HERMENEUTIKA FEMINISME DALAM PEMIKIRAN AMINA WADUD

 ABSTRAK

Tulisan ini merupakan kajian hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran, khususnya hermeneutika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud. Problem metodologis dalam penafsiran Alquran telah melahirkan penafsiran yang bias gender dan telah membuat perempuan menjadi subordinat dan tertindas. Isu-isu gender dalam tafsir klasik  telah melahirkan  pandangan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan  kemanusiaan perempuan tidak utuh. Dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender, bias gender dalam penafsiran Alquran perlu dibongkar untuk direinterpretasi dengan pendekatan hermeneutika feminisme. Tujuan disertasi ini adalah memformulasikan model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud, yaitu mengeksplisitkan  cara kerja dan asumsi-asumsi metodologis dan gagasannya mengenai  hermeneutika feminisme. Konstribusi penting hermeneutika feminisme adalah memunculkan tafsir feminis, sebuah tafsir yang mengumandang suara perempuan dalam Alquran.

 

Kata kunci: Hermeneutika feminisme, tafsir Alquran,  kesetaraan dan keadilan gender.

 

  1. Latar belakang

Relasi gender yang timpang dan  tidak adil  merupakan salah satu dari berbagai  problem sosial  keagamaan  yang   dihadapi masyarakat muslim  dewasa ini. Dalam masyarakat masih pekat anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki atau perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Salah satu penyebab terpuruknya posisi perempuan adalah bias gender dalam penafsiran  Alquran. Dalam beberapa produk tafsir Alquran  terdapat pandangan yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan perempuan. Perempuan tidak diakui sebagai manusia utuh, tidak berhak mempresentasikan diri, dilarang menjadi pemimpin, dipojokkan sebagai makhluk domestik,  harus menjadi istri yang taat suami dan harus rela bila suami berpoligami sampai dengan empat isteri. Atas nama agama perempuan diposisikan sebagai objek hukum, khususnya hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti hukum perkawinan dan  pewarisan (Musdah Mulia : 2011 : 98).

Bias gender dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh problem metodologis. Metode penafsiran klasik melahirkan produk tafsir yang memberi pandangan  yang merendahkan perempuan. Perempuan dipandang sebagai anggota masyarakat kelas dua (the second class)  dan  eksistensi  perempuan dipandang sebagai pelengkap bagi laki-laki.  Kemanusiaan perempuan dipandang tidak utuh dan eksistensi perempuan hanya melengkapi eksistensi laki-laki. Pandangan ini  mengakibatkan perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi yang disebut dengan ketidakadilan gender. Dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan produk tafsir yang bias gender perlu dibongkar untuk di reinterpretasi. Untuk maksud ini diperlukan  hermeneutika feminisme sebagai metode dan pendekatan  penafsiran Alquran. Hermeneutika feminisme adalah suatu metode penafsiran Alquran dengan pendekatan ide kesetaraan dan keadilan gender.

Hermenutika dalam pemikiran Islam dipelopori oleh Hassan Hanafi yang telah menggunakannya dalam disertasinya yang berjudul : Les metodes d’exegese: essay sur la science des fondements de la comprehension ‘ilm usul al-fiqh, untuk mengambil gelar doktor pada universitas Sarbone Perancis (1965). Kemudian, hermeneutika bagi penafsiran Alquran terus dikembangkan oleh  para intelektual Islam kontemporer karena didorong oleh kesadaran bahwa realitas kekinian memerlukan alat bantu untuk menafsirkan Alquran dan  perlunya suatu standar ilmiah dalam   penafsiran Alquran.[1] Ketika hermeneutika cukup memberikan kontribusi signifikan dan membuka wacana baru dalam pembacaan teks suci, maka metode ini dikembangkan dalam berbagai perspektif termasuk perspektif feminisme untuk menghasilkan produk tafsir yang berkeadilan gender. Tercatat beberapa nama feminis Islam, seperti Amina Wadud, Riffat Hassan, Azizah al-Hibri dan lainnya telah menggunakan hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran. Tulisan ini memperkenalkan hermeneutika feminisme, khususnya hermeneutika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud.

Hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran tergolong baru dan masih diperdebatkan. Sebagian besar  ulama dan ilmuan Islam tradisional menolak hermeneutika bagi penafsiran Alquran dan tetap berpegang pada metode penafsiran klasik. Hermeneutika feminisme dalam konteks Islam menghadirkan suara feminis dalam tafsir.  Dalam pembahasan filsafat di era kontemporer ini, suara-suara feminis mulai didengungkan bahkan dalam perkembangan mutakhir dalam perjuangan feminisme terlihat usaha untuk mengonstruksi filsafat feminis,  dengan memasukkan ide kesetaraan dan ketidakadilan gender [2].

Amina Wadud intelektual perempuan Islam  melakukan kajian tafsir Alquran dan membawa masuk ide kesetaraan dan keadilan  gender dalam tafsir. Melalui buku Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (1992), Wadud membongkar tafsir bias gender dan menggagas hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran yang tujuannya untuk memproduksi tafsir Alquran yang berkeadilan gender. Diawali dengan kritik terhadap pemikiran Islam yang tidak memperhatikan soal gender sebagai salah satu kategori pemikiran, sehingga anggapan bahwa derajat perempuan lebih rendah dari laki-laki sulit diubah, Wadud terus mengeritik metode tafsir klasik yang telah memproduksi tafsir bias gender.  Menurut Wadud, bukan Alquran yang merendahkan derajat perempuan, tapi penafsiran Alquran yang dianggap lebih penting dari Alquran itu sendiri. Wadud percaya bahwa perempuan tertindas, karena bias gender penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran.[3] Hal penting dari   Wadud adalah ide kesetaraan dan keadilan gender yang dibawanya masuk dalam tafsir tidak berhenti dalam wacana, tetapi diimplementasikannya dalam praktek. Wadud  menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki dan perempuan, yang selama ini dipandang haram. Tindakan Wadud menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki dan perempuan dapat dilihat sebagai kekuatan simbolik bahwa perempuan setara dan sederajat dengan laki-laki. Selama ini kepemimpinan perempuan diranah politik bersandar pada haramnya kepemimpinan perempuan di ranah ibadah (menjadi imam shalat). Sandaran inilah yang didobrak oleh Wadud.

  1. Tentang Amina Wadud

Amina Wadud lahir pada 25 September 1952, di Bethesda Maryland Amerika Serikat yang terletak di bagian barat laut Washington DC. Dalam karir akademiknya, Wadud pernah menjadi Professor of Religion and Philosophy (Profesor Agama dan Filsafat di Virginia Commonwealth University). Dia memperoleh Ijazah Doktor Filsafat dari Universitas Michigan dan mempelajari Bahasa Arab di Universitas Amerika dan Universitas Al-Azhar, di Kairo Mesir. Karya pertamanya Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective merupakan penelitian disertasinya untuk meraih gelar doktor. Dalam karyanya yang pertama ini, Wadud menyingkap berbagai persoalan gender dalam tafsir Alquran dan dalam karya yang lain Inside The Gender Jihad, Womans Reform in Islam, Wadud banyak mengkritik pemahaman keagamaan yang diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan.

Amina Wadud dapat dilihat sebagai tokoh feminis Islam yang reformis dan revolusioner, konsisten memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Pemikirannya hermeneutika feminisme  tercermin dari kritiknya terhadap metode  dalam tafsir klasik yang menghasilkan pandangan bahwa perempuan  manusia yang tidak sempurna, irasional dan emosional, sehingga tidak boleh menjadi pemimpin. Perempuan distrukturkan dalam hukum keluarga sebagai pihak yang disubordinasikan. Dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender Wadud melakukan tindakan yang mengejutkan, yaitu mengubah kepemimpinan (imam) shalat Jumaat, yang selama ini hanya untuk laki-laki, diperbolehkan untuk perempuan. Sekalipun dia menyadari resiko logis yang akan dia terima, tapi dia tetap yakin akan pendapatnya itu bahwa Alquran tidak melarang perempuan menjadi imam.  Tindakan ini sesungguhnya dapat dilihat sebagai langkah strategis transformasi gender dalam kepemimpinan perempuan dalam Islam.

            Hermeneutika feminisme yang digagas Wadud  mempunyai implikasi yang luas terutama pandangannya terhadap persoalan-persoalan perempuan kontemporer, seperti status ontologi, kepemimpinan  perempuan, hak-hak dan peran perempuan dalam kehidupan sosial.  Pendekatan Wadud terhadap penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran telah membuat  Wadud  mempunyai basis hermeneutis yang luas dan orisinil, sehingga dapat disistemasi dalam sebuah model hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran.  Tujuan yang ingin dicapai dengan model ini pertama ingin menunjukkan bahwa hermeneutika feminisme  secara inheren adalah anti patriarkhi. Kedua,  ingin menunjukkan bahwa Alquran telah melegitimasi sebuah tindakan merumuskan teori tentang kesetaraan dan keadilan  gender yang memiliki asumsi-asumsi metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan.

  1. Teori Feminisme

Hermeneutika feminisme didasarkan pada pengalaman perempuan dan  tidak dapat lepas dari kerangka pemikiran feminisme, bahkan feminisme menjadi bingkai dari metode ini. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman dan  pemikiran Wadud tentang gender dan feminisme dan telaah karya-karyanya yang bermuatan ide kesetaraan dan keadilan gender serta pemberdayaan perempuan, juga memperhatikan pengalamannya yang banyak terlibat dengan persoalan gender dan feminisme, dapat dikatakan bahwa hermeneutika feminisme didasarkan pada pengalaman perempuan dan berbingkai teori feminisme. Dalam karya Qur’an and Woman, Rereading The Sacred text From a Woman’s Perspective (1992) dan Inside The Gender Jihad, Women’s Reform in Islam (2006)  paling jelas terlihat bahwa Wadud mendasarkan pemikirannya  pada teori feminisme dan  minatnya berjuang bagi kesetaraan dan keadilan gender  muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan perjuangan perempuan Afrika-Amerika dalam menuntut keadilan gender. Atas dasar itu, saya yakin, pemikiran hermeneutika feminisme Wadud memakai kerangka pemikiran feminisme.

Feminisme diawali dengan suatu pergerakan sosial yang muncul di dunia Barat pada tahun 1800-an dengan tuntutan kesamaan hak dan keadilan bagi perempuan. Pergerakan ini diilhami  oleh pemikiran  Mary Wollstenocraft dalam bukunya The vindication Rights of Woman tahun 1975 yang menuding bahwa pembodohan terhadap perempuan disebabkan oleh tradisi dan kebiasaan masyarakat yang membuat perempuan menjadi subordinasi laki-laki. Pergerakan perempuan yang dimotori oleh sekelompok perempuan di dunia Barat ini kemudian disambut secara global.  Pergerakan perempuan merupakan pergerakan sosial yang paling lama bertahan dan terus berkembang sampai kini, merambah ke berbagai lini kehidupan, bersifat transnasional dan bergulir menjadi wacana akademik di perguruan tinggi. Ketika wacana-wacana feminisme masuk ke ruang akademis dan menjadi kajian ilmiah, muncul berbagai teori feminisme dari berbagai aliran, di antaranya aliran feminisme liberal, ekistensial dan radikal.

Pemikiran feminisme Amina Wadud pada hakikatnya merupakan suatu afirmasi bahwa perempuan adalah manusia utuh. Maka itu, dia menolak wacana patriarkal yang tampil secara agresif terhadap perempuan. Menurut Wadud, ketimpangan gender dalam masyarakat Islam adalah karena penafsiran Alquran didominasi oleh budaya patriarki, yaitu budaya yang mentolerir adanya penindasan terhadap perempuan. Patriarki merupakan alat yang digunakan laki-laki untuk mendukung hegemoninya dalam dominasi dan superioritas. Oleh karena itu, Wadud menggagas ide tentang Islam tanpa patriarki dan menurutnya, ide bisa tumbuh dari imajinasi, maka dia mengimajinasikan akhir dari patriarki.[4].          Pemikiran feminisme Wadud berfokus pada masalah eksistensi, hak-hak dan peran perempuan menurut Alquran.  Perspektif Wadud melihat masalah di atas menunjukkan bahwa Wadud menerima perspektif feminisme liberal dan eksistensialis. Wadud merasa perlu menggali makna terdalam mengenai  eksistensi, hak dan peran perempuan dalam Alquran. Disisi lain, perjuangan Wadud untuk menghapus seksisme (paham yang membenci perempuan) melalui perjuangan menjadi imam perempuan, memperlihatkan bahwa  pemikiran Wadud mendapat pengaruh dari teori feminisme radikal.

Teori feminisme liberal dapat disimak dalam pemikiran feminisme  Mary Wollstenocraft yang berusaha menunjukkan hak-hak perempuan dengan menghadirkan gagasan ideal mengenai pendidikan bagi perempuan.  Wollstenocraft mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan yang otonom dan menekankan bahwa jalan menuju otonomi harus ditempuh melalui pendidikan. Wollstenocraft menginginkan perempuan menjadi manusia utuh tidak diperlakukan sebagai objek yang dirawat suaminya dan  bukan pula sebagai instrumen untuk kebahagiaan orang lain. Perempuan adalah suatu tujuan bagi dirinya, agen yang bernalar dan  memiliki  kemampuan untuk mengembangkan diri.[5] Teori feminisme radikal dalam pemikiran Kate Millett mengungkapkan bahwa akar opresi terhadap perempuan terkubur dalam sistem seks/gender di dalam patriarki. Millett dalam bukunya Sexuals Politics (1970) berpendapat bahwa relasi gender adalah relasi kekuasaan. Kendali laki-laki atas perempuan di ruang domestik maupun dalam ruang publik telah melahirkan sistem patriarki. Untuk membebaskan perempuan dari penguasaan laki-laki, maka patriarki harus dihapus. Millett menginginkan masa depan yang androgin, suatu integrasi dari sifat feminin dan maskulin, karena kedua sifat ini saling melengkapi untuk hidup dengan baik dalam komunitas.[6] Teori feminisme eksistensialis seperti dalam pemikiran Simone De Beauvoir yang mengadopsi pemikiran Satre. Dia menanggapi cara berada yang didefinisikan oleh Satre berbeda dengan perempuan. Cara berada perempuan dalam pandangan Satre adalah sebagai etre pour les outres  (ada bagi orang lain) bukan sebagai etre pour soi, yaitu cara berada manusia yang berkesadaran dan memiliki kebebasan. Perempuan dipandang tidak berkesadaran  (bukan subjek) dan tidak memiliki kebebasan, sehingga relasi gender merupakan relasi subjek-objek, dimana laki-laki mengobjekan perempuan dan membuatnya sebagai the other. Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second sex (1984) mengatakan bahwa eksistensi perempuan sebagai the other (yang lain)  memandang perempuan sebagai makhluk lemah.[7]

Pemikiran Wadud mengandung pemikiran feminisme liberal, eksistensial dan radikal. Wadud memperjuangkan kesamaan hak dan kesetaraan gender dalam masyarakat Islam dan mengeritik diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan dalam hukum keluarga. Hal ini dapat dilihat sebagai pengaruh dari aliran feminisme liberal. Usaha Wadud mengangkat eksistensi dan martabat perempuan dengan menolak isu-isu gender dalam penafsiran klasik yang merendahkan perempuan. Menurut Wadud setiap individu memiliki nilai yang sama pada tahap eksisitensinya, baik pada tahap penciptaan, maupun  pada  tahap perkembangan di dunia. Ada potensi yang sama  untuk berubah, tumbuh dan berkembang dan semua aktivitas manusia  diberi balasan berdasarkan apa yang diupayakannya.[8] Pemikiran feminisme radikal yang dianut Wadud dapat dlihat dari perjuangannya menjadi  imam perempuan yang menolak seksisme dalam relasi gender.

  1. Hermeneutika

            Secara umum hermeneutika dimaknai sebagai ilmu tentang penafsiran.  Richard E. Palmer membedakan antara exsegese  dan hermeneutika. Exsegese adalah komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan hermeneutika adalah metodologi yang digunakan untuk ber-exsegese. Jika exegese merupakan komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan, metode dan teori penafsiran. Menurut Palmer, sejak awal hermeneutika mengarah kepada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip penafsiran tekstual. Ada tiga komponen dalam proses tersebut, yaitu mengungkapkan, menjelaskan dan menterjemahkan.[9]

            Dalam ilmu filsafat, hermeneutika dipahami sebagai metode filsafat yang berada dibawah payung epistemologi. Selama tiga dasawarsa, telah tejadi perdebatan metodologi dalam filsafat. Perdebatan ini dipicu oleh munculnya positivisme dalam filsafat ilmu pengetahuan yang mengembangkan  hermeneutika sebagai metode ilmu sosial budaya karena pendekatan positivistik yang telah digunakan selama ini dianggap tidak sesuai sebagai metode studi ilmu pengetahuan sosial budaya. Sejak itu, berkembang  hermeneutika sebagai metode  bagi studi ilmu sosial budaya.

Pemikiran  awal mengenai hermeneutika sebagai metode penafsiran  berasal dari Wilhelm Dilthey. Dia  menggagas  pemisahan metode ilmu-ilmu alam dengan metode ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Gagasan ini diperkuat oleh Windelband, tokoh hermenutika terkenal dengan membedakan ilmu-ilmu nomotetis dengan ilmu-ilmu idiografis. Ilmu nomotetis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari hukum-hukum alam, sedangkan ilmu idiografis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menemukan keunikan (kekhasan) suatu peristiwa atau fenomena. Bila ilmu nomotetis terdapat pada naturwissenscaften,  seperti yang terdapat dalam  kecendrungan pada ilmu kuantitatif, maka ilmu idiografis terdapat pada giesteswissenschaften, dimana suatu peristiwa tidak pernah terjadi dengan sebab dan akibat yang persis sama. Dasar pembedaan ini bersifat ontologis. Namun bagi kaum positivisme, ilmu idiografis yang harus didekati secara hermeneutis dianggap tidak ilmiah, karena tidak bisa diverifikasi dan tidak bersifat universal sebagai ciri ilmiah yang telah ditentukan. Oleh karena itu, metode hermeneutika untuk giesteswissenschaften, ditolak. Dikemudian hari, barulah hermeneutika dengan sengaja direfleksikan secara filosofis menjadi metode penafsiran dalam giesteswissenschaften seperti yang dilakukan oleh Frederich Daniel Ernst Schleirmacher dan  Wilhelm Dilthey. Kedua tokoh ini menjadikan hermeneutika sebagai metode yang terhormat dalam filsafat dan ilmu-ilmu humaniora.

Hermeneutika terus berkembang dan terdapat tiga aliran  hermeneutika, pertama, hermeneutika teoritis, yaitu metode penafsiran yang bersifat objektif. Aliran ini  mengharapkan pemikiran orang lain (the mind of other) dapat dipahami seobjektif mungkin. Kedua, hermeneutika filosofis, yaitu hermeneutika yang tidak bertujuan untuk mencari makna objektif, tetapi menggunakan hermeneutika sebagai cara eksplikasi dan diskripsi fenomena Dasein dalam temporalitas dan historikalitas untuk menghasilkan penafsiran baru yang secara praktis relevan dan memperluas wawasan. Ketiga, hermeneutika kritis, yaitu hermeneutika yang  menempatkan faktor-faktor ekstra-linguistik sebagai masalah yang harus dipecahkan oleh hermeneutika. Bila hermeneutika teoritis dan filosofis  mengabaikan hal-hal diluar bahasa, seperti kerja dan dominasi yang sangat menentukan terbentuknya konteks pemikiran dan perbuatan, maka hermeneutika kritis justru menempatkan hal itu sebagai masalah yang harus dipecahkan secara hermeneutis.[10] Selanjutnya, dengan hadirnya pemikiran postmoderen  hermeneutika  dibawa ke dalam diskursus  yang bernuansa dekonstruksi.

  1. Hermeneutika feminisme dalam pemikiran feminis Barat

Berkembangnya hermeneutika sebagai metode studi ilmu pengetahuan sosial budaya, memberi dukungan metodologis terhadap studi feminis. Ketika studi feminis diterima sebagai studi baru di dunia akademis, hal utama yang dipersoalkan adalah asumsi-asumsi metodologis dari kajian ini, terutama dalam menjelaskan konsep perbedaan gender. Konsep perbedaan gender ini penting sebagai dasar  untuk menjelaskan perbedaan perilaku, pengalaman dan harapan antara laki-laki dan perempuan. Dengan pendekatan hermeneutika feminisme dalam studi feminis dapat dijelaskan konsep perbedaan gender yang didasarkan pada pandangan anti esensialisme. Konsep dan konstruksi terhadap perempuan dan laki-laki bukan sesuatu yang telah jadi dan selesai, tapi dikonstruksi secara sosial historis. Karena bentukan sosial selama ini bersifat patriarkis, sehingga melahirkan pandangan yang merugikan perempuan, maka kaum feminis  mengajukan konstruksi konsep-konsep  baru yang bersifat feminis.  Konstruksi konsep-konsep baru ini dilakukan dengan pendekatan hermeneutika feminisme.

            Sejak tahun 1990, pemikir-pemikir feminis Barat seperti Nancy Fraser dan Linda Nicholson melakukan rekonstruksi teori feminisme, dari teori yang bersifat universalitas dan esensialis ke arah pemikiran postmodern yang menolak universalitas dan esensialisme dalam teori ilmu pengetahuan. Mereka menolak grand social theory dan fokus terhadap konsep perbedaan (pluralitas) serta menekankan dimensi perbedaan interpretasi dengan pendekatan hermeneutika. Dalam hal ini, menurut Fraser dan Nicholson, diperlukan percakapan hermeneutika yang  tidak dibatasi oleh relasi kekuasaan atau ideologi, tapi bersifat inklusif di mana semua suara masuk dalam proses interpretasi, sehingga  dapat saling memahami. Jika bentuk-bentuk pengetahuan dipengaruhi  kekuasaan, maka pengetahuan sosial dari perspektif feminisme tidak bisa berkembang. Maka  untuk mendukung konsep perbedaan gender serta emansipasi sosial politik yang menjadi perjuangan feminisme, memunculkan hermeneutika feminisme merupakan langkah yang strategis. [11]

            Para intelektual feminis Barat di atas mengembangkan hermeneutika feminisme untuk menstransformasi teori politik untuk mengadakan perubahan. Mereka menolak  filsafat metanarratif dan memposisikan  moral sosial dan tradisi politik sebagai teks yang perlu diinterpretasikan. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa kita merupakan bagian dari perkembangan historis, budaya, moral dan intelektual yang disebut sebagai thick vocabulary yang menjustifikasi  praktek sosial dan  norma- norma kehidupan.[12] Hermeneutika feminisme Barat cenderung berbentuk politik dan disebut dengan hermeneutika teori politik (Hermeneutic Political Theory), yaitu  pemikiran kritis terhadap karya-karya yang bertemakan sosial politik. Seperti Linda Nicholson melakukan pendekatan hermeneutika feminisme terhadap isu keadilan yang dikembangkan John Rawls. Karya ini masih bersifat metanarratif dan Nicholson menolak penjelasan abstrak tentang keadilan dalam pemikiran Rawls. Disamping Nicholson, Susan Miller Okin juga mengeritik pemikiran Mac Intyre yang tidak kritis terhadap tradisi pemikiran para filsuf terdahulu dan Okin mengkounter pemikiran yang berbasis tradisi filsafat Aristotelian yang mengagungkan esensialis dan universalitas.[13]

            Hal penting bagi hermeneutika feminisme Barat ini adalah membuka diskusi terhadap interpretasi tradisi dan pertanyaan bagaimana suara lian (otherness) dapat eksis? Cara berada lian cenderung dipinggirkan dalam wacana mainstream sehingga mengakibatkan ketidakadilan. Otherness di dalam pembahasan feminisme artinya bukan cara memandang perempuan yang telah di konstruksi secara sosial oleh laki-laki (sebagai norma umum, humanitas),  atau perempuan bukan “yang lain” dan menjadi subordinasi dari laki-laki (lihat Simone de Beauvoir).[14] Konsep otherness seperti ini telah melahirkan ketidakadilan karena telah membedakan eksistensi perempuan dari laki-laki dengan cara yang merendahkan.  Siapakah yang memutuskan untuk membedakan status perempuan?  Apa kepentingannya? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang penting di dalam hermeneutika feminisme.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan hermeneutika feminisme adalah anti esensialisme dan menolak universalitas dalam teori ilmu pengetahuan. Hermeneutika feminisme  dalam pemikiran feminisme Barat cenderung berbentuk politik (Hermeneutic Political Theory) dan percakapan hermeneutika (Hermeneutika Diskusi) yang  tidak dibatasi oleh relasi kekuasaan atau ideologi, tapi bersifat inklusif di mana semua suara masuk dalam proses interpretasi, sehingga  dapat saling memahami. Variabel penting dalam hermeneutika feminisme adalah konsep perbedaan gender dan konsep otherness dan tujuannya adalah mereformasi teori politik dan meredefenisi konsep keadilan.

  1. Hermeneutika feminisme dalam pemikiran feminis Islam

            Dalam zaman ini, dunia kita ditertibkan oleh global idea sehingga hermeneutika feminisme mainstream seperti yang diuraikan di atas mempengaruhi para intelektual feminis Islam. Mereka mengaplikasikan prinsip-prinsip hermeneutika feminisme untuk menolak penafsiran Alquran yang merugikan perempuan. Para intelektual feminis Islam mulai melakukan penelitian mengenai persoalan gender dalam tafsir Alquran dan membongkar ayat-ayat gender dalam Alquran untuk direinterpretasi. Mereka yang membongkar interpretasi ayat-ayat gender dalam Alquran disebut sebagai feminis Islam.

            Munculnya penafsiran Alquran berbasis feminis (hermeneutika feminisme bagi Alquran) disebabkan karena dominannya sistem patriarki dalam penafsiran Alquran, sehingga produk tafsir terkait perempuan bersifat seksime (membenci perempuan). Menyadari bahwa otoritas religius klasik telah memonopoli semua bidang pengetahuan Islam, termasuk tafsir Alquran, maka para intelektual feminis Islam melakukan studi tafsir Alquran berbasis feminis untuk mengevaluasi peran dan kedudukan perempuan dalam Alquran, dengan fokus perhatian pada kesetaraan gender dan keadilan sosial.[15] Hermeneutika feminisme muncul pada akhir abad 20 ketika timbul gerakan pembaharuan  Islam di seluruh dunia muslim. Para intelektual feminis Islam melakukan studi Alquran terkait perempuan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dari perspektif feminis.[16] Tafsir Alquran berbasis feminis tersebut dipublikasi atas nama organisasi perempuan seperti Women Living Under Muslim Laws (jaringan internasional), Sister in Islam (Malaysia) dan Zanan Magazine (Iran). Disamping itu, ada pula yang merupakan karya individual seperti, karya Amina Wadud, Asma Barlas, Kecia Ali yang menulis dalam  bentuk buku (text book).[17]

             Feminis Islam yang menggunakan hermeneutika feminisme dalam karya-karyanya,  dapat dikategorikan atas dua generasi. Generasi pertama  adalah, Riffat Hassan, Azizah al-Hibri dan Amina Wadud dan generasi kedua adalah, Asma Barlas, Sadiyya Shaikh and Kecia Ali. Generasi pertama bekerja sebagai “Trailblazers”, karena dalam menghasikan karyanya mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa. Generasi pertama mengalami dominasi kaum laki-laki, baik berbasis intelektual, gender maupun ras dan kompetensi intelektual mereka sering dipertanyakan. Hal ini menyebabkan karya mereka bernuansa melawan sistem patriarki dengan keras dan banyak memuat pengalaman personal yang menunjukkan bahwa mereka tertindas. Hal ini terlihat dari  pengakuan Riffat Hassan dalam  karyanya  Jihad fi sabillah, Azizah al Hibri dengan karyanya Hagar on My Mind dan Amina Wadud dalam  karyanya Inside the Gender Jihad.  Perjuangan generasi pertama ini dipicu oleh peningkatan pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan secara internasional, seperti konferensi Perempuan sedunia di Beijing tahun 1995 yang melahirkan komitmen untuk membangun manusia melalui kesetaraan gender. Juga dipengaruhi oleh CEDAW (Convention on the elimination of all forms of discrimination against women) yang melahirkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.[18]  Sementara itu, generasi kedua yang muncul tahun 1990 membangun karyanya tanpa tekanan dan penindasan seperti generasi pertama. Jadi tulisan mereka tidak menyertakan pengalaman personal. Mereka meneruskan usaha yang telah dirintis generasi pertama. Terdapat perbedaan karakteristik dari kedua generasi ini. Generasi pertama, terfokus pada karyanya masing-masing, tidak ada saling mengutip dan mendiskusikan tema-tema yang mereka bahas dan tidak ada saling mendukung pandangan yang dikemukakan. Cara kerja generasi kedua lebih maju, yaitu terdapat komunikasi di antara mereka.  Terdapat kegiatan kutip-mengutip pemikiran-pemikiran para pendahulunya dan mereka mendiskusikan  karya-karya mereka dan karya-karya dari generasi pertama. Pemikiran generasi kedua menunjukkan perkembangan dimana mereka saling mendukung dan saling terkait antara satu sama lain. [19]

Generasi pertama telah berjasa memunculkan hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran. Mereka telah meletakkan prinsip dasar hermeneutika feminisme yaitu mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dengan langkah-langkah metodologis yang meliputi penerapan tiga metode penafsiran yaitu, metode kontekstualisasi sejarah, intratekstualitas dan  paradigma tauhid.[20] Generasi kedua, berupaya untuk memunculkan epistemologi baru dengan menerapkan prinsip-prinsip hermeneutika dalam penafsiran ulang ayat-ayat Alquran[21] untuk menunjukkan bahwa epistemologi Alquran secara inheren adalah anti patriarki dan mengabsahkan tindakan merumuskan suatu teori tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.[22]

Kemunculan hermeneutika feminisme  bagi penafsiran Alquran tidak bisa lepas dari pengaruh  hermeneutika Alquran yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh intelektual Islam kontemporer, terutama, Fazlur Rahman. Hermeneutika Rahman banyak mempengaruhi pemikiran feminis Islam, terutama Amina Wadud. Rahman membawa pembaharuan di bidang tafsir dan menawarkan bentuk hermeneutika bagi Alquran yang melahirkan tafsir baru yang keluar dari mainstream studi tafsir untuk menyelaraskan tafsir dengan konteks kekinian. Dalam buku Islam and Modernity: Transformation of on Intellectual Tradition (1982), Rahman merekomendasikan perlunya pembedaan antara Islam normatif dan Islam historis. Islam normatif adalah sumber norma dan nilai yang mengatur seluruh tata kehidupan dan bersifat universal. Islam historis merupakan Islam yang ditafsirkan oleh umat Islam sepanjang sejarah. Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman meliputi pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda (double movement) dan pendekatan sintetis-logis. Pendekatan sosio-historis, yaitu melihat kembali sejarah yang melatari turunnya ayat. Dalam hal ini ilmu asbab al-nuzul sangat penting. Teori gerakan ganda penting untuk membedakan antara legal spesifik dan ideal moral. Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan Alquran, sedangkan legal spesifik adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus. Pendekatan sintetis-logis diperlukan untuk membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas.[23]

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Wadud merupakan generasi pertama feminis Islam yang menggunakan hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran. Wadud dapat dipandang ikut berjasa memunculkan hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran dan ikut meletakkan prinsip dasar hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran, yaitu hermeneutika yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki. Bagaimana model hermeneutika feminisme Wadud, maka perlu diikuti arus pemikiran tokoh ini metode tafsir Alquran.

  1. Hermeneutika feminisme dalam Pemikiran Wadud

            Wadud tidak menyebutkan bahwa metode penafsiran yang dilakukannya  sebagai hermeneutika feminisme.  Dia hanya mengemukakan gagasan-gagasan  mengenai hermeneutika Berbasis feminis.  Gagasan-gagasan itu dapat disimak dari kritiknya terhadap tafsir klasik serta gagasan-gagasannya mengenai  aspek, kategori dan domain-domain analisis bagi penafsiran Alquran. Wadud juga memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana) dan beberapa fokus yang menjadi konsentrasinya adalah, apa yang dikatakan Alquran, bagaimana Alquran mengatakannya, apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakan, dan ditambah dengan pengertian sekarang, yaitu apa yang belum dikatakan.[24]

           Menurut Wadud, tafsir klasik yang bercorak atomistik telah menghasilkan produk tafsir yang membatasi peran perempuan bahkan membenarkan kekerasan terhadap perempuan. Disamping itu, muffasir klasik hampir semua laki-laki, sehingga hanya kepentingan dan pengalaman laki-laki yang mempengaruhi produk tafsirnya, sedangkan kepentingan perempuan dan pengalamannya diabaikan. Sementara itu,  dalam studi Islam modern, sekalipun  banyak ditawarkan berbagai hermeneutika yang berpihak kepada keadilan sosial tapi belum ada metode hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Sehubungan dengan itu, maka terlihat pentingnya penafsiran Alquran berbasis feminis, yaitu mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki. Metode penafsiran Alquran yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender diberi nama hermeneutika feminisme.

Menurut Wadud, untuk menghasilkan produk tafsir yang berkeadilan gender perlu menafsirkan Alquran menurut pengalaman perempuan tanpa streotipe yang telah menjadi kerangka penafsiran laki-laki. [25] Penafsiran klasik yang bercorak atomistik menghasilkan penafsiran yang sempit dan terbatas, dia ingin keluar dari keterbatasan itu. Wadud mengemukakan gagasan-gagasannya mengenai hermeneutika bagi penafsiran Alquran yang  dapat disimak dari pandangannya terhadap tafsir klasik dan gagasannya mengenai aspek, kategori penafsiran Alquran serta domain analisis sebagai cara kerjanya.

Wadud mengeritik tafsir klasik, baik metode, perspektif  maupun  isinya.  Menurut Amina Wadud isi tafsir klasik bersifat subjektif, karena tidak ada tafsir Alquran yang benar- benar objektif. Masing-masing muffasir melakukan beberapa pilihan subjektif.[26] Dengan demikian, uraian tafsir klasik sebagian besar isinya mencerminkan pilihan subjektif dan tidak mencerminkan maksud dari ayatnya.  Ayat Alquran dan tafsirnya sering tidak dibedakan,[27] sehingga muncul anggapan bahwa tafsir Alquran bersifat sakral dan pemikiran baru tidak boleh masuk.

Uraian tafsir klasik seringkali bias gender dan tidak relevan dengan kondisi perempuan masa kini yang memiliki problema yang kompleks dan berbeda dengan perempuan masa lalu. Hal ini disebabkan, karena pada umummya muffasir klasik memproyeksikan makna Alquran terkait perempuan berdasarkan perspektif laki-laki. Bagi Wadud, perspektif yang digunakan dalam penafsiran Alquran merupakan satu hal penting. Bila  Alquran ditafsirkan berdasarkan perspektif laki-laki, maka persepsi laki-lakilah yang mempengaruhi posisi tafsir  tentang perempuan dan melahirkan pandangan bahwa perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Karena itu Wadud menggagas tafsir dengan perspektif perempuan dan dia memberi tinjauan menurut perspektifnya sendiri tentang perempuan dan mengkaji bagaimana persepsi mengenai perempuan mempengaruhi penafsiran Alquran. Menurut Wadud, ayat-ayat gender dalam Alquran bisa beradaptasi dengan kehidupan perempuan bila ditafsirkan oleh perempuan sendiri. Wadud menolak campur tangan laki-laki dalam penafsiran ayat-ayat gender. Dalam Qur’an and Woman, Amina Wadud mengemukakan betapa pentingnya pengalaman perempuan dijadikan bahan pertimbangan penafsiran Alquran.[28] Pengalaman perempuan berbeda dengan pengalaman laki-laki, maka itu pengalaman kedua gender itu harus mendapat perhatian yang setara dalam penafsiran.

      Metode atomistik yang digunakan dalam tafsir klasik juga mendapat kritik dari Wadud, Metode atomistic yaitu  menerapkan beberapa makna sekaligus pada satu ayat, tidak mengembangkan suatu kerangka berdasarkan pemikiran yang sistematis untuk mengkorelasikan dan menunjukkan dampak dari pertalian yang sesuai dengan Alquran. Hubungan gagasan, struktur sintaksis, prinsip atau tema Alquran tidak ada metodologinya.[29] Metode atomistik tidak komprehensif dan tidak memperhatikan nilai-nilai keadilan karena tidak  membahas hubungan Alquran dengan dirinya sendiri secara tematis. Wadud menggagas penafsiran Alquran yang bercorak holistik, yaitu mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif.

            Disamping hal di atas, Wadud menggagas agar memperhatikan tiga aspek dalam penafsiran Alquran yaitu, konteks saat ayat diturunkan, susunan gramatika ayat dan bagaimana welstanschauung atau pandangan dunia keseluruhan ayat. Perbedaan hasil penafsiran dipengaruhi oleh ketiga aspek ini.[30]  Selanjutnya, Wadud menggagas  agar melakukan analisis linguistik, analisis asbab al-nuzul dan analisis welstanschauung. Analisis linguistik yaitu menganalisis struktur sintaksis, konteks tektual dan analisa terhadap kata kerja dan kata benda verbal, susunan bahasa yang lazim dalam bahasa Arab dan susunan bahasa Arab yang bermakna ganda. Selanjutnya  menganalisis aspek gender secara linguistik, terutama analisis secara gramatikal bahasa Alquran (Arab) dengan memperhatikan  bentuk maskulin dan feminin dari bahasa Arab, baik digunakan secara berbeda atau untuk membentuk indikasi umum. Analisis asbab al-nuzul. yaitu, memperhatikan latar belakang turunnya ayat, memperhatikan hal-hal universal dan partikular dan memperhatikan informasi  historis dari peristiwa turunnya ayat. Analisis Wellstanschauung yaitu, mengkaji kata-kata dalam ayat-ayat Alquran memiliki Wellstanschauung yang berbeda dengan bahasa Arab.

Berdasarkan gagasan-gagasan Wadud mengenai metode penafsiran Alquran, pengalaman dan pemikiran Wadud mengenai feminisme maka hermeneutika feminisme dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. bercorak holistik, yaitu mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral, agama dan perempuan.
  2. memperhatikan 3 aspek penafsiran yaitu : Konteks, gramatika bahasa dan Wellstanchauung dari ayat yang ditafsirkan.
  3. didasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki.
  4. menggunakan lima langkah  metodologis yaitu:
  • didasarkan pada pengalaman/pandangan perempuan.
  •  menggunakan kerangka pemikiran feminisme
  •  menerapkan metode konstekstualisasi historis
  • menerapkan   metode intratekstual
  • menggunakan paradigma tauhid.

 

Langkah-langkah hermeneutika feminisme dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pengalaman/pandangan perempuan.

 Dalam penafsiran Alquran pengalaman/pandangan perempuan merupakan hal penting. Bila  Alquran ditafsirkan berdasarkan pengalaman  laki-laki, maka persepsi laki-lakilah yang mempengaruhi posisi tafsir  tentang perempuan. Agar penafsiran  Alquran bebas dari pandangan patriarki perlu memasukkan pengalaman perempuan dalam proses penafsiran. Secara teoritis dapat mengatakan bahwa suatu penafsiran harus berangkat dari  prior text (pra pemahaman atau masalah sebelum penafsiran) yang menambah perspektif dan kesimpulan dari penafsiran.  Prior text unsur khas untuk  menafsirkan setiap ayat dan pengalaman perempuan merupakan salah satu prior text, sehingga harus menjadi variabel dalam proses penafsiran.

  1. Kerangka pemikiran feminisme.

Teori-teori feminisme yang berintikan ide kesetaraan dan keadilan gender menjadi bingkai untuk membangun hermeneutika feminisme. Hermeneutika feminisme didasari pemahaman teori feminisme yang kuat. Pemikiran feminisme beragam, ada yang mempersoalkan eksistensi perempuan, menolak seksisme dan menegakkan hak-hak dan martabat perempuan dan lainnya.  Hermeneutika feminisme membuktikan bahwa Alquran tidak membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan, yang membedakan antara kedua gender ini adalah  taqwa.

3.Penerapan metode kontekstualisasi historis, yaitu memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu  (asbab al-nuzul). Metode ini bertujuan untuk membedakan  ayat-ayat partikular, yaitu ayat-ayat untuk mendefinisikan  situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal yaitu ayat-ayat untuk semua manusia.

4.Penerapan metode intratekstual.

Pembacaan intratekstual, merupakan pembacaan Alquran keseluruhan (holistik) tidak membaca Alquran ayat per ayat. Pembacaan intratekstual membaca ayat-ayat dengan melacak bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh ayat Alquran serta membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk  semua manusia sedangkan makna ditarik dari keseluruhan teks. [31]  Jerusha Tanner Lamptey dalam A Muslima Theology of Religious Pluralism membedakan  metode penafsiran Alquran secara intratekstual dan intertekstual. Intratekstualitas adalah isu-isu dalam ayat-ayat Alquran disusun dalam satu tema dan isu-isu itu saling menjelaskan untuk mendapatkan suatu makna. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa metode intratekstual adalah pembacaan ayat demi ayat dalam Alquran untuk menjelaskan suatu isu. Jadi suatu isu tidak hanya dijelaskan oleh satu ayat, tapi dijelaskan oleh beberapa ayat dalam Alquran sendiri. Sedangkan metode  intertekstual adalah isu dalam Alquran diperkuat oleh sumber-sumber Islam yang lain.[32] Sementara itu, M. Shahrur dalam kajiannya terhadap tafsir Alquran sering menggunakan ayat demi ayat untuk menguatkan pendapatnya. Dia menyusun ayat-ayat yang memiliki kesamaan tema dalam sebuah rangkaian dan memahami maknanya. Hal ini dapat dilihat sebagai metode intratekstual, tapi dia tidak menamakan metodenya intratekstual tapi metode intensional. [33]

  1. Paradigma tauhid.

Untuk memperoleh penafsiran yang adil terhadap perempuan, kita harus kembali kepada inti ajaran Alquran yaitu tauhid sebagai kerangka paradigma penafsiran Alquran. Konsep tauhid mengakui Keesaan Allah, keunikan-Nya dan tidak terbagi (indivisibility) Tauhid merupakan metode kunci dalam hermeneutika feminisme dan merupakan doktrin mengenai Keesaan Tuhan. Dengan paradigma tauhid akan terlihat secara jelas, perbedaan Alquran dengan penafsirannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HERMENEUTIKA FEMINISME

            TEMA PENJELASAN
1 Aspek Hermeneutika Feminisme
Konteks Pemahaman teks dalam konteks. Konteks turunnya ayat
Gramatika bahasa Penelusuran komposisi gramatika ayat, bagaimana menyatakannya dan apa yang dinyatakannya.
Wellstanchauung

Kata-kata dalam Alquran memiliki wellstanchauung nya yang berbeda dengan bahasa Arab.

2. Prinsip-prinsip Hermeneutika Feminisme
a.          Mengacu pada kesetaraan dan keadilan gender Laki-laki dan perempuan, memiliki derajat yang sama. Taqwa sebagai dasar kemanusiaan
b.         Menolak ide patriarki Merugikan perempuan dan bertentangan dengan  kesetaraan dan keadilan gender
3 Kategori Hermeneuika Feminisme

 

holistik

Mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral, agama dan perempuan.
4 Proses hermeneutika Feminisme
a.       Pengalaman/pandangan perempuan Asumsi awal hermeneutika berdasarkan pada pengalaman/pandangan perempuan.
b.      Kerangka pemikiran feminisme Teori feminisme menjadi bingkai  bangunan hermeneutika feminisme. Hermeneutika feminisme bagi Alquran harus didasarkan pada teori feminisme yang kuat.
c.       Kontekstualisasi historis Memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya  ayat atau wahyu  (asbab al-nuzul). Berusaha menangkap makna orisinil dari ayat-ayat tersebut dan menemukan ajaran universal Alquran yang melandasi berbagai perintah normatif. Membedakan mana ayat  umum dan mana yang spesifik atau partikular dan universal.
d.         Intratekstual Membaca Alquran secara keseluruhan, tidak ayat per ayat dengan melacakbentuk-bentuklinguistikyang digunakandi seluruhayat, membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama. Makna ditarik  dari keseluruhan teks dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk  semua manusia.
e.          Paradigma tauhid Menegaskan kesatuan ayat-ayat Alquran secara keseluruhan.Menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular .Esensi tauhid mengadvokasi hak asasi manusia perempuan dan mereformasi semua kebijakan yang mencegah kesetaraan gender.

 

 

  1. Kesimpulan

 

Prinsip hermeneutika feminisme mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki. Berbeda dengan metode tafsir klasik yang bercorak atomistik, hermeneutika feminisme bercorak holistik. Tafsir  atomistik melahirkan penafsiran yang terbatas,  tafsir holistik melahirkan penafsiran yang luas kerena mempertimbangkan berbagai metode tafsir tentang berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik berdasarkan pengalaman perempuan. Dalam hermeneutika feminisme  diperhatikan tiga aspek  penafsiran yaitu: aspek konteks, gramatika bahasa dan wellstanschauung Alquran.

 Hermeneutika feminisme mengandung lima langkah metodologis  yaitu: pengalaman/pandangan perempuan sebagai prior text, yaitu pengalaman perempuan. Dengan demikian, pengalaman perempuan merupakan variabel penting yang tidak dapat diabaikan dalam penafsiran. Bila variabel ini diabaikan akan terjadi kekurangan dalam interpretasi. Kedua, kerangka pemikiran feminisme. yaitu menempatkan teori-teori feminisme sebagai bingkai bangunan hermeneutika feminisme. Ketiga, penerapan kontekstualisasi historis yaitu memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya  ayat atau wahyu  dan berusaha menangkap makna orisinil dari ayat-ayat tersebut, menemukan ajaran universal Alquran yang melandasi berbagai perintah normatif Alquran. Keempat penerapan metode intratekstual, yaitu membaca Alquran secara keseluruhan, tidak ayat per ayat dengan melacak bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh ayat, membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama. Makna ditarik  dari keseluruhan teks dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia. Kelima, paradigma tauhid, yaitu pengakuan akan keesaan Tuhan, menegaskan kesatuan ayat-ayat Alquran secara keseluruhan, menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular. Esensi tauhid mengadvokasi hak asasi manusia perempuan dan mereformasi semua kebijakan yang mencegah kesetaraan gender.

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

Arivia,  Gadis,   2003, Filsafat Berspektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan)

Ali, Kecia,   2012, Sexual Ethics & Islam: Feminist Reflections on Qur’an, Hadith, and Jurisprudence,        (England : Oneworld Publications 185 Banbury Road Oxford OX27AR)

Barlas,Asma,  2002, believing Women in Islam:Unreading Patrarchal Interpretations of the Qur’an, (Austin : University of Texas)

Hidayatullah,  Aysha,  2014,  A. Feminist Edges of the Qur’an. (New York : Oxford University)

 

Ilyas, Yunahar,  1997, Feminisme dalam kajian tafsir Alquran, Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka  Pelajar)

 

Irsyadunnas, 2014,  Hermeneutika Feminisme, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara)

Lubis, Akhyar Yusuf, 2014,  Filsafat Ilmu, Klasik Hingga Kontemporer, (Depok : Penerbit Raja Grafindo Persada)

Lamptey, Jerusha Tanner,  2014,  Never Wholly Other, A Muslima Theology of Religious Pluralism, (New York : Oxford University Press)

Mulia, Musdah,   2014,   Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Jender (Yogyakarta : Naufan Pustaka)

……………     2014 ,  Kemuliaan Perempuan dalam Islam, (Jakarta : Megawati Institute)

……………     2011,  Muslimah Sejati : Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Illahi,  (Bandung : Penerbit Maja)

Schleirmacher, Frieclrich,  1998,  Hermeneutic and Crticsm,  terjemahan Andrew Bonie, (Cambridge : Cambridge University)

Tong, Putnam Rosemarie, 2010, Feminist Thought: a more comprehensive introduction,  terjemahan Aquarini, (Yogyakarta : Jalasutra)

Wadud ,Amina,   +1999,  Quran and Women : Rereading The Sacred Tect From A Woman’ Perspective, (New York : Oxford University Press)

—————      2007,  Inside The Gender Jihad: Women’s Reform In Islam , (USA :   Thomson –Shore)

 

[1] Nasaruddin Umar, Menimbang Hermeneutika sebagai Manhaj Tafsir ( Jurnal Studi Alquran vol.1 no.1 : Januari 2006) hal. 33-35.

[2] Gadis Arivia, Filsafat berspektif Feminis ( Jakarta: Jurnal Perempuan, 2003) hal. 308.

[3]  Amina Wadud, Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text From a Woman’s Perspektif  (Oxford: University Press, 1999), hal. xxi

[4] Amina Wadud,  Inside The Gender Jihad: Women’s Reform In Islam, (USA : Thomson –Shore,2007)  hal. 91-92

[5] Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought : a more comprehensive introduction,  terj. Aquarini (Yogyakarta : Jalasutra,2010), hal 21-22

[6]  Tong ,  Feminist Thought , hal. 74

[7] Tong , Feminist Thought,  hal. 255

[8] Tong , Feminist Thought,,hal. 50

[9]  Richard E. Palmer,  Hermeneutics: Interpretation in Schleimacher, Dilthey,Heidegger dan Gadamer   (Evanston : Evanston Northwestern University Press, 1969), hal.34

[10] Akhyar Yusuf Lubis,  Methodologi Posmodernis, (Bogor :  Akademia,  2004) hal.114

 

[11] Georgia Warnke, Feminism and Hermeneitcs, Hypatia vol.8 no.1  (Winter 1993) hal. 81-83

[12] Georgia Warnke, Feminism and Hermeneitcs, hal. 86

[13] Georgia Warnke, Feminism and Hermeneitcs,  hal. 90

[14] Holland dan Ramazanoglu, Feminist Methodology, Challenges and Choices( 2002) hal.107-109.

[15] Aysha A.  Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an,( New York : Oxford University, 2014)  hal.35

[16] Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an,hal.34.

[17]  Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an hal.35

[18]  Hidayatullah,  Feminist  Edges of the Qur’an, hal. 7.

[19]  Hidayatullah,  Feminist  Edges of the Qur’an, hal. 8

[20]  Hidayatullah, Feminisme Edges of the Qur’an, hal.  65

[21] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme,  hal 67

[22]  Asma Barlas,Believing Women in Islam, hal. 33

[23] http://saintofreligion.blogspot.com/2011/04/hermeneutika-al-quran-fazlur-rahman.html

[24] Wadud, Qur’an and Woman, hal. xiii.

[25]  Wadud, Qur’an and Woman  hal. 2

[26] Wadud, Qur’an and Woman  hal.57

  [27]  Wadud, Qur’an and Woman hal.1

[28] Wadud, Qur’an and Woman  hal. 6

[29] Wadud, Qur’an and Woman  hal.2

[30] Wadud, Quran and Woman, hal.1

[31] Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 87-109

[32] Jerusa Tanner Lamptey, Never Wholly Other, A Muslima Theology of Religious Pluralism, (New York : Oxford University Press, 2014), hal. 84

[33] Faisal M. Hamdani, Metode Hermeneutika M. Shahrur dalam memahami Al-Qur’an dan   impilkasinya terhadap hukum (Jakarta : GP. Press, 2012 ) hal. 110