Feminisme dalam pemikiran Amina Wadud
Tentang Amina Wadud
Amina Wadud lahir 25 September 1952, di Bethesda Maryland Amerika Serikat. Bapaknya bernama Rev. Albert Teasley, seorang pendeta metodis dan ibunya bernama Thelma L.C, Teasley. Keluarga ini berasal dari etnis Afro-Amerika, sebuah kelompok etnis di Amerika Serikat yang nenek moyangnya banyak berasal dari Afrika di bagian Sub-Sahara dan Barat. Mayoritas dari rakyat etnis Afrika-Amerika berdarah Afrika, Eropa dan Amerika Asli.
Amina Wadud berasal dari keluarga Katolik dengan nama kecil Mary Teasley dan merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Masa kecilnya dihabiskannya di Silver Spring Maryland. Ketika berumur 10 tahun keluarganya hijrah ke kota Washington DC ibu kota Negara Amerika Serikat. Umur 14 tahun, Wadud meninggalkan keluarganya dan umur 17 tahun, dia masuk Universitas Pennsylvania dengan beasiswa penuh dan meneruskan pendidikannya hingga mendapat gelar master dan Ph.D.
“Saya meninggalkan keluarga saya untuk tujuan pendidikan yang lebih baik, sehingga menempatkan saya dalam posisi yang lebih baik di perguruan tinggi dengan mendapat gelar master dan Ph.D, sementara saudara-saudara saya yang lain tidak pernah masuk perguruan tinggi,” pengakuan Amina Wadud.[1]
Sejak muda Wadud sudah tertarik pada ilmu-ilmu agama. Hidup sendiri tanpa keluarga telah membawanya mengenal banyak agama lain yang berbeda dari agama yang dianutnya semula. Dia menghayati iman secara berbeda dari keluarganya. Umur 18 tahun, dia mulai berlatih Buddhisme dan tinggal di sebuah ashram kecil. Kemudian dia mulai mempelajari Islam. Pada hari Thanksgiving 1972 dengan memakai rok panjang dan gaun sederhana dia pergi ke masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Amina Wadud masuk Islam dan merubah namanya dari Mary Teasley menjadi Amina Wadud. Sejak itu dia mulai berlatih ibadah Islam dengan mempelajari Alquran secara intensif dan memahami Alquran dengan bahasa aslinya.
“Saya tidak pernah kehilangan minat untuk mempelajari Alquran. Walaupun dimulai dengan Alquran yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris,”. kata Amina Wadud.[2]
Menurut pengakuan Amina Wadud, dia masuk Islam melalui proses pemikiran yang panjang. Ketika masuk perguruan tinggi dia mulai mengganti penampilannya, dengan menggunakan long dress dan rambutnya ditutup dengan tutup kepala ala Afrika. Ketika tampil dengan tutup kepala, dia dipahami oleh masyarakat muslim di lingkungannya sudah mengerti tentang Islam, lalu dia ditawarkan masuk Islam. Mereka mengatakan bahwa bila percaya bahwa Tuhan adalah Allah dan Muhammad Nabi-Nya (mengucapkan shahadah), maka sudah memeluk Islam.
Dalam suatu wawancara dengan Azzura Meninggolo 21 Januari 2013, Amina Wadud mengatakan bahwa dia tertarik dengan agama Islam, karena Islam memiliki relasi dengan hal-hal universal. Disamping itu, dalam Islam hubungan antara Tuhan dan keadilan lebih diartikulasikan. Dalam Islam ada kesetaraan baik ras maupun gender. Dia mengakui, makin dipelajarinya Islam, makin dipahaminya bahwa umat Islam tidak hidup seperti ajaran Islam, terutama mengenai kesetaraan dan keadilan. Hal ini mendorongnya untuk melakukan penelitian mengenai kedudukan perempuan dalam Alquran.[3]
Setelah menyelesaikan studi doktor (1988) dengan penelitian disertasi tentang kedudukan perempuan dalam Alquran, Amina Wadud memulai karir akademik sebagai professor di International Islamic University of Malaysia (IIUM), pada jurusan Islamic Revealed Knowledge and Heritage. Dia mengedit disertasinya dan mempublikasikan dengan judul “Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Buku ini digunakan oleh SIS (Sister in Islam) sebagai teks dasar bagi akademisi dan aktivis gender. Di beberapa universitas di Barat, buku ini digunakan untuk mata kuliah yang berhubungan dengan gender dan Islam serta Islam dan modernis. Buku ini meraih peringkat nomor satu dalam daftar buku best-seller dalam produk buku Al-Qalam, yaitu buku-buku produk terjemahan Alquran. Sekarang karyanya ini telah diterjemahkan dalam 12 bahasa termasuk bahasa Indonesia.
Amina Wadud meninggalkan Malaysia dan kembali ke Amerika menjadi professor di Virginia Commonwealth University (1992). Di universitas ini dia dipromosikan sebagai Associate Professor dan Full Professor. Amina Wadud pernah mengajar di Libia dan dia sering menjadi dosen tamu di berbagai universitas di berbagai negara termasuk di universitas Gajah Mada Yogyakarta. Dia sering diundang untuk menjadi pembicara pada konferensi regional dan internasional untuk materi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam Islam. Tahun 2007, Amina Wadud memenangkan “the Danish Democrazy Prize”.
Minat intelektual Wadud sudah terlihat sejak kecil. Sejak kecil dia suka membaca. Dia tidak begitu tertarik dengan cerita, tapi lebih tertarik oleh kata-kata yang bisa mengungkap gambaran pikiran dan makna. Dunia kata-kata, dunia makna melalui penamaan sangat digandrunginya.[4] Ketertarikannya pada dunia kata membangun minatnya untuk mempelajari bahasa Arab yang kemudian hari sangat diperlukannya dalam melakukan kajian kritis terhadap penafsiran Alquran. Wadud tertarik pada ilmu-ilmu agama, lalu mempelajarinya dan menghayati iman berbagai agama. Akhirnya, dia fokus dalam khasanah ilmu Islam. Fondasi intelektual Amina Wadud tidak hanya bersandar pada pengalaman ini. Pengalaman ini kemudian digantikan oleh bangunan intelektual baru yang didasarkannya pada pemikiran filsafat setelah melakukan studi agama dan filsafat di perguruan tinggi.
Latarbelakang Intelektual
Perhatiannya pada agama dan keadilan berakar dari keyakinan yang diwarisi dari ayahnya, pendeta metodis yang termarginalisasi secara rasial dalam konteks Amerika. Ayahnya selalu menekankan betapa pentingnya relevansi hubungan agama dan keadilan. Ayahnya pula yang menginspirasinya untuk mempelajari agama selain agama yang dianutnya. Suatu hari, ketika berumur 12 tahun, dia dibawa oleh ayahnya menghadiri suatu acara yang terkenal di Washington DC “Luther King March,s” di mana Pendeta Dr. ML. King menyampaikan pidatonya “I have a dream“, pidato mengenai religi dan keadilan yang pada waktu itu religi dan keadilan belum bisa dibicarakan secara terbuka. Pidato religi dan keadilan ini mempengaruhi pemikiran Wadud, sehingga perjuangan untuk keadilan menjadi sejarah panjang dalam hidupnya. Keadilan hanya bisa memiliki makna ketika diimplementasikan dalam konteks manusia nyata. Menurut Wadud jauh lebih mudah untuk mengartikulasikan keadilan sebagai ide abstrak daripada membawanya ke dalam praktek.[5]
Pemahaman tentang tafsir Alquran diperoleh Amina Wadud dari bacaannya pada kitab-kitab yang ditulis oleh Al-Zamakhsary, Sayyid Qutb dan Maududi[6]. Pemikir Islam kontemporer yang mempengaruhi nya adalah pemikir feminis Islam pendahulunya, seperti Leila Ahmed, Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Azizah al-Hibri dan lainnya. Disamping itu, dia juga mengutip beberapa pandangan dari pemikir Islam outsider, antara lain Kenneth Burtke.[7] . Dalam membahas masalah penciptaan manusia menurut Alquran, pandangan tentang alam gaib, dia mengikuti pendapat pendapat Kenneth Burke, bahwa hal supranatural tidak bisa dibicarakan dalam bahasa manusia, karena hal supranatural itu melebihi semua sistem simbol. Bicara tentang Tuhan hanya bisa bersifat analogis, kita tidak bisa membahas hal yang supranatural dengan bahasa manusia seperti yang digunakan untuk membahas hal-hal empiris.
Amina Wadud memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan secara konsisten. Ketika dia melihat dan mendengar bahwa kaum perempuan dalam masyarakat Islam mengalami diskriminasi dalam skala besar dan massif, Amina Wadud baik sebagai ilmuan maupun sebagai aktivis gender, mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam. Wadud menggunakan metode hermeneutika feminisme yang terbilang metode baru penafsiran Alquran, sebagai upaya pembebasan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan gender. Berangkat dari pandangan bahwa tafsir Alquran merupakan produk pemikiran yang bisa diubah, Wadud melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis.
Dalam mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir Alquran Wadud mendapat tantangan berat. Tafsir Alquran merupakan disiplin penting dalam ilmu keislaman yang sebagian besar umat Islam melihatnya sebagai hal sakral. Amina Wadud melakukan desakralisasi terhadap tafsir Alquran dan menggugat bias gender yang mewarnai tafsir klasik. Dalam pandangannya tafsir adalah pemikiran manusia yang dapat diubah sesuai perkembangan masyarakatnya.
Wadud dituding sebagai fundamentalis gender. Namun dia tetap konsisten memperjuangkan keadilan gender dengan menunjukkan bagaimana Alquran menjamin kesetaraan dan keadilan gender. Telah empat belas abad pemikiran Islam berkembang, tetapi gagasan baru tentang perempuan menurut Alquran nyaris tidak ada dalam pemikiran Islam.[12] Ketidakadilan terhadap perempuan dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sehingga suara suara yang mengecam ketimpangan gender dalam ajaran Islam hampir tidak terdengar. Menurut Wadud kekuasaan politik dan religi telah bersekongkol untuk memaksakan kebisuan pada perempuan. Bila sebelumnya, perempuan diam membisu di garis marginal, membiarkan laki-laki menafsirkan persoalan-persoalan perempuan, sekarang dan dimasa depan tidak akan terjadi lagi. “Pada sebagian kecil saya telah berkontribusi,” kata Amina Wadud dalam sebuah kuliah twitternya.[13]
Feminisme Wadud
Di dalam karya-karya yang ditulis oleh Amina Wadud, terlihat jelas bahwa teori feminisme sangat kuat mempengaruhi pemikirannya. Dari karya-karya dan aktivitasnya sebagai pejuang gender jelaslah bahwa pemikiran Wadud adalah pemikiran feminisme. Dalam Qur’an and Woman, paling jelas terlihat bahwa pemikiran Wadud mendapat pengaruh dari feminisme. Wadud menggunakan analisis gender untuk mengeritik dominasi laki-laki dalam tafsir Alquran.
Feminisme Wadud berfokus pada masalah eksistensi, hak-hak dan peran perempuan. Ini merupakan aliran feminisme liberal dan eksistensialis.Dengan perspektif ini, Wadud meninjau kembali eksistensi, hak dan peran perempuan dalam Alquran. Wadud berjuang untuk menghapus paham seksisme dalam Islam. Ketika dia menjadi imam shalat Jumat untuk menghapus seksisme, Wadud dapat pula diposisikan sebagai feminisme radikal. Jadi feminisme Wadud adalah feminisme liberal, eksistensialis dan radikal.Feminisme Wadud pada hakikatnya merupakan suatu afirmasi bahwa perempuan adalah manusia utuh. Maka itu, dia tampil secara agresif menolak wacana patriarkal.
Amina Wadud berusaha mengangkat eksistensi dan martabat perempuan dengan menolak bias gender dalam penafsiran klasik. Dia menolak tafsir klasik mengenai penciptaan perempuan yang disebutkan berasal dari tulang rusuk laki-laki. Ini berarti bahwa eksistensi perempuan tidak sempurna, tidak memiliki kemanusiaan yang utuh dan perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Menurut Wadud, Alquran tidak membedakan derajat laki-laki dan perempuan. Alquran menyatakan bahwa manusia secara sengaja diciptakan berpasangan, secara setara dan sederajat. Setiap individu memiliki nilai yang sama pada tahap eksisitensinya, baik pada tahap penciptaan, maupun pada tahap perkembangan didunia. Ada potensi yang sama untuk berubah, tumbuh dan berkembang dan semua aktivitas manusia diberi balasan berdasarkan apa yang diupayakannya.[14]
Pemikiran Wadud mengenai eksistensi perempuan jelas pengaruh dari teori feminisme eksistensialis seperti dalam pemikiran Simone De Beauvoir. Simone menolak pandangan bahwa eksistensi perempuan sebagai the other. Perempuan sebagai the other merupakan manusia tidak sempurna, disubordinasi oleh laki-laki. Relasi gender merupakan relasi kuasa, dimana laki-laki menguasai perempuan karena perempuan dipandang menjadi ancaman bagi laki-laki[15] . Simone telah mencari penjelasan bagaimana perempuan menjadi the other. Penjelasan ahli biologi, ahli psikoanalisis Freud dan ekonomi Marxis tidak memuaskan. Penjelasan biologis dan psikoanalisis memperlihatkan betapa sulitnya perempuan menjadi subjek karena fakta reproduksi yang melekat pada dirinya. Penjelasan ekonomi Marxis juga mengecewakan, karena pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan melahirkan masyarakat kelas. Laki-laki menjadi subjek, menguasai alat-alat produksi karena laki-laki bekerja di ruang publik dan perempuan sebagai pekerja domestik merupakan peran yang tidak menunjukkan diri sebagai subjek. Dalam paham Marxis laki-laki kelompok borjuis dan perempuan proletar. Menurut Simone De Beauvoir perempuan menjadi the other dalam masyarakat kapitalis tidak mungkin berubah bila kapitalis menjadi sosialis, karena akar yang lebih utama adalah faktor ontologis. [16] Simone De Beauvoir dalam bukunya the second sex (1972) telah memicu tuntutan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan perempuan.
Amina Wadud dalam kajiannya terhadap tafsir Alquran mengungkapkan bagaimana perempuan menjadi the other. Dalam Alquran dinyatakan bahwa eksistensi laki-laki dan perempuan secara ontologis adalah sama, yaitu sama-sama dijadikan Tuhan dari unsur yang satu. Pemikiran feminisme Wadud mengenai eksistensi perempuan berada dalam lingkup pemikiran feminisme eksistensialis.
Disamping mengungkapkan eksistensi perempuan, Amina Wadud memperjuangkan kesamaan hak dan kesetaraan gender dalam masyarakat Islam. Wadud mengeritik diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan dalam hukum keluarga (talak, poligami, waris dan saksi) dan menyingkap relasi gender yang tidak adil dalam hukum tersebut. Menurut Wadud, ketentuan dalam hukum keluarga ini menunjukkan ketidakadilan terhadap perempuan dan membenturkan hukum keluarga dengan hak-hak asasi perempuan. Ketentuan dalam hukum talak menunjukkan derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan dan relasi gender merupakan relasi kuasa, dimana laki-laki memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan talak dan berpoligami. Sehubungan dengan itu, Wadud menggagas untuk mereformasi hukum keluarga tersebut agar terwujud kesamaan hak dan kesetaraan gender dalam masyarakat Islam.[17]
Memahami kritik Wadud terhadap hukum keluarga, terlihat pengaruh feminisme liberal yang berusaha menghapus ketidakadilan gender melalui tuntutan untuk pemenuhan hak-hak perempuan. Mary Wollstonecraft, pemikir feminisme liberal mendorong agar perempuan berjuang untuk membebaskan diri dari peranan yang ditentukan berdasarkan gender dan mendorong perempuan agar mampu membuat keputusan yang bebas serta mampu mengembangkan diri.
Feminisme liberal berakar dari aliran pemikiran politik liberalisme. Prinsip dasar liberalisme adalah kebebasan individu, dimana setiap individu mendapat kesempatan yang sama dalam sistem pasar bebas, sehingga tidak diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengatur kesejahteraan masyarakat. Dewasa ini, pemikiran politik liberal berada dalam rekonseptualisasi yaitu berorientasi pada kesejahteraan dengan meletakkan prinsip keadilan sebagai prinsip utama. Dalam bidang ekonomi diperlukan kembali campur tangan pemerintah, karena sistem pasar bebas tidak menjamin kesejahteraan masyarakat. Individu masuk ke pasar bebas dengan berbagai kondisi awal. Ada kondisi yang menguntungkan dan ada yang tidak. Individu dengan posisi awal yang tidak menguntungkan masuk ke pasar bebas tidak mendapat bagian yang adil dari yang ditawarkan pasar.
Dalam proses rekonseptualisasi pemikiran liberalisme tersebut, menyulitkan kita dewasa ini untuk menentukan status pemikiran feminisme liberal. Namun pemikiran liberal kontemporer lebih cenderung kepada liberalisme yang berorientasi kesejahteraan dan menuntut kesetaraan kesempatan. Tujuan umum dari feminisme liberal adalah menciptakan masyarakat yang adil dan peduli, tempat kebebasan berkembang. Dalam masyarakat yang adil dan bebas, laki-laki dan perempuan dapat mengembangkan diri. Feminisme liberal menempatkan perempuan memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas yang merupakan sifat dasar manusia. Dengan dasar bahwa manusia adalah makhluk rasional, maka perempuan adalah makhluk rasional, memiliki kemampuan secara rasional. [18] Hal ini memperlihatkan sekalipun liberalisme sedang dalam proses rekonseptualisasi, tapi substansi pemikiran feminisme liberal tidak berubah, tetap terarah pada kebebasan dan keadilan bagi perempuan seperti yang dikemukakan Mary Wollstonecraft.
Ketika ketidakadilan tetap berlangsung dalam kehidupan perempuan, muncul aliran baru feminisme yang disebut sebagai feminisme radikal. Feminisme radikal menuntut penghapusan paham seksis atau sistem seks/gender dalam masyarakat. Dalam sistem ini ditanamkan paham bahwa perempuan harus tinggal di rumah (domestik), tidak perlu berpartisipasi dalam kehidupan sosial, karena perannya sebagai reproduksi dan kewajibannya merawat anak. Dalam pemikiran Kate Millet, seorang feminis Radikal, penindasan terhadap perempuan dan relasi gender berakar dari sistem seks/gender, yaitu dominasi terhadap seksualitas perempuan. Akibatnya, kehidupan di ruang publik dan domestik dikendalikan oleh laki-laki. [19] Untuk membebaskan perempuan dari penguasaan laki-laki, maka paham seksis harus dihapus. Feminisme radikal menuntut penghapusan paham seksis. Sampai pada masa feminisme postmodern, masalah ini masih terus dipersoalkan, karena paham ini telah membatasi peran perempuan. Wadud berupaya menghapus paham seksis dalam Islam melalui perjuangannya menjadi imam perempuan dalam ibadah shalat.
Perjuangan menjadi Imam Perempuan
Imam adalah ikutan bagi kaum muslimin. Al- Imam adalah seseorang yang diikuti oleh orang lain baik perkataannya maupun perbuatannya. Istilah imam digunakan untuk menyebut seseorang yang memimpin shalat berjamaah di antara para makmum.[20] Untuk menjadi imam shalat harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, diantaranya dapat membaca ayat dengan fasih dan mengucapkan huruf (lafaz) secara tepat.
Gebrakan Amina Wadud yang sangat terkenal adalah ketika Wadud menjadi imam dan khotib shalat Jumaat (18 Maret 2005) di sebuah gereja Anglikan, di Synod House, Manhattan, New York. Amina Wadud melaksanakan shalat Jumat di gereja tersebut setelah tiga mesjid menolak karena ada ancaman bom terhadap mereka. Shalat Jumat ini disponsori oleh “Muslim Women Freedom Tour” organisasi pemberdayaan perempuan pimpinan Asra Nomani. Shalat ini dikuti lebih kurang seratus jamaah laki-laki dan perempuan.[21]
Sebelumnya,Wadud menjadi khotib pada shalat Jumat di Mesjid Claremont Main Road di Cape Town, Afrika Selatan (1994). Dia diminta untuk menjadi khatib di mesjid itu dan Rashid Umar sebagai imam di mesjid itu memberi kesempatan kepada Wadud.[22] Sejak memberi khotbah di Cape Town, Wadud terus memikirkan kenapa hanya laki-laki yang boleh menjadi pemimpin ritual publik. Setelah sebelas tahun kemudian, Wadud melahirkan pemikiran bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi jamaah laki-laki dan perempuan. Dia menerima untuk menjadi imam dan khotib shalat Jumaat di New York (Maret 2005) yang semula akan digelar di sebuah galeri, tapi karena ada ancaman bom lalu pindah ke sebuah gereja. Shalat Jumat ini mendapat publikasi yang luas.[23]
Tindakan Wadud menjadi imam shalat melahirkan perdebatan dikalangan ulama Islam. Imam perempuan telah menjadi perdebatan kontemporer di bidang fiqih. Mayoritas ulama Islam menolak imam perempuan. Hal ini dipandang sebagai aksi yang menolak kemapanan dan mengganggu tertib kebenaran. Ulama Islam yang menolak imam perempuan, diantaranya Muhammad Sayyid Thantawi dan Grand Syaikh Al-Azhar dari Mesir. Beliau mengajukan keberatan perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki. Yusuf al-Qardhawi, anggota dari “Muslim Brothers”, menuding Wadud telah menyimpang dari tradisi Islam yang telah berjalan 14 abad. Ia menyatakan bahwa kedelapan, madzhab mengharamkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Sheik Yusuf al-Qardhawi mengatakan tindakan Amina melanggar ajaran Islam dan sesat.[24] Disamping itu, Majelis ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VII tahun 2005 mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya perempuan menjadi imam bagi laki-laki.
Disisi lain, perjuangan Wadud untuk kesetaraan gender melalui perjuangan menjadi imam shalat, di dukung oleh berbagai asosiasi Islam Amerika, terutama asosiasi “Muslim Wake-Up” dan “Muslim Women’s Freedom”. Ada pula beberapa intelektual Islam mendukung perjuangan Wadud ini. Khaled Abou el-Fadl, professor of Islamic Law and Jurisprudency UCLA School of Law, mengatakan bahwa tindakan Wadud menjadi imam shalat merupakan dukungan bagi sumber Islam dan paham ortodoks. Tindakan ini bersifat simbolik, bermakna positif atau negatif tergantung perspektif orang yang memahaminya.[25] Menurut K.H. Husein Muhammad dan Enggar Yuwono dari Indonesia, imam perempuan perlu diperkenalkan.[26] Musdah Mulia feminis Islam Indonesia mengatakan imam perempuan dihebohkan karena merupakan fenomena yang belum biasa.
Menilik beberapa hadis (Ibnu Majjah dan al-Baihaki) terdapat pandangan yang mengharamkan perempuan menjadi imam shalat, tapi ada pula hadis yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat seperti hadis HR Daud:
“Dari Ummu Waraqah binti Abdillah bin Harits berkata: Rasul saw pernah mendatangi rumahnya dan memberinya seorang muazin dan menyuruh Ummu Waraqah menjadi imam bagi penghuni rumahnya. Abdurrahman mengatakan: “aku benar-benar melihat muazinnya adalah seorang laki-laki tua”.[27]
Dengan landasan hadis HR Daud, perempuan boleh menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki yang telah dewasa. Untuk bisa menjadi imam, Ummi Warakah memiliki kapasitas sebagai imam, disamping bacaan ayat yang fasih, tidak menyalahi majrai dan dia hapal Alquran. Disamping HR. Daud, ada ulama yang berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki seperti Abu Tsaur al Muzanni dan ath-Thabarany.[28]
Penolakan terhadap imam perempuan menunjukkan adanya ketidakadilan berbasis gender mengenai hak hak dan peran perempuan. Perjuangan Wadud menjadi imam perempuan dapat dilihat sebagai upaya menegakkan hak-hak perempuan, menemukan aspek-aspek kesetaraan gender yang ditekankan Alquran dan melawan pemahaman ajaran Islam yang secara eksklusif didefinisikan oleh laki-laki.
Untuk menunjukkan bahwa Alquran tidak membedakan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan, Amina Wadud menggambarkan figur ideal seorang muslimah, yaitu perempuan yang memiliki prestasi dan kemandirian dalam bidang kehidupan. Amina Wadud mengangkat tokoh-tokoh perempuan yang disebut dalam Alquran, seperti Maryam, Ibu Musa dan Bilqis Ratu Seba. Alquran mengangkat tokoh-tokoh perempuan tersebut untuk menunjukkan bahwa perempuan menurut Alquran dapat menerima wahyu (Maryam dan Ibu Musa) dan perempuan bisa menjadi pemimpin seperti Bilqis Ratu Seba.[29] Musa diputuskan Allah untuk menjadi nabi, agar tidak dibunuh Firaun, maka Allah menurunkan wahyu kepada ibu Musa agar menjatuhkan bayinya, Musa, ke sungai dengan janji Allah bahwa bayi itu akan dikembalikan kepada ibunya. Dengan riwayat dari Alquran ini, maka perempuan dapat berperan sebagai nabi dan dapat menerima wahyu dari Tuhan. Demikian pula dengan Siti Maryam, satu-satunya perempuan yang tanpa proses biologis normal bisa mengandung dan melahirkan anak. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya seorang ibu (perempuan) bagi kehidupan manusia.
Menurut Amina Wadud, inti dari perjuangan menjadi imam perempuan menunjukkan bahwa pemimpin tidak hanya laki-laki, tapi perempuan juga punya hak untuk memimpin. Larangan perempuan menjadi pemimpin berakar dari tradisi yang menuntut ketaatan perempuan yang sering ditafsirkan dalam bentuk serba membatasi gerak perempuan dalam masyarakat. Ketaatan perempuan pada Allah diukur dari ketaatannya pada laki-laki (suami) dan individualitas seorang perempuan diukur dari posisinya sebagai pelengkap bagi laki-laki.[30] Seorang perempuan yang lebih independen dan berwawasan luas mungkin akan lebih baik dalam memimpin.
Ide Wadud menjadi imam dalam ibadah shalat memposisikan Wadud dalam aliran feminisme radikal. Amina Wadud mendobrak paham seksisme yang dalam teori feminisme radikal persoalan seksisme disimbolkan dengan pemisahan seksualitas dan sistem gender. Pemisahan ini merupakan akar dari penindasan terhadap perempuan dan menyuburkan sistem patriarki. Wadud berpandangan bahwa pemimpin di bidang ibadah shalat (imam shalat) didasarkan pada kualitas individu tidak hanya formalitas ritual belaka, untuk menunjukkan hegemoni laki-laki. Wadud menyarankan rekonstruksi pemikiran di bidang kepemimpinan, dimana perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki hegemoni dalam kepemimpinan di ranah ibadah. Perempuan dan laki-laki boleh hadir dalam ibadah shalat Jumaat baik sebagai jamaah maupun sebagai imam.[31]
Penghapusan seksisme dalam kepemimpinan shalat oleh Wadud menjadi langkah strategis agar seksisme dapat dihapuskan dalam bidang-bidang lain. Larangan perempuan menjadi pemimpin di bidang ibadah telah menjadi sandaran bagi kepemimpinan di bidang politik. Pembenaran mengenai imam perempuan didasarkan Amina Wadud pada teologi Tauhid. Menurut Amina Wadud, sebelum keyakinan satu Tuhan (agama monoteisme) semua manusia adalah sama dan melakukan hubungan antara satu dengan yang lainnya, tidak ada perbedaan fungsi karena perbedaaan gender, kecuali fungsi biologis reproduksi. Semua fungsi bisa dijalankan oleh laki-laki dan perempuan, mulai dari penitipan anak hingga menjadi pemimpin. Menurut Amina Wadud, tidak ada hukum Islam yang melarang perempuan menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki dan perempuan. Larangan ini dikembangkan tanpa ada landasan yang jelas. Juga tidak ada satu ayatpun dalam Alquran yang menentukan hanya laki-laki saja yang boleh menjadi pemimpin. Hadis juga tidak ada yang melarang perempuan memimpin shalat atau menetapkan hanya laki-laki saja yang boleh memimpin shalat.[32]
Perjuangan menjadi imam perempuan seperti diuraikan di atas motivasinya jelas yaitu mewujudkan kesetaraan gender dalam bidang kepemimpinan. Hal ini menunjukkan bahwa paham feminisme radikal sangat kuat mempengaruhi Amina Wadud yang termotivasi untuk menghapuskan paham seksis dalam kepemimpinan Islam. Menjadi imam perempuan merupakan realisasi dari ide kesetaraan dan keadilan gender dan dapat dilihat sebagai jihad gender, yaitu perjuangan untuk mewujudkan keadilan gender dalam praktek.
Sesungguhnya belum ada argumentasi yang kuat tentang imam perempuan. Ketika saya meminta penjelasan Wadud mengenai hal ini, dia hanya mengatakan, argumentasi imam perempuan sedang ditulis. [33] Menurut saya, ide imam perempuan dalam ibadah shalat ini patut diapresiasi. Ide kesetaraan gender harus ditunjukkan dalam praktek untuk menyampaikan pesan bahwa perempuan harus bertindak untuk merepresentasikan ruang-ruang simbolik dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Imam perempuan merupakan representasi ketaatan beribadah sekaligus kemampuan berpartisipasi bagi perempuan. Perempuan juga berkepentingan dalam praktek ritual dalam Islam. Kepemimpinan dalam ibadah shalat telah dijadikan sandaran bagi kepemimpinan di bidang politik, maka sandaran ini harus didobrak.
[1] Wawancara online dengan Amina Wadud tanggal 28 Maret 2014
[2] Ibid.
[3] www.reset dog.org/story/000000/22177
[4] Amina Wadud, Inside the Gender Jihad, hal. 262
[5] Ibid hal. 87
[6] Al-Zamakhsary (487H-538 H), Muffasir klasik dengan kitab tafsirnya al-Kasysyaf. Maududi (1908) dan Sayyid Qutb ( 1906) muffasir zaman modern
[7] Amina Wadud, Qur’an and Woman, hal 15
[8] http://saintofreligion.blogspot.com/2011/04/hermeneutika-al-quran-fazlur-rahman.html
[9] Ibid hal. 10.
[10] http:www.sisterinislam.org.my.
[11] Amina Wadud, Inside the Gender Jihad, hal. 57.
[12] Amina Wadud, Quran and Woman, hal. ix
[13] Kuliah twitter Amina Wadud tanggal 1 April 2014#islamisourtoo.
[14] Amina Wadud, Qur’an and Woman, hal. 50
[15] Gadis Arivia, Filsafat berperspektif feminis hal.262.
[16] Ibid, hal. 266
[17] Amina Wadud, Qur’an and Woman, hal. 79-86
[18] Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, hal.17-18.
[19] Ibid, hal. 77.
[20] Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta : Djambatan,1992) hal. 420
[21] http://www.fimadani.com/amina-wadud-seorang-janda-yang-nekat-jadi-imam-jumat
[22] Amina Wadud, Inside the gender Jihad, hal. 162
[23] Wawancara online dengan Amina Wadud ( 28 Maret 2014
[24] http://www.fimadani.com/amina-wadud-seorang-janda-yang-nekat-jadi-imam-jumat/
[25]Amina Wadud, Inside The Gender Jihad, foreword
[26] Majalah Gatra 9 April 2005, hal. 34)
[27] Musdah Mulia, Kemuliaan perempuan dalam Islam, hal. 23.
[28] Ibid hal. 34.
[29] Amina Wadud, Quran and Woman, hal. 40.
[30] Ibid hal.73.
[31] Amina Wadud, Inside the gender Jihad,hal.186.
[32] Wawancara on line dengan Amina Wadud ( 28 Maret 2014).
[33] Ibid