Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Amina Wadud

Pengantar

Melalui buku Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text For a Woman’s Perspektif , Amina  Wadud, intelektual Islam asal Amerika membongkar bias gender dalam tafsir Alquran dan mengembangkan tafsir baru terkait perempuan dengan  menggunakan hermeneutika feminisme. Bagi Wadud bias gender dalam penafsiran Alquran merupakan problem metodologi dalam penafsiran Alquran. Metode tafsir klasik ( metode tekstual)  menghasilkan produk tafsir yang merugikan perempuan. Wadud menawarkan metode hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran. Metode hermeneutika Alquran berbasis keadilan telah banyak dihidangkan oleh intelektual muslim, tapi belum ada hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Wadud menawarkan metode  hermeneutika yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender yang disebut dengan hemeneutika feminisme. Hermeneutika feminisme dapat dikatakan sebagai upaya untuk mengkaji teks atau ayat Alquran yang berkaitan dengan persoalan perempuan dengan mengacu kepada  ide atau gagasan kesetaraan dan keadian gender.

Tulisan ini bermaksud untuk mengedepankan hermeneutika Feminisme dalam pemikiran Amina Wadud.  Hermeneutika feminisme sebagai metode baru untuk tafsir Alquran diharapkan dapat memecahkan problem-problem perempuan  yang bersifat kontemporer yang tidak mungkin dipecahkan  lagi dengan metode yang bersifat tradisional.

About Wadud

Amina Wadud pernah menjadi  Professor of Religion and Philosophy (Profesor Agama dan Filsafat)  di  Virginia Commonwealth University. Memperoleh Ijazah Doktor Filsafat dari Universitas Michigan. Memulai karir akademik sebagai professor di International Islamic University of Malaysia (IIUM).  Karya pertamanya berjudul “ Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspektive (1992). Bukunya yang kedua diberi judul Inside the gender jihad (sebuah perjuangan gender). Wadud pernah mengajar di Libia dan dia sering menjadi pembicara dan dosen tamu diberbagai  universitas di berbagai Negara. Pada tahun 2007, Amina Wadud memenangkan “the Danish Democrazy Prize”.

Amina Wadud terusik  melihat realitas kehidupan perempuan di banyak negara muslim, tertindas dan terpinggirkan. Kondisi ini memotivasinya untuk melakukan penelitian mengenai kedudukan perempuan  dalam Alquran. Ketika bergumul dengan kitab-kitab tafsir klasik, dia terkejut karena sebagian besar kitab-kitab tersebut memberi legitimasi terhadap perlakuan diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Maka itu, dia memilih perjuangan kesetaraan dan keadilan  gender sebagai  salah satu perjuangannya. Tuhan telah menciptakan perempuan sebagai makhluk sempurna.  Pandangan, ajaran atau sistem apapun yang  memperlakukan perempuan sebagai manusia tidak utuh akan merusak harmoni seluruh alam semesta.

Wadud berangkat dari pertanyaan-pertanyaan :

  1. bagaimana kaitan teoritis dan metodologis antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana suatu ayat ditafsirkan).
  2. Apa yang dikatakan Alquran dan bagaimana Alquran mengatakan.
  3. Apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakan
  4. Apa yang belum dikatakan.

 

Jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas penulis baca secara hermeneutika sehigga terumus sebuah  metode hermeneutika feminisme bagi Alquran, seperti  berikut ini.

Hermenutika Feminisme

Hermeneutika Feminisme adalah metode hermeneutika yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender. Secara umum hermeneutika dimaknai sebagai ilmu penafsiran. Dalam kontek kekinian terdapat tiga   pemahaman  hermeneutika:

  1. Hemeneutika sebagai teknis praktis penafsiran (memberi pemahaman atau makna suatu teks).
  2. Hermeneutika sebagai filsafat penafsiran, berkaitan dengan pola bekerjanya pemahaman manusia dan bagaimana hasil pemahaman manusia itu.
  3. Hermeneutika sebagai metode penafsiran. Sebagai metode penafsiran, hemeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan dan teori penafsiran yang dikenal dengan hermenutika modern.

Hermeneutika moderen berkembang dalam 3 aliran: hermeneutika teoritis,filosofis dan kritis sebagai berikut.

Hemeneutika kritis yaitu menafsirkan teks untuk mencari makna objektif, yaitu makna yang sesuai dengan maksud teks (pengarang).

Hermeneutika filosofis, yaitu menafsirkan teks untuk mencari makna baru . Pendekatan terhadap teks dilakukan melalui prior text ( pra paham). Proses penafsiran dilakukan secara  dialogis dan  peleburan cakrawala penafsir dan teks (fusion of horizon).

Hemeneutika kritis, yaitu   menafsirkan teks tidak hanya mencapai kebenaran, tapi juga membongkar acuan-acuan kebenaran yang selama ini dipercaya.  Hermeneutika kritis juga memecahkan masalah dominasi kekuasaan dan kepentingan.

Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodernisme, hermeneutika mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Hermeneutika tidak lagi terbatas pada metode apa yang paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran, tapi juga mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan mengkritisi dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang menopangnya. Dengan demikian   hermeneutika kritis berkembang menjadi hermeneutika dekonstruktif atau hermeneutika radikal dalam pemikiran Jaques Derrida.

Hermeneutika feminisme mengacu kepada ide kesetaran dan keadilan gender dan menolak ide patriarki sebagai prinsip dasarnya. Hermeneutika feminisme merupakan teori penafsiran, berintikan teori hermeneutika moderen, yaitu  hermeneutika kritis. Penafsiran diawali dengan pendekatan  prior text  dalam hal ini   pengalaman perempuan. Untuk memproduksi makna dilakukan proses dialog atau peleburan cakrawala antara penafsir dan teks untuk mendapatkan makna baru (fusion of horizon).

Disamping Hermeneutika kritis, Hermeneutika feminisme juga menggunakan metode hermeneutika Alquran berbasis feminis yang digunakan para feminis Islam seperti yang disampaikan oleh Aysha Hidayatullah dalam bukunya Feminist edges of the Qur’an ( 2014) .

 

 

Hermeneutika Feminisme : Kategori dan Prinsip

 

Hermeneutika feminisme masuk kategori holistik, yaitu menggunakan berbagai metode tafsir dan mempertimbangkan dan memecahkan berbagai masalah yang harus dipecahkan  secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama, termasuk isu-isu perempuan.

Prinsip hermeneutika feminisme  yaitu mengacu pada kesetaraan dan keadilan gender Laki-laki dan perempuan, memiliki derajat yang sama. Taqwa sebagai dasar kemanusiaan.

Langkah-langkah operasional hermeneutika feminisme           

  1. Menggunakan metode kontekstualisasi sejarah

Pertama, memahami konteks (asbab al-nuzul) ayat yang terkait perempuan. Kemudian menarik makna substansial dan ajaran universal dan menyesuaikan dengan konteks sosial budaya kontemporer. Dengan melakukan analisis situasi sosial budaya masyarakat Arab abad ke 7 (ketika ayat diturunkan) dan diidentifikasi  ayat partikular yang khusus untuk masyarakat Arab abad ke 7, akan ditemukan situasi masyarakat Arab abad ke 7   tidak sesuai dengan situasi masyarakat kontemporer.

2. Menggunakan metode intratekstual.

Menghimpun ayat-ayat Alquran yang membahas masalah perempuan dari berbagai surat. Selanjutnya menyusun runtutan ayat sesuai pengertiannya dan masa turunnya. Memahami korelasinya dan mengkompromikan pengertian yang umum dan khusus, yang mutlak dan terikat, sehinga dapat ditarik substansi dari ayat-ayat tersebut.

3. Menggunakan Paradigma tauhid.

Tauhid adalah mengakui keesaan Allah. Tauhid menjamin keadilan dan membebaskan manusia dari ketidakadilan. Esensi tauhid digunakan untuk mengadvokasi hak asasi perempuan dan untuk mereformasi semua kebijakan yang mencegah  kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Penutup

Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik Amina Wadud tentang bias gender dalam penafsiran ayat-ayat Alquran dan pemikirannya yang mengusung kesetaraaan dan keadilan gender dalam tafsir dapat dirumuskan  sebuah hermeneutika feminisme bagi Alquran. Hermeneutika Feminisme  merupakan  metode baru untuk menafsirkan ayat-ayat gender dalam Alquran yang diharapkan dapat memecahkan problem-problem perempuan yang bersifat kontemporer. Persoalan kotemporer tidak mungkin lagi dapat dipecahkan dengan metode yang bersifat tradisional. Hermeneutika feminisme dapat membongkar bias gender dalam tafsir Alquran dan mengembangkan tafsir baru yang berkeadilan gender.