Gerakan Feminisme Islam dalam Tafsir

Gerakan feminisme dalam dunia Islam diawali pada abad 19 dengan gagasan emansipasi yang dicanangkan dan dipelopori oleh tokoh-tokoh intelektual  Islam Mesir, seperti  Rifa’ah Tahtawi, Qasim Amin dan Muhammad Abduh.  Mereka menyerukan perlunya pemberdayaan kaum perempuan dan memberi kesempatan pada perempuan  untuk mengungkap partisipasi sebagai bagian dari perjuangan memajukan umat Islam. Tercatat nama-nama seperti Aisyah Tamuniah, Zainab Fawwaz, Rokeya Sakhwat Hosein sebagai perintis dalam menumbuhkan kesadaran terhadap persoalan gender dan perlunya perempuan membebaskan diri dari kultur dan ideologi masyarakat patriarki yang membelenggu kebebasan perempuan.

Gerakan feminisme Islam mulai gencar pada abad 20 yang merupakan gerakan feminisme yang berakar dari keyakinan  bahwa Alquran mengafirmasi  prinsip-prinsip kesetaraan  seluruh umat manusia yang selama ini telah  disingkirkan oleh budaya patriarki. Gerakan feminisme dalam Islam ini  dipelopori oleh tokoh-tokoh perempuan Mesir seperti Nabawiyya Musa, Zainab al Ghazali yang bertujuan untuk meluruskan kembali makna substansial Alquran. Perkembangan selanjutnya, gerakan feminisme Islam masuk ke bidang tafsir Alquran dengan melakukan penafsiran Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme.

Kesetaraan dan keadilan gender merupakan isu utama feminisme. Dalam wacana feminisme, perempuan digambarkan sebagai manusia yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan, sehingga muncul perjuangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Gender didefinisikan sebagai seperangkat sikap, peran, fungsi dan tanggung jawab yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat kontruksi budaya atau pengaruh lingkungan masyarakat dimana manusia itu tumbuh dan dibesarkan.Dari definisi di atas, gender dipahami sebagai konsep sosial, yaitu konsep yang digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan dari segi sosial bukan dari perbedaan jenis kelamin. Gender dibedakan dengan pengertian seks. Gender bersifat sosial dan seks bersifat biologis, yaitu jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis dan perempuan dengan vagina.  Seks adalah natural sedangkan gender adalah konstruksi sosial.

Mendekatkan feminisme dan Islam melahirkan perdebatan yang panjang. Dalam pembicaraan hubungan feminisme dan Islam, ditemukan dua posisi dominan. Jerusha Tanner Lamptey dalam  Never Wholly Other: A Muslima Theology of Religious Pluralism (2014)  menjelaskan bahwa posisi pertama adalah posisi dimana ide-ide feminisme dimasukan di dalam proses interpretasi Alquran. Posisi kedua, menegaskan bahwa ide-ide feminisme ada di dalam tradisi Islam sehingga tidak perlu mengadopsi labelisasi Islam. Mereka yang mengambil posisi kedua seperti Lamptey menamakan diri Muslima, sebab pijakan dasarnya berangkat dari seseorang yang percaya dengan agama Islam, berangkat dari sumber utama yaitu Alquran dan juga sumber-sumber lain seperti sunna dan hadith termasuk ijma (konsensus para intelektual Islam). Namun, Lamptey tidak mempermasalahkan posisi mana yang lebih baik dan dia tidak mempedulikan labelisasi-labelisasi yang ada.

Ada beberapa intelektual feminis Islam mendekatkan feminisme dan Islam dalam karyanya seperti tokoh-tokoh di berikut ini.

Aysha A. Hidayatullah asisten professor di Universitas San Fransisco Amerika Serikat.. Aysha mengatakan bahwa tafsir Alquran berbasis feminis muncul pada akhir abad 20 ketika timbul gerakan pembaharuan  Islam di seluruh dunia muslim. Para intelektual feminis Islam melakukan studi Alquran terkait perempuan dan menasirkan ayat-ayat Alquran dari perspektif feminis. Tafsir Alquran berbasis feminis tersebut dipublikasi atas nama organisasi perempuan seperti Women Living Under Muslim Laws (jaringan internasional), Sister in Islam (Malaysia) dan Zanan Magazine (Iran). Disamping itu,ada pula yang merupakan karya individual seperti, Amina Wadud, Asma Barlas, Kecia Ali yang menulis karyanya dalam  bentuk buku (text book).

Menyadari bahwa otoritas religius klasik telah memonopoli semua bidang pengetahuan Islam, termasuk tafsir Alquran, maka para intelektual feminis Islam melakukan studi tafsir Alquran berbasis feminis untuk mengevaluasi peran dan kedudukan perempuan dalam Alquran, dengan fokus perhatian pada kesetaraan gender dan keadilan sosial. Penafsiran Alquran berbasis feminis yang disebut dengan hermeneutika feminisme ditawarkan untuk menghasilkan tafsir yang adil gender.