Hemeneutika Feminisme : Pesan Teologis dan Etis Alquran non Patriarchal
Kajian akademis tentang perempuan dalam Islam sudah banyak dilakukan. Masyarakat di dunia, termasuk masyarakat muslim pasti terikat dengan hukum HAM ( Hak Asasi Manusia). Berkaitan dengan itu, maka dewasa ini, posisi perempuan dalam tradisi Islam mulai dipersoalkan. Segala sesuatu mulai dikaitkan dengan konsep gender. Bias gender dalam penafsiran Alquran mulai digugat. Gugatan terhadap bias gender dalam penafsiran Alquran dapat disimak dari pemikiran para intelektual Islam seperti, Amina Wadud, Riffat Hassan, Asma Barlas, dan lainnya. Gugatan terhadap tafsir bias gender juga dapat dilihat dalam pemikiran tokoh-tokoh intelektual Islam Indonesia, seperti Siti Musdah Mulia, Nasaruddin Umar, Husein Muhammad dan lainnya. Dalam pandangan para intelektual muslim ini bias gender dalam penafsiran Alquran menjadi salah satu sebab ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam masyarakat muslim.
Pemikiran tentang posisi perempuan dalam Islam terus bergerak maju walaupun dengan mantel besi menghadapi penolakan konsep gender dan feminisme oleh sebagian besar masyarakat muslim. Gelombang penulis feminis Muslim seperti Amina Wadud, Asma Barlas, Riffat Hassan, Kecia Ali, Sa’diyya Shaikh, mulai mengeluarkan suara perempuan tentang keadilan gender. Tokoh-tokoh feminis muslim ini menyebut perjuangannya sebagai jihad untuk keadilan gender. Mereka berpendapat bahwa sudah saatnya laki-laki berhenti berbicara tentang perempuan dengan konten pembicaraan hanya menunjuk pada diri laki-laki sendiri (maskulinitas) untuk memperkuat konstruksi nyaman laki-laki melalui interogasi perempuan, sehingga perempuan terus buta terhadap hegemoninya sendiri .
Amina Wadud telah mengembangkan hermeneutika Alquran dengan perspektif gender yang disebut hermeneutika feminisme. Wadud berpendapat bahwa Alquran pada dasarnya adalah teks non – patriarkal. Alquran tidak membenarkan patriarki, tapi pembacaan patriarki selama berabad-abad telah mendominasi teologi Islam, sehingga kesalahpandangan tradisional terhadap perempuan tidak dapat dicegah. Atas dasar itu, maka proses dekonstruksi sangat dibutuhkan. Diperlukan suatu bentuk hermeneutika dengan perspektif gender (hermeneutika feminisme) sehingga pesan-pesan Alquran dapat dinterpretasikan secara adil. Hermeneutika feminisme memberi penekanan interpretasi Alquran pada nilai-nilai teologis dan etis sebagai dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sebelum merefleksikan pemikiran Amina Wadud, perlu kiranya disampaikan siapa Amina Wadud. Wadud seorang intelektual perempuan Islam dari Afrika-Amerika. Dia menaruh perhatian yang besar pada persoalan gender dalam tafsir Alquran dan mengkritik pemikiran Islam yang tidak memperhatikan soal gender sebagai salah satu kategori pemikiran, sehingga anggapan bahwa derajat perempuan rendah dari laki-laki sulit diubah. Menurutnya, bukan Alquran yang merendahkan derajat perempuan, tapi penafsiran Alquran yang dianggap lebih penting dari Alquran itu sendiri. Wadud percaya bahwa perempuan tertindas bukan karena Alquran, tetapi karena bias gender dalam penafsiran Alquran.
Dalam bukunya Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective dan buku Inside The Gender Jihad, Woman’s Reform in Islam, Amina Wadud mengemukakan prinsip-prinsip teologis dan etis dalam Alquran sebagai dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pembacaan saya terhadap pemikiran Wadud tentang prinsip-prinsip teologis dan etis dalam Alquran dapat dikemukakan sebagai berikut.
- Tauhid
Tauhid adalah prinsip teologis yang merupakan prinsip dasar pandangan dunia Islam. Segala sesuatu bersatu dalam Allah dan bahwa tidak ada realitas selain Realitas yang Agung. Tauhid dipahami sebagai integrasi keragaman dalam kesatuan. Semua manusia ciptaan Allah, sehingga tidak tepat untuk membangun hirarki berdasarkan karakteristik fisik atau politik seperti ras , kebangsaan dan gender. Kemanusiaan semua manusia adalah sama. Itu berarti bahwa kita tidak dapat membuat hirarki laki-laki dan perempuan, karena semua makhluk berkaitan langsung dengan Tuhan .
- Taqwa
Taqwa prinsip teologis yang sering diterjemahkan sebagai “kesalehan “. Taqwa juga memiliki makna perlindungan, atau berberhati-hati . Alquran menyatakan bahwa satu-satunya prinsip yang membedakan seseorang dari orang lain adalah taqwa (Qur’an 49 : 13 ) .
- keadilan
Keadilan bukanlah konsep yuridis semata, tapi satu kosmologis. Dunia telah dibuat dalam keadilan dan dalam keseimbangan yang permanen. Kekuatan keseimbangan itu berporos pada penciptaan Allah yang menghadirkan dua kutub berpasangan, seperti langit dan bumi , ekspansi dan kontraksi , perubahan dan permanen, laki-laki dan perempuan dan lainnya. Di sinilah gagasan Islam sebagai agama moderat menghadirkan dua kutub yang harus seimbang untuk mencari keharmonisan. Perlu keseimbangan antara akal dan naluri, kebutuhan fisik dan spiritual, individu dan kolektif. Keseimbangan merupakan kekuatan sempurna yang memberi kebahagiaan dan ketenangan. Bila condong pada salah satu kutub saja akan mengorbankan kutub yang lain, sehingga menghadirkan masyarakat muslim yang sakit.
4.Khalifah
Dalam Al Qur’an, semua manusia dipandang sebagai khalifah yaitu potensi Allah di bumi, makhluk yang bertanggung jawab atas perawatan dunia, perawatan diri mereka sendiri dan lingkungan terdekat mereka.Konsep Khalifah menyiratkan bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab yang tidak dapat dialihkan kepada manusia lain. Allah telah memberikan kepada kita masing-masing perintah kehidupan, tanpa perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, pemahaman bahwa perempuan adalah khalifah Allah perlu dibangun dalam masyarakat muslim.
- Awliya
Kata awliya dalam Alquran (Qur’an 9:71 ), dapat dimaknai sebagai, “orang-orang terpercaya”, “saling mendukung dan melindungi”. Ayat ini menetapkan kerjasama dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan merupakan pernyataan egaliter dan non – hirarkis sehingga membatalkan setiap kemungkinan dominasi laki-laki. Konsep ketergantungan perempuan pada laki-laki perlu di dekonstruksi. Feminis Islam menggagas ide kesetaraan dan keadilan gender, saling mendukung antara laki-laki dan perempuan.
- Syura
Yang dimaksud dengan Syura adalah saling konsultasi. Alquran menetapkan bahwa orang-orang mukmin , laki-laki dan perempuan saling memberi nasihat dalam menjalankan kehidupan. Ini prinsip demokrasi yang juga berlaku dalam pernikahan agar tidak terjadi pemutusan hubungan karena dominasi laki-laki atas perempuan.
Membaca prinsip teologis dan etis dalam Alquran melalui pemikiran Amina Wadud seperti diuraikan di atas, menunjukkan bahwa teologi Alquran adalah teologi non – patriarkal. Mendukung teologi Alquran sebagai teologi non – patriarkal, dapat ditelusuri pula pesan Alquran tentang penciptaan manusia. Alquran menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan ontologis. Penciptaan laki-laki dan perempuan dari nafs tunggal ( jiwa ) yang memiliki prinsip kesatuan. Dari prinsip kesatuan kemudian dibedakan karena muncul dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tapi tidak ada perbedaan nilai atau karakteristik antara kedua jenis kelamin tersebut. Pesan teologis dan etis Aquran sama-sama ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Alquran tidak menetapkan orang tua otoritas, seperti ayah sebagai kepala keluarga. Tidak ada referensi sedikitpun untuk pemisahan kualitas jenis kelamin dan tidak dapat ditemukan dalam Alquran referensi yang membenarkan perbedaan peran sosial untuk laki-laki dan perempuan.