Hermeneutika dalam Studi Islam

Dalam studi Islam, terutama studi  tentang Alquran dan tafsir, hermeneutika telah digunakan sebagai metode penafsiran Alquran. Digunakan pertamakali oleh Hassan Hanafi (1965) dalam disertasinya yang berjudul : Les metodes d’exegese: essay sur la science des fondements de la comprehension ‘ilm usul al-fiqh, untuk mengambil gelar doktor pada universitas Sarbone Perancis. Kemudian, metode hermeneutika bagi penafsiran Alquran terus dikembangkan oleh para intelektual Islam kontemporer karena didorong oleh kesadaran bahwa realitas kekinian memerlukan alat bantu untuk menafsirkan Alquran dan perlunya suatu standar ilmiah dalam penafsiran Alquran. Ketika hermeneutika cukup memberikan kontribusi signifikan dan membuka wacana baru dalam pembacaan teks suci, maka metode ini dikembangkan dalam berbagai perspektif termasuk perspektif feminisme.

Penggunaan  hermeneutika dalam menafsirkan Alquran menimbulkan pandangan pro kontra. Ada kelompok yang menolak dan ada yang mendukung. Yang menolak seperti Yusuf al-Qardawiy, Muhammad Naquib Al-Attas, Wan Mohd Nor Wan Daud  mengatakan bahwa penggunaan hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran dapat mengaburkan substansi Alquran, karena tafsir hermeneutika bermuatan pemikiran subjektif dan kondisional. Disamping itu, hermeneutika merupakan studi prinsip-prinsip umum tentang interpretasi Bible yang bertujuan untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible, sehingga tidak bisa digunakan untuk menafsirkan Alquran. Sementara yang mendukung hermeneutika seperti  Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Essack, Fazlur Rahman dan lainnya menyadari bahwa hermeneutika diperlukan untuk studi tafsir Alquran untuk memahami berbagai realitas kekinian dan untuk pemenuhan standar ilmiah ilmu tafsir.

Di Indonesia, cukup banyak ulama Islam  yang menggunakan hermeneutika untuk penafsiran Al Quran, diantaranya   Quraish Shihab. Menurut Quraish Shihab, ada konsep-konsep dalam hermeneutika yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya penafsiran Alquran. Karena itu adalah tidak wajar menolak mentah-mentah kehadiran hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran. Tujuan utama dari hermeneutika adalah untuk menafsirkan dan memahami makna kata dan konteks yang terdalam dan tersembunyi dari teks, maka itu, hermeneutika diperlukan untuk pemahaman Alquran. Pada masa awal, Alquran diterima umat dalam bentuk lafazh (lisan) dan lafazh Alquran tidak ada bedanya dengan lafazh-lafazh yang lain. Dengan demikian, Alquran pun dapat didekati sebagaimana mendekati teks apapun.

Penafsiran Alquran telah mulai sejak turunnya wahyu. Nabi Muhammad sebagai penafsir utama telah menafsirkan beberapa ayat Alquran. Dalam perkembangan selanjutnya para ulama menyusun sebuah disiplin untuk penafsiran Alquran yakni ulum al-tafsir. Menurut Quraish Shihab hermeneutika dan tafsir adalah sama-sama ilmu tentang penafsiran dan dapat dikatakan bahwa metode hermeneutika merupakan perkembangan dari metode tafsir klasik dimana metode hermeneutika lebih sistematis dan kritis. Hermeneutika dan tafsir tidak perlu dipertentangkan.

Dalam bahasa Arab, hermenutika diterjemahkan dengan ilmu at- takwil dan ada juga yang langsung memahaminya sebagai ilmu tafsir karena berfungsi untuk menjelaskan maksud teks yang diteliti. Hermeneutika tidak perlu dipertentangkan dengan tafsir karena banyak hal yang mempertemukan hermeneutika dengan kaidah penafsiran Alquran. Atas dasar itu, maka hermeneutika penting dalam pembacaan Alquran.

 Alquran disamping wahyu Tuhan, dapat dipandang sebagai teks, karena ia hadir kepada manusia dalam bentuk teks. Alquran sebagai teks saat ini berhadapan dengan realitas umat Islam kontemporer yang penuh dengan kompleksitas persoalan sosial dan kemanusiaan. Alquran mengandung ungkapan-ungkapan simbolik metaforis dan berbagai kiasan. Alquran memerlukan penafsiran dan penafsiran memerlukan metode. Tiap metode memiliki kriteria dan aturan-aturannya sendiri. Bila dianggap suatu metode tidak memuaskan, dapat dipilih metode lain yang dapat menjawab persoalan. Karena metode tafsir klasik dipandang sangat simple (ringkas) dan tidak memadai lagi untuk menangkap pesan-pesan moral dari Alquran, maka hermeneutika sebagai metode yang lebih sistimatis dan kritis dapat dijadikan pilihan.

Alquran dapat dilihat sebagai teks.  Kedudukan teks demikian sentral  sehingga teks menjadi semacam paradigma yang mengkerangkakan seluruh kehidupan umat Islam dalam seluruh bentangan sejarah. Kehadiran teks dalam tradisi agama membawa implikasi luar bisa bagi perkembangan peradaban. Sekalipun konteks merupakan syarat penting dalam memahami teks, tapi teks tetap merupakan supremasi tertinggi, karena berkaitan dengan wawasan teologis yang menganggap bahwa Tuhan berbicara langsung pada manusia melalui Nabi Muhammad. Teks dipandang sebagai poros tempat putaran seluruh tindakan orang beriman. Begitu kentalnya merasuk dalam kehidupan, tidak heran kalau teks menentukan langgam serta gaya hidup umat beragama. Juga tidak heran bila muncul kegelisahan dari pemikir-pemikir Islam berjiwa pembaharuan melihat kevakuman yang panjang dalam pemahaman teks Alquran yang hanya berkutat pada pemahaman masa klasik yang konteks dan kondisinya telah berbeda dengan masa sekarang. Oleh karena itu, tidak heran bila muncul berbagai gagasan untuk menggunakan teori yang lebih sistimatis untuk penafsiran teks Alquran. Penafsiran Alquran dengan metode hermenutika dipandang lebih mampu menyajikan dimensi-dimensi humanistik Alquran yang selama ini  tersembunyi di balik kekakuan penafsiran teks Alquran yang bernuansa teologis.

Hermeneutika memiliki sudut pandang yang berbeda-beda yang berarti dari sudut pandang mana sebuah teks mau dilihat. Hermeneutika untuk penafsiran Alquran telah dikembangkan dalam berbagai sudut pandang oleh para intelektual Islam kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd, menawarkan hermeneutika signifikansi dan Fazlur Rahman mengemukakan hermeneutika double movement. Muhammad Shahrur menawarkan hermeneutika intertekstualitas dan Amina Wadud menawarkan hermeneutika feminisme.  Hermeneutika Muhammad Shahrur menempatkan pemahaman kitab suci dalam kerangka fenomena historis. Dia melakukan koreksi terhadap kesalahan umat yang kurang memperhatikan karakterisitik dan fleksibilitas penafsiran ayat-ayat Alquran, sehingga membebani umat, karena tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan konteks sosial abad 21. Shahrur menggagas hermenutika intertekstualitas yakni menggabungkan ayat-ayat Alquran yang memiliki titik-titik persinggungan dan persamaan tema dalam ayat-ayat yang berbeda. Hal ini dimaksudkannya untuk menentukan mana makna yang paling tepat dari makna yang ada, karena setiap kata dipengaruhi oleh hubungan secara linear dengan kata sekelilingnya.

Nasr Hamid Abu Zayd juga menampilkan model baru hermeneutika Alquran yang disebut dengan hermeneutika signifikansi. Bagi Zayd, Alquran mengandung dua unsur yaitu makna objektif yang terbentuk melalui historis dan metaforis dan makna signifikansi yakni level kata yang maknanya dapat diperluas ke dalam kultur yang berbeda dari kultur awal. Setelah ditemukan makna objektif lalu dilanjutkan dengan upaya mengkaitkan Alquran dengan realitas kekinian untuk menemukan jawaban bagi persoalan yang sedang dihadapi. Zayd memberi penegasan tentang adanya hubungan yang erat antara unsur pertama dan kedua atau makna objektif dan makna signifikansi.

Fazlur Rahman dikenal dengan teori double movement (gerakan ganda) yaitu: pertama, bergerak dari situasi sekarang ke situasi Alquran diturunkan, untuk mencari nilai dari ayat yang diturunkan dalam merespon peristiwa yang terjadi di masa wahyu. Kedua, setelah menemukan prinsip umum, maka dikembalikan pada masa sekarang untuk diterapkan dan jika perlu diubah dimana nilai-nilai Alquran bisa diterapkan. Fazlur Rahman berpendapat bahwa proses penafsiran merupakan gerakan ganda dari situasi sekarang ke masa Alquran, kemudian kembali ke masa sekarang, sebab Alquran adalah jawaban Tuhan melalui pikiran Nabi terhadap situasi moral-sosial Jazirah Arab abad ke 7 (zaman nabi). Alquran muncul sebagai respon terhadap situasi itu, karenanya, kandungan Alquran sebagian besar adalah pernyataan moral keagamaan dan sosial dan juga merespon berbagai persoalan khusus yang dihadapi pada masa itu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hermeneutika Fazlur Rahman merupakan pemahaman teks dalam konteks, dimana dan kapan suatu ayat diturunkan dan bagaimana respon masyarakat terhadap ayat tersebut, kemudian dbawa ke konteks kekinian.

Dalam Islam and Modernity: Transformation of on Intellectual Tradition (1982), Rahman merekomendasikan perlunya pembedaan antara Islam normatif dan Islam historis. Islam normatif adalah sumber norma dan nilai yang mengatur seluruh tata kehidupan dan bersifat universal. Islam historis merupakan Islam yang ditafsirkan oleh umat Islam sepanjang sejarah. Gagasan penafsiran Alquran atau hermeneutika Alquran Fazlur Rahman meliputi pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda (double movement) dan pendekatan sintetis-logis. Pendekatan sosio-historis, yaitu melihat kembali sejarah yang melatari turunnya ayat. Dalam hal ini Ilmu asbabun al-nuzul sangat penting. Teori gerakan ganda penting untuk membedakan antara legal spesifik dan ideal moral. Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan Alquran, sedangkan legal spesifik adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus. Pendekatan sintetis-logis diperlukan untuk membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas.

Amina Wadud mengembangkan hermeneutika feminisme, yaitu upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mengacu kepada kesetaraan dan keadilan gender. Hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud didasarkan pada pengalaman/persepsi perempuan dan menggunakan kerangka teori feminisme. Langkah-langkah metodologis hermeneutika feminisme meliputi metode konstekstualisasi historis, metode intratekstualitas dan paradigma tauhid.

Hermeneutika yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh intelektual Islam kontemporer di atas telah mengubah pemahaman terhadap teks-teks Alquran. Pemahaman ini dipandang lebih membumi tidak hanya berkutat pada pemahaman masa klasik yang konteksnya telah berbeda dan terkesan anti pembaharuan (tajdid). Dengan demikian, hermeneutika menjadi metode penafsiran alternatif dalam studi tafsir Alquran dan kehadiran hermeneutika dipandang sebagai rekonstruksi metodologis dalam penafsiran Alquran. Tiap muffasir memiliki kekhasannya sendiri dan tidak bisa dijadikan satu-satunya pemahaman, karena muffasir dalam memahami teks  dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan sosial dan budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan. Disamping itu, Alquran adalah kitab Illahiah yang menjadi pedoman manusia sepanjang zaman, sehingga harus bersifat fleksibel untuk mengakomodir situasi budaya dan ilmu yang sangat beragam. Bila hanya ada satu penafsiran yang ditafsirkan pada suatu konteks zaman, maka akan membatasi jangkauan Alquran. Oleh karena itu, mengembangkan hermenutika sebagai metode penafsiran Alquran akan memberi manfaat bagi kehidupan manusia.