
HERMENEUTIKA FEMINISME DALAM PEMIKIRAN HUSEIN MUHAMMAD, KIAI FEMINIS DARI PONDOK PESANTREN DAR AL-TAUHID CIREBON INDONESIA
Pengantar
Husein Muhamad salah satu Kiai di Indonesia yang fokus pada isu-isu kesetaraan dan keadilan gender. Dia disebut Kiai feminis karena dia banyak membahas tema perempuan dalam kacamata agama. Dalam bukunya yang baru terbit ( 2016), Perempuan Islam dan negara , dia mengekspolarasi perempuan muslim, terutama pergulatan identitas dan perjuangan perempuan muslim Islam Indonesia, khususnya perempuan pesantren. Husein menguak kehidupan sehari-hari kaum perempuan yang biasa disebut santri puteri dipondok pesantren. Husein mengeritik bias gender dalam pengajaran diberikan di pesantren serta perbedaan perlakuan terhadap santri perempuan.
Wacana tentang perempuan pesantren ini sangat menarik, karena dapat mewakili pergulatan identitas dan perjuangan perempuan muslim Indonesia dari kacamata agama. Meyakinkan masyarakat dengan acuan agama tentang urgensinya kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan masyarakat kekinian sangat efektif, karena agama mempengaruhi manusia. Tulisan ini mencoba mengangkat pandangan Husien tentang perempuan muslim di Indonesia dan usahanya untuk membawa masuk ide kesetaraan dan keadilan gender ke pondok pesantren.
Kehidupan santri Perempuan dalam pesantren
Menurut Kiai Husein dalam bukunya Perempuan Islam dan Negara,Pergulatan identitas dan entitas, perempuan baru boleh belajar di pesantren diperkirakan sekitar tahun 1930-an. Pada awalnya perempuan muda belajar di pesantren dipandang melangkahi aturan Agama, sehingga pengasuh pesantren pada umumnya tidak menerima perempuan untuk belajar di pondoknya. Ketika muncul kesadaran bahwa perempuan perlu ditingkatkan kualitasnya, karena kelak mereka akan mendidik dan mengajar anak-anaknya, maka perempuan dibolehkan masuk pesatren. Perempuan perlu belajar membaca Alquran dan memahami hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban perempuan dalam beribadah. Dewasa ini, pesantren telah memberi tempat bagi perempuan untuk belajar disana.
Sekalipun kini kehidupan sudah demikian maju (era digital), tapi santri perempuan di pesantren tradisional diperlakukan berbeda dengan santri laki-laki. Perempuan mendapat penjagaan ketat, terutama dalam interaksinya dengan santri laki-laki. Walaupun mereka mendapat pengajaran dan melakukan aktivitas yang sama dengan santri laki-laki, tetapi perempuan diperlakukan berbeda dengan laki-laki. Perempuan dilarang keluar pondok sesudah waktu magrib (jam 18.00) sedangkan laki-laki dibolehkan hingga jam 21.00. Tempat pondokan santri perempuan berjarak agak jauh dan dikelilingi tembok dengan pintu-pintu keluar pondok yang diatur demikian rupa, sehingga tidak mudah bertemu santri laki-laki secara langsung. Kalau mau keluar pondok harus mendapat izin dari pengasuh pondok dan santri perempuan dilarang bepergian seorang diri, harus ada yang menemani.
Mata pelajaran pesantren untuk perempuan pada umumnya sama dengan laki-laki yaitu mendapat materi pendidikan yang didasarkan pada kitab kuning (kitab klasik). Perbedaan materi pelajaran hanya terletak pada bidang moral (fiqih) . Doktrin fiqih untuk perempuan berbeda dengan laki-laki. Semua ajaran yang bersumber dari kitab klasik tersebut telah membentuk sikap hidup dan pandangan santri yang merupakan petunjuk yang harus dijalani oleh kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan.
Pengajaran dalam kitab klasik pada umumnya menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Status perempuan lebih rendah dari laki-laki karena laki-laki dalam pengajaran dalam kitab klasik mendapat berbagai kelebihan. Laki-laki ditempatkan di wilayah publik sedangkan perempuan ditempatkan pada wilayah domestik. Hak memimpin ada pada laki-laki, perempuan dipandang tidak cukup kompeten untuk menjadi pemimpin. Salah satu kitab klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab Al Asybah wa al- Nazhair yang menghimpun berbagai bentuk perbedaan aturan antara laki-laki dan perempuan, diantaranya sebagai berikut :
- Air kencing bayi perempuan yang belum makan selain air susu ibu harus disiram dengan air sementara bayi laki-laki cukup dipercikan saja
- Dalam shalat berjamaah, barisan(shaf ) perempuan harus dibelakang laki-laki
- Perempuan tidak boleh menjadi muazzin dan Imam serta tidak wajib melakanakan shalat jumaat
- Penyembelihan domba (aqiqah) bagi anak yang baru lahir, bila laki-laki dombanya dua , anak perempuan dombanya satu
- Wali dalam pernikahan tidak boleh perempuan, wali nikah harus laki-laki
- Perempuan tidak boleh menjadi hakim
- Pernikahan adalah pemilikan suami atas tubuh isterinya, sehingga penikmatan hubungan seksual adalah untuk laki-laki, tidak sebaliknya.
- Kewajiban suami terhadap isteri merupakan kewajiban moral, sedangkan kewajiban isteri terhadap suami adalah kewajiban hukum.
Sementara itu kitab Syarh Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al Zaujain yang harus dipelajari di pesantren membahas secara khusus hak dan kewajiban suami isteri dan perilaku perempuan, sebagai berikut :
- Isteri wajib patuh pada suami
- Tugas isteri adalah dalam rumah
- Isteri dilarang keluar rumah tanpa izin suami
- Suami boleh memukul isteri
- Poligami merupakan ketetapan agama
Kritik Kiai Husein Muhammad
Kiai Husein mengeritik doktrin fiqih yang terdapat dalam kitab-kitab klasik di atas. Dia menilai isi kitab-kitab klasik tersebut mendiskriminasikan perempuan. Menurut Husein, doktrin tersebut bersumber dari tafsir Alquran tentang ayat-ayat gender, terutama Qs. Annisa 34, yang melahirkan pandangan yang merendahkan perempuan dan selanjutnya ditunjukkan dalam doktrin fiqih. Pemikiran keagamaan dalam penafsiran ayat ini mereduksi prinsip-prinsip kesetaraaan, kebebasan dan keadilan manusia. Husein mengeritik, warisan klasik tersebut yang sarat dengan pandangan-pandangan keagamaan yang mensubordinasi, memarjinalkan, mendiskriminasi dan membatasi eksistensi perempuan hampir dalam seluruh ruang kehidupan mereka.
Ketidakadilan gender merupakan salah satu masalah dalam kehidupan sosial keagamaan. Bias gender dalam penafsiran Alquran menjadi salah satu sebab dari ketidakadilan gender dalam masyarakat Islam. Oleh karena itu bias gender dalam penafsiran Alquran perlu dibongkar untuk direinterpretasi dengan menggunakan metode hermeneutika feminisme atau tafsir Alquran berbasis feminis untuk menolak bias gender dalam penafsiran Alquran. Tafsir Alquran berbasis feminis muncul pada akhir abad 20 ketika timbul gerakan pembaharuan Islam di seluruh dunia muslim. Para intelektual feminis Islam melakukan studi Alquran terkait perempuan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dari perspektif feminis
Hermeneutika dipahami sebagai metode penafsiran teks. Hermeneutika dapat digunakan dalam berbagai perspektif, termasuk perspektif feminis. Hermeneutika berperspektif feminis tau hermneutika feminisme adalah penafsiran teks yang mengacu kepada kesetaraan dan keadilan gender. Penggunaan metode hermeneutika feminisme bagi penafsiran teks- teks Alquran bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan gender. Hermeneutika feminisme merupakan konsep terstruktur untuk menafsirkan Alquran dan merupakan usaha untuk mendongkrak pemahaman relasi gender yang telah mapan tetapi bias gender. Perjuangan ini tentu tidak mudah, karena penggunaan hermeneutika untuk penafsiran Alquran masih diperdebatkan. Kelompok konvensional menolak metode ini dan mengatakan bahwa para aktivis gender yang membawa masuk ide kesetaraan dan keadilan gender dalam studi Islam telah “mengacaukan” bangunan epistemologi tentang keilmuan Islam.
Tapi Kiai Husein Muhammad, salah satu Kiai feminis Indonesia dengan gigih dan tegar terus berjuang mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender dalam studi Islam, terutama dalam studi tafsir. Pandangannya banyak berbeda dengan pandangan keagamaan mainstream. Model pendekatannya dalam melihat teks, Alquran dan hadis, bercorak hermeneutis, yaitu bersifat kontekstual, mengkaji konteks hitorisnya dari perspektif feminis. Maka itu, dapat dikatakan bahwa pendekatan Husein terhadap teks Alquran dan hadis menggunakan metode hermeneutika feminisme.
Kiai Husein mendasarkan prinsip metodologi hermeneutiknya pada pendekatan terhadap teks klasik melakukan reinterpretasi terhadap teks dan memahami teks dalam konteks. Melalui pendekatan ini, kerangka metodologi hermeneutika yang di bangun Husein Muhammad, mempunyai implikasi yang luas terutama pandangannya terhadap persoalan-persoalan perempuan kontemporer, seperti solidaritas perempuan, kepemimpinan perempuan, women traficking serta kekerasan terhadap perempuan. Pendekatannya terhadap teks klasik juga telah membuat Husein Muhammad mempunyai basis hermeneutis yang orisinil sehingga pandangan-pandangannya dapat dipahami dengan bahasa yang sederhana khas kiai pesantren.
Salah satu hal yang diungkap Kiai Husein adalah masalah larangan imam perempuan. Prinsip Islam memberi kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dari sini Kiai Husein menyimpulkan, tidak ada nash agama yang melarang perempuan jadi imam. Mengapa arus utama ahli fikih melarang? Husein menyimpulkan, karena kondisi masyarakat Arab pada saat itu sangat dominan dengan laki-laki, selain itu perempuan di depan atau di tengah laki-laki, seperti diungkap banyak buku fikih, bisa menggoda pikiran laki-laki. Tapi, bagi Husein, itu cara pandang yang bias laki-laki.
Debut awal ketertarikan Husein untuk membela perempuan, ketika dia memahami bahwa dalam masyarakat Islam masih kuat anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Kemanusiaan perempuan dipandang tidak utuh dan eksistensi perempuan hanya melengkapi dan melayani laki-laki. Anggapan ini merugikan perempuan. Perempuan dipaksa menjadi makhluk domestik ( dirumahkan), harus menutup seluruh tubuh nya, memberlakukan peraturan dan undang-undang yang mengatur tingkah lakunya dan merampas hak-haknya sebagai manusia. Kiai Husein membaca/menafsir ulang ayat-ayat gender dalam Alquran dan melihat perlunya reinterpretasi.
Tentang Kiai Husein Muhammad
K.H. Husein Muhammad, lahir di Cirebon, 9 Mei 1953. Sejak kecil, ia sudah hidup di lingkungan pesantren. Sembari bersekolah, ia belajar ilmu agama dari orang tua sendiri, masa mudanya ia habiskan untuk mendalami kitab kuning (kitab klasik). Kiai Husein adalah salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Cirebon yang didirikan kakeknya tahun 1933. Karenanya, Ia begitu erat dengan khasanah kitab-kitab klasik.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Pesantren Lirboyo, Kediri, tahun 1973 melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta. Tamat tahun 1980, melanjutkan studi ke Al-Azhar, Kairo, Mesir. Di tempat ini ia mengaji secara individual pada sejumlah ulama Al-Azhar. Tahun 1983 ia kembali ke Indonesia dan memimpin pondok pesantren Dar al-Tauhid di kampung halamannya Cirebon, Jawa Barat.
Kiai Husein adalah satu-satunya Kiai di Indonesia yang concern meneliti Gender. Sejak tahun 2007 sampai sekarang Kiai Husein Muhammad menjadi Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan. Tahun 2008 mendirikan Perguruan Tinggi Institute Studi Islam Fahmina di Cirebon. Aktif dalam berbagai kegiatan diskusi, Halaqah, dan seminar keislaman, khususnya, mendirikan LSM untuk isu-isu Hak-hak Perempuan seperti Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute dan Alimat.
Kiai Husein mengangkat isu perempuan dalam sebuah kebijakan, dia mendapat penghargaan dari pemerintah daerah sebagai pelopor dan penggerak kesetaraan dan keadilan jender. Budaya tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu akar yang terus melanggengkan ketidakadilan gender, sehingga gerakan kultural menjadi sebuah keniscayaan” ungkap Kiai Husein tegas. Husein juga penerima Award (penghargaan) dari Pemerintah AS untuk “Heroes To End Modren-Day Slavery”, tahun 2006.
Karya-karya Kiai Husein antara lain :
“ Perempuan Islam dan Negara, Pergulatan identitas dan entitas”
“Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender”.
“Islam Agama Ramah Perempuan”, “
Upaya Membangun Keadilan Gender”,
“Dawrah Fiqh Perempuan“ (modul pelatihan),
“Fiqh Seksualitas”, “Fiqh HIV/AIDS”,
“Mengaji Pluralisme Kepada Maha Guru Pencerahan”,
”Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur”,
“Menyusuri Jalan Cahaya”, dan lain-lain.
Penutup
Munculnya penafsiran Alquran berbasis feminis atau hermeneutika feminisme disebabkan dominannya sistem patriarki dalam penafsiran Alquran, sehingga produk tafsir terkait perempuan bias gender yang merugikan perempuan. Derajat perempuan dipandang rendah, peran perempuan dan laki-laki dibedakan, dimana peran domestik untuk perempuan dan peran publik untuk laki-laki sehingga melahirkan dominasi laki-laki atas perempuan. Implikasi lebih jauh adalah meminggirkan perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Kritik Kiai Husein terhadap doktrin fiqih yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang diajarkan di pondok pesantren dapat dilihat sebagai usaha untuk mencegah agar inferioritas perempuan tidak disosialisasikan terus menerus melalui pengjaraan dari kitab-kitab klasik tersebut. Dengan interpretasi baru terhadap ayat-ayat gender dalam Alquran seperti yang dilakukan Husein akan membuat perempuan terbebas dari berbagai hambatan untuk maju dalam berbagai aspek kehidupan. Ketidakadilan terhadap perempuan sudah saatnya diminimalisir kalau tidak bisa dihapuskan sama sekali. Kehidupan dengan ketidakadilan bukanlah sebuah kehidupan, maka kebebasan bagi perempuan perlu terus diperjuangkan.