HERMENEUTIKA FEMINISME MENUJU TAFSIR ALQURAN BERKEADILAN GENDER

FOTO PROMOSIJudul tulisan ini merupakan penelitian disertasi  yang telah  pertahankan di    Sidang Terbuka Akademik Universitas Indonesia dalam upacara Promosi Doktor Ilmu Pengetahuan Budaya Program  Ilmu Filsafat,  pada tanggal 13 Oktober 2015 di Depok. Sidang terbuka ini dipimpin oleh Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Dr. Adrianus L.G. Waworuntu dan bertindak selaku ketua Tim Penguji adalah Prof. Riris. K. Toha Sarumpaet SS, MSc., Ph.D.  Disertasi ini ditulis  dibawah bimbingan Promotor Dr. Akhyar Yusuf Lubis dan Ko. Promotor Prof. Dr. Siti Musdah Mulia.

       Pemilihan tema penelitian ini dilatarbelakangi oleh pengalaman sebagai tenaga ahli anggota komisi VIII DPR-RI. Ketika komisi VIII DPR-RI. periode 2009-2014,   menginisiasi Rancangan Undang-Undang tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG), muncul perdebatan dan  penolakan terhadap RUU tersebut. Penolakan RUU ini diwarnai oleh argumentasi  agama yang cukup mendominasi. Ada kecurigaan, bahwa  undang-undang ini akan merusak sendi-sendi agama Islam. RUU  ini mulai diproses tahun 2010, hingga selesai masa bakti Anggota DPR-RI, 2009-2014, RUU ini  belum disahkan sebagai RUU inisiatif DPR-RI. Perdebatan  penolakan RUU KKG ini  pernah diriset yang hasil riset tersebut  pernah  dimuat dalam sebuah Jurnal ( Jurnal Perempuan 86, vol. 20, 3 Agustus 2015) . Hasil riset tersebut menyebutkan  antara lain:

  1. Penolakan RUU KKG terjadi ditingkat internal DPR-RI, padahal RUU KKG ini didukung oleh tokoh-tokoh yang bermartabat dan ahli di bidang gender seperti Prof. Dr. Saparinah Sadli dan tokoh publik seperti Prof. Jimly Asshiddique.
  2. Perdebatan penolakan RUU KKG diwarnai oleh argumentasi agama yang cukup mendominasi dan sayangnya argumentasi agama yang dipakai  tidak tepat karena datang dari kelompok yang cukup konservatif. Pandangan konservatif ini mengedepankan budaya asing ( Arab) yang tidak cocok dengan budaya Indonesia.
  3. Argumen-argumen kontra RUU KKG mencerminkan minimnya pengetahuan tentang pergerakan dan budaya perempuan Indonesia dan penolakan terhadap RUU ini dipandang sebagai pengabaian terhadap sejarah budaya perempuan Indonesia.

           Pengalaman di atas, telah memotivasi untuk menjelajahi pemikiran Amina Wadud, seorang  intelektual perempuan Islam dan aktivis gender dari Afrika-Amerika. Melalui bukunya Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (1992) dan  Inside the Gender Jihad (2007),  Wadud   membawa masuk ide kesetaraan gender dalam tafsir Alquran. Pemikiran Wadud melahirkan  pandangan yang kontroversial, ada yang mendukung dan ada yang menentang. Melalui bukunya di atas, Wadud membongkar kesalah-pahaman pandangan tradisional terhadap perempuan dan mengkritik pemikiran Islam yang tidak memperhatikan soal gender sebagai salah satu kategori pemikiran, sehingga anggapan bahwa derajat perempuan lebih rendah dari laki-laki sulit diubah. Menurut Wadud, bukan Alquran yang merendahkan derajat perempuan, tapi penafsiran Alquran yang dianggap lebih penting dari Alquran itu sendiri. Bias gender dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh problem metodologis. Metode penafsiran klasik melahirkan pandangan  yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan perempuan. Kemanusiaan perempuan dipandang tidak utuh dan eksistensi perempuan hanya melengkapi eksistensi laki-laki. Pandangan ini  mengakibatkan perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi yang disebut dengan ketidakadilan gender. Dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender, Wadud menawarkan metode penafsiran Alquran berbasis feminis (hermeneutika feminisme) yaitu metode penafsiran Alquran dengan mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender.

      Penolakan RUU KKG ini  melahirkan kegelisahan intelektual dan memberi dorongan untuk  mencari perspektif baru  pemikiran mengenai kesetaraan dan keadilan gender dalam studi ilmu Islam. Berangkat dari kegelisahan intelektual atas penolakan ide kesetaraan dan keadilan gender dan memahami bahwa penafsiran bias gender masih dijadikan referensi untuk melegalkan pola hidup patriarki, maka  dilakukanlah penelitian ini.  Penelitian ini berfokus pada metodologi  penafsiran Alquran  dengan tujuan untuk memformulasikan sebuah model hermeneutika feminisme yang dapat digunakan sebagai metode penafsiran Alquran agar diperoleh tafsir Alquran yang berkeadilan gender. Hermeneutika feminisme sebagai metodologi  baru tafsir Alquran  didasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan gender, menggunakan kerangka teori feminisme, dan bekerja  dengan menggunakan  langkah – langkah  metodologis: metode kontekstualisasi historis, metode intratekstualitasdan paradigma tauhid.  Model hermeneutika feminisme ini dapat dipalikasikan pada penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran dan hasilnya adalah tafsir yang berkeadilan gender.

Hal ini terlihat, ketika hermeneutika feminisme  diaplikasikan  pada penafsiran enam ayat gender dalam Alquran, yaitu penafsiran ayat penciptaan, kepemimpinan, talak, poligami, waris dan saksi, diperoleh penafsiran baru yang berbeda dengan penafsiran lama. Dengan menerapkan metode hermeneutika feminisme pada penafsiran ayat-penciptaan,  dihasilkan kesimpulan : bahwa Alquran tidak membedakan penciptaan laki-laki dan perempuan. Alquran menyatakan bahwa manusia  diciptakan berpasangan. Dalam konteks penciptaan manusia, semua manusia merupakan satu kesatuan yang sama dan setara dibawah  Sang Pencipta.  Maka itu, tidak boleh ada konstruksi hirarkhis diantara manusia. Ketika metode hermeneutika feminisme diterapkan pada penafsiran ayat kepemimpinan, talak, poligami, waris dan saksi dihasilkan penafsiran yang berbeda dari penafsiran lama.  Dalam soal kepemimpinan, tidak ada satu ayatpun  dalam Alquran  yang melarang  perempuan menjadi pemimpin. Dalam masalah poligami,  kebolehan poligami bersifat kontekstual dan pernikahan ideal dalam Islam adalah monogami. Pembagian waris  harus dibagi secara adil, anak laki-laki dan perempan mendapat jumlah waris yang sama.

Kesimpulan dari  penelitian ini adalah sebagai berikut:oma doktor

  1. Ketidakadilan gender dalam masyarakat Islam bersumber dari bias gender dalam penafsiran Alquran.  Bias gender, berakar dari problem metodologis. Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, maka ayat Alquran perlu ditafsirkan dengan metode  hermeneutika feminisme.  Hermeneutika feminisme adalah metode penafsiran yang  mengacu kepada kesetaraan dan keadilan gender.  Hermeneutika feminisme dapat diaplikasikan pada penafsiran ayat-ayat gender untuk  menghasilkan tafsir Alquran  yang berkeadilan gender.

        2.   Renungan filosofis dari penelitian ini berupa pesan keadilan bagi semua     manusia. Keadilan adalah kebutuhan hidup manusia. Hidup yang tidak adil bukanlah hidup yang sebenarnya. Dalam konsep keadilan itu termuat keadilan gender yang harus diperjuangkan untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan.

Sehubungan dengan itu, di Indonesia terlihat  perlunya  RUU yang menjamin  kesetaraan dan keadilan gender.  RUU ini  diharapkan menjadi payung hukum untuk  menguatkan hak-hak perempuan yang setara dengan laki-laki, sehingga dapat memberi manfaat dalam pembangunan dan hasil positif dalam kehidupan bermasyarakat. Mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender telah menjadi pilihan strategi  negara-negara di dunia untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial.