Dalam ilmu alam, bila   muncul teori baru maka teori lama lenyap.

Hermeneutika menegaskan pentingnya sebuah pemahaman (verstehen) sebagai  tujuan dari ilmu sosial. Ilmu sosial menggunakan logic of hermeneutics. Ilmu alam menggunakan logic of science untuk memberikan  penjelasan, prediksi dan kontrol (ekslaren).  Ilmu sosial tidak akan berkembang bila mengabaikan pengalaman yang  dihayati. Bila pengalaman diabaikan yang tampak hanya fenomena dari subjek yang diteliti. Hermeneutika  menjelaskan perbedaan metode ilmu sosial dan ilmu alam. Hermeneutika juga berkontribusi terhadap ilmu komunikasi. Teori komunikasi ada yang bergenre interpretatif, fenomenologi dan interaksionisme simbolik.

Perkembangan hermeneutika merupakan suatu keniscayaan.  Hermeneutika adalah kodrat manusia yang bersumber dari hasrat untuk mencari makna dalam setiap pengalaman hidupnya. Dengan kegiatan menafsir, manusia akan mendapat bekal untuk memahami dan menyikapi sesuatu. Hermeneutika juga dapat digunakan untuk manafsir teks-teks mutakhir. Bila ada situasi asing  yang muncul dalam teks  maka  dibutuhkan dialog. Cakrawala berpikir seseorang menghalau situasi asing itu.  Berhadapan  dengan teks terjadi peleburan  cakrawala  antara penafsir dengan teks.

Disiplin ilmu sosial  memerlukan asas-asas hemeneutika. Hermeneutika  digunakan pada teks-teks yang memiliki signifikansi dalam sejarah peradaban manusia, seperti untuk meneliti teks-teks sosiologi dan sastra. Perhatian utama hermeneutika adalah pemahaman dan penafsiran teks. Suatu teks (tanda, pesan dan berita)  punya tatanan makna.

 Hermeneutika dapat dikatakan sebagai  permainan bahasa. Menafsir dan memahami suatu teks membuat kita terlibat dalam permainan bahasa  yang ditampilkan teks. Membaca teks adalah membaca bahasa. Dalam bahasa ada suara yang memanggil untuk mendengar. Dengan demikian, ditemukan relevansi teks dan konteks. Hermeneutika memiliki daya tarik, karena melakukan penulusuran makna batin teks. Menurut para ahli hermeneutika, kebenaran terletak di lubuk terdalam teks. Karena itu perlu dialog antara penafsir dan teks.

Dewasa ini, hermeneutika telah berkembang secara luas dan digunakan sebagai metode studi ilmu sosial dan  budaya.Dalam kajian ilmu sosial , hermeneutika  telah memberi dukungan  metodologis. Bangkitnya  hermeneutika memberi petunjuk bahwa Ilmu -ilmu sosial yang bersifat  empirisme dan rasionalisme mengandung banyak kelemahan. Hermeneutika telah memberikan pencerahan  dan pemahaman  yang benar dalam sesuatu teks, termasuk tek-teks dari kitab suci, seperti Alquran, kitab suci Islam.

Hermeneutika dalam Islam

Awal perkembangan Islam, telah muncul beberapa teori dan asas-asas universal pemahaman teks terhadap ayat-ayat suci Alquran.. Teori pemahaman teks  ini berkembang menjadi ilmu tafsir.  Tafsir dari kata Arab “ fassara yufasiru” artinya menerangkan dan menjelaskan. Sebuah tafsiran akan menyingkap, menampakan dan menerangkan makna yang abstrak. Tafsir memerlukan  teori atau metode dan merupakan konstruksi sosial yang dipengaruhi  oleh cara berpikir dan sistem hidup masyarakat saat tafsir dikeluarkan. Hermeneutika yang berkembang dalam Islam disebut takwil. Takwil diartikan sebagai tafsir simbolik atau tafsir spritual yang tertuju pada makna batin teks. Takwil muncul dari kegiatan pemahaman ayat-ayat mutasyabihat (simbolik).

Hermeneutika tampak dalam tulisan Al-ghazali, Ibd Arabi, Jalaluddin Rumi dan lainnya. Hermeneutika Ibd Arabi berdasarkan metafisika, kosmologi dan epistemologi sufi. Hermeneutika sebagai bentuk yang definitif diperkenalkan oleh Sahlal – Tustri dan Sulami pada abad 9-10 M. Kemudian digunakan secara luas di kalangan sufi, filsuf dan ahli sastra.   . Corak hermeneutika yang digunakan Ibd Arabi digunakan oleh para sarjana moderen Eropah (abad 12)

Hermeneutika sebagai  metode bagi penafsiran Alquran (hermeneutika Alquran), pertama kali digunakan  oleh Hassan Hanafi (1965). Didorong oleh kesadaran bahwa realitas kekinian memerlukan alat bantu untuk menafsirkan Alquran  dan perlunya suatu standar ilmiah dalam penafsiran Alquran, maka hermeneutika  bagi penafsiran Alquran dikembangkan oleh para    intelektual Islam kontemporer.  Para  ahli hermeneutika Islam, menawarkan hermeneutika untuk menafsirkan Alquran, seperti  Muhammad Shahrur, menawarkan hermeneutika intertekstual, Nasr Hamid Abu Zayd menawarkan hermeneutika signifikansi, Fazlur Rahman mengemukakan hermeneutika double movement .Ketika  hermeneutika cukup memberikan kontribusi signifikan dan membuka wacana baru dalam pembacaan teks suci Alquran maka hermeneutika dikembangkan dalam berbagai perspektif termasuk perspektif feminisme. Feminis Islam, diantaranya Amina Wadud menawarkan hermeneutika feminisme yang berpihak kepada ide  kesetaraan dan keadilan gender.

Feminisme

Feminisme adalah sebuah pemahaman, studi atau teori tentang keadilan gender. Feminis adalah orang yang menyadari bahwa perempuan telah diperlakukan tidak adil. seorang feminis tidak harus perempuan, tapi laki-laki juga bisa menjadi seorang feminis. Dewasa ini di mana dunia mulai terarah kepada  keadilan gender, sudah banyak laki-laki  yang menjadi feminis yaitu menyadari bahwa perempuan telah diperlakukan tidak adil. 

Feminisme sebagai paham moderen yang mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender   belum  diterima sepenuh hati oleh masyarakat, terutama masyarakat patriarki,  Ide ini dicurigai dapat merusak sendi-sendi agama dan merusak tatanan sosial.

Konsep gender yang berakar dari paham feminisme telah menjadi keniscayaan global. Secara perlahan dan pasti merambah keberbagai lini kehidupan, bergulir menjadi wacana akademik dan ditinjau dari berbagai perspektif termasuk perspektif teologi. Konsep gender telah menjadi instrumen baru untuk mengidentifikasi masalah keadilan dan kemakmuran suatu bangsa.

Hermeneutika Feminisme

Hermeneutika memberi konstribusi penting bagi metodologi teori feminisme. Ketika studi feminisme  diterima sebagai studi baru di dunia  akademis, hal utama yang dipersoalkan adalah metodologi dari kajian ini, terutama dalam menjelaskan konsep perbedaan gender. Konsep perbedaan gender ini penting sebagai dasar untuk menjelaskan perbedaan perilaku, pengalaman dan harapan antara laki-laki dan perempuan.

Dewasa ini  persoalan diversitas, kekerasan atas nama agama dan ketidak-toleranan menjadi masalah di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam zaman ini pula, dunia ditertibkan oleh global idea sehingga ide-ide mainstream memengaruhi cara berpikir masyarakat. Berbagai hal menjadi perdebatan, termasuk mendekatkan feminisme dan Islam. Mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam. melahirkan perdebatan.   

Ketika membicarakan hubungan feminisme dan Islam, ditemukan dua pendapat yang dominan. Pendapat pertama mengatakan bahwa ide-ide feminisme harus dimasukan di dalam proses interpretasi Alquran. Pendapat kedua, menegaskan bahwa ide-ide feminisme ada di dalam tradisi Islam, sehingga tidak perlu mengadopsi labelisasi Islam. Kedua pandangan di atas sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan, karena sama-sama  berangkat dari sumber utama, yaitu Alquran dan sumber-sumber lain  sunnah dan  hadits termasuk ijma.

Kemunculan hermeneutika feminisme tidak bisa lepas dari pengaruh  hermeneutika Alquran yang dikembangkan oleh tokoh intelektual Islam  kontemporer yangh disebutkan di atas, terutama, Fazlur Rahman. Hermeneutika Rahman banyak mempengaruhi hermeneutika feminisme. Dia membawa pembaharuan di bidang tafsir dan menawarkan bentuk hermeneutika bagi Alquran yang melahirkan tafsir baru yang keluar dari mainstream studi tafsir untuk menyelaraskan tafsir dengan konteks kekinian. Rahman membedakan konteks historis dari ayat-ayat sebagai sentral makna dan membedakan  ayat-ayat partikular dan universal.  

 Penafsiran Alquran berbasis feminis baru gencar dibicarakan pada tahun 2010, ketika Al-Syafi’i seorang pakar Alquran di Universitas Kairo mengakui adanya gerakan feminisme dalam penafsiran Alquran. Gerakan ini didorong oleh keinginan untuk mengevaluasi posisi  perempuan serta   memasukkan ide kesetaraan dan keadilan gender dalam penafsiran Alquran untuk meluruskan makna substansial Alquran.

 Perkembangan historis dan politik melahirkan intelektual feminis Islam yang memberi perhatian terhadap keilmuan Islam terutama mengenai tafsir Alquran. Para intelektual feminis Islam, seperti  Riffat Hassan, Azizah al- Hibri, Amina Wadud, Asma Barlas, Sadiyya Shaikh  dan Kecia Al melahirkan karya-karya mengenai tafsir Alquran berbasis feminis yang ditandai dengan masuknya isu gender sebagai kategori analisis dalam proses penafsiran. Feminis Islam melakukan penelitian mengenai persoalan gender dalam tafsir Alquran dan membongkar ayat-ayat gender dalam Alquran untuk direinterpretasi. Mereka mengaplikasikan prinsip- prinsip hermeneutika feminisme untuk menolak penafsiran Alquran yang merugikan perempuan. Terdapat berbagai karya yang memunculkan  penafsiran Alquran berbasis feminis.

Intelektual  feminis Islam yang memberi perhatian pada penafsiran Alquran berbasis feminis dapat dikategorikan dalam dua generasi. Generasi pertama telah berjasa memunculkan penafsiran  Alquran berbasis feminis. Generasi  ini bekerja sebagai “Trailblazers”, karena dalam menghasikan karyanya mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa. Mereka mengalami dominasi kaum laki-laki, baik berbasis intelektual, gender maupun ras dan kompetensi intelektual mereka sering dipertanyakan. Hal ini menyebabkan karya mereka bernuansa melawan sistem patriarki dengan keras dan banyak memuat pengalaman personal yang menunjukkan bahwa mereka tertindas.Generasi pertama antara lain, Amina Wadud, Musdah Mulia, Riffat Hassan, Azizah al-Hibri. Generasi ini telah berjasa memunculkan hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran. Mereka meletakkan prinsip dasar hermeneutika feminisme yaitu mengacu kepada kesetaraan dan keadilan gender dan anti patriarki.

Generasi kedua seperti Asma Barlas, Kecia Ali,  Aysha H. Hidayatullah   berupaya untuk memunculkan epistemologi baru dengan menerapkan prinsip-prinsip hermeneutika dalam penafsiran ulang ayat-ayat Alquran. Generasi kedua muncul tahun 1990,  dipicu oleh peningkatan pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan secara internasional, seperti konferensi Perempuan sedunia di Beijing tahun 1995 yang melahirkan komitmen untuk membangun manusia melalui kesetaraan gender dan CEDAW (Convention on the elimination of all forms of discrimination against women) yang melahirkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. 

Adapun tujuan hermeneutika feminisne bagi penafsiran Alquran adalah untuk menunjukkan bahwa epistemologi Alquran secara inheren adalah anti patriarki dan mengabsahkan tindakan merumuskan suatu teori tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.Munculnya hermeneutika feminisme bagi Alquran disebabkan dominannya sistem patriarki dalam penafsiran Alquran dan tidak masuknya isu gender  sebagai kategori analisis dalam proses penafsiran.

Pembacaan Hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran dapat melahirkan penafsiran yang berkeadilan gender. Hermeneutika feminisme perlu  digunakan sebagai alat untuk menjelaskan persoalan gender dalam tafsir Alquran, agar ajaran Alquran terkait perempuan bisa beradaptasi dengan kehidupan perempuan di era kontemporer ini.   

Sekian.