Feminisme dalam Islam

       Ketimpangan  gender merupakan salah satu persoalan keagamaan yang masih dihadapi masyarakat Islam hingga kini. Sekalipun teknologi demikian maju yang telah mengubah cara berpikir dan cara hidup manusia, kesetaraan dan keadilan gender belum disadari pentingnya dalam kehidupan sosial.  Disatu pihak, posisi gender perempuan lemah dan inferior, sementara gender laki-laki   kuat dan superior. Hal ini jelas tergambar secara empiris dari  perilaku masyarakat dan  kitab-kitab keislaman seperti kitab-kitab tafsir Alquran, kitab fiqih dan lainnya.

Anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki bersumber dari tafsir Alquran. Penafsiran Alquran pada 14 abad yang lalu (tafsir klasik) yang telah dikodifikasi menjadi hukum Islam atau fiqih   melahirkan pandangan bahwa kedudukan perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tafsir, seperti dalam tafsir Jami’ul Bayan fi Tafsiri Qur’an karya at-Thabari, tafsir Ibnu Katsir karya Syekh Ibnu Katsir dan kitab-kitab tafsir lainnya. Posisi  perempuan dalam kitab-kitab ini diwarnai oleh cerita mitologi yang hidup dalam masyarakat, seperti mitos turunnya Adam dan Hawa, perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki.  

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir ditemukan pandangan yang menggambarkan perempuan sebagai manusia yang tidak utuh, diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Pandangan ini bersumber dari penafsiran ayat mengenai penciptaan manusia, Qs.Annisa/4:1 yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir sebagai berikut:   

Allah berfirman memerintahkan makhluknya untuk bertaqwa kepada-Nya. Yaitu beribadah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu baginya serta menyadarkan mereka tentang kekuasaan-Nya yang telah menciptakan mereka dari satu jiwa, yaitu Adam. Dan daripadanya Allah menciptakan isterinya yaitu Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam bagian kiri dari belakang (Ibnu Katsir ) [1]

Beberapa produk penafsiran Alquran termuat pemahaman bahwa perempuan adalah anggota masyarakat kelas dua dan eksistensi perempuan dipandang sebagai pelengkap bagi laki-laki. Oleh karena itu, ketidakadilan gender dalam masyarakat merupakan realitas yang kasat mata. Hal ini masih terjadi di berbagai belahan dunia.

Keadilan adalah prinsip kehidupan yang harus dipenuhi. Segala bentuk ketidakadilan harus dikritisi. Dalam fiqih perempuan terdapat pandangan bahwa kedudukan perempuan tidak sederajat dengan laki-laki.  Perempuan  tidak boleh memimpin, perempuan boleh dipoligami. Waris untuk anak perempuan setengah dari anak laki-laki dan kesaksian seorang  perempuan tidak sama nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki.

Ayat  yang selalu dijadikan dalil tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan  adalah ayat Qs.Annisa/ 4:34 yang ditafsirkan  Ibnu Katsir sebagai berikut :

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Yaitu laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan dalam arti pemimpin, kepala, hakim dan pendidik perempuan. Hal ini karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain (perempuan). Laki-laki lebih utama dari perempuan dan laki-laki lebih baik dari perempuan. Karena itu, kenabian dikhususkan untuk laki-laki, begitu juga raja (Presiden).  [2]

Ayat yang dijadikan dasar untuk  memperbolehkan poligami  adalah ayat Qs. 4/Annisa : 3  yang diterjemahkan sebagai berikut:

Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan (yatim) bila kamu mengawininya, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya .  [3]

Ayat Alquran yang dijadikan dasar terhadap pembagian waris  adalah Qs. 4/Annisa :11 yang  ditafsirkan oleh Ibnu Katsir sebagai berikut :

Allah memerintahkan kalian untuk berbuat adil. Karena dahulu orang-orang jahiliyah memberikan seluruh harta warisan hanya pada anak laki-laki tidak untuk perempuan. Maka Allah memerintahkan kesamaan diantara mereka mengenai hukum waris dan membedakan bagian keduanya, dimana bagian laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Alasannya adalah laki-laki membutuhkan pemenuhan tanggungjawab nafkah, kebutuhan, serta beban perdagangan, usaha dan resiko tanggungjawab, maka sesuai sekali jika ia diberikan dua kali lipat daripada yang diberikan pada perempuan.  [4] 

 Ayat Alquran yang dijadikan dasar terhadap pembagian waris  adalah Qs. 2 :262 yang  ditafsirkan oleh Ibnu Katsir sebagai berikut :

Jika tidak ada dua orang laki-laki untuk menjadi saksi, boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Hal ini hanya berlaku pada perkara yag menyangkut harta dan segala yang diperhitungkan sebagai kekayaan. Ditempatkannya dua orang perempuan menduduki kedudukan seorang laki-laki karena kurangnya akal perempuan, jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkan. [5]

Memahami tafsir ayat-ayat gender di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat -ayat tersebut telah ditafsirkan berdasarkan nilai-nilai suprioritas laki-laki atas perempuan. Pembakuan  pemaknaan tafsir Alquran  merupakan manifesto pemahaman agama yang mengusung ketunggalan, baik dalam bentuk penafsiran tunggal, pemahaman tunggal, kebenaran tunggal, Islam tunggal, dan ketungalan-ketunggalan lain dalam beragama. Akibatnya, tafsir-tafsir klasik  hadir di abad 21 ini  dalam bentuknya yang beku dan miskin aplikasi,terutama penafsiran tentang perempuan.  Untuk memecah kebekuan dan kemiskinan dalam aplikasi tafsir, dan agar sesuai dengan realitas zaman, perlu pendekatan  feminisme dalam penafsiran ayat-ayat Alquran.  

Sejak akhir abad 20 ketidakadilan gender dalam Islam  mulai menjadi isu yang ramai diperbincangkan mengiringi pembaharuan pemikiran dalam Islam. Pembaharu Islam seperti Hassan Hanafi dan Mohammad Arkoun berpandangan bahwa ada sisi sisi gelap pemahaman umat terhadap ajaran agama. Aspek  sosial pengalaman beragama sangat dipengaruhi oleh mitos dan tradisi yang berkembang dengan keyakinan yang menebal.Mitos dan tradisi membentuk wellstaanhaung atau pandangan dunia.

Ketika keadilan gender telah menjadi pembicaraan global, para tokoh intelektual Islam yang terlibat dalam wacana ilmu-ilmu keislaman mulai mengkaji  persoalan  gender dalam Islam. Posisi perempuan menurut  Alquran mulai diteliti. Ditemukan pemahaman bahwa  penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran (tafsir Alquran)  memposisikan perempuan di pihak yang dirugikan.

Alquran bukan buku ilmiah yang menyajikan formula eksak melainkan mengandung ungkapan-ungkapan simbolik-metaforis dan berbagai kiasan sehingga memerlukan penafsiran. Alquran diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan dimanapun. Alquran membuka celah bagi penafsiran, dan memerintahkan untuk memahami secara mendalam ayat-ayat nya dan mengecam mereka yang sekedar mengikuti pendapat dan tradisi lama tanpa suatu dasar.

Alquran hadir kepada manusia sebagai teks. Maka itu, Alquran merupakan produk otonom yang hadir dalam konteks kehidupan  manusia, bukan hadir dalam ruang hampa. Agar umat Islam dapat mengambil pelajaran dari pemaknaan ayat-ayat Alquran, maka tekstualitas ayat-ayat Alquran membutuhkan penafsiran kontekstual dan ayat-ayat yang mengisahkan peristiwa tertentu memerlukan pemahaman maknawiyah universal. Oleh karena itu seseorang tidak boleh dihalangi untuk menafsirkan Alquran. Pandangan yang diajukan harus ditampung walau berbeda. Ini merupakan konsekwensi logis dari Alquran ( Shihab, 2001).

Tafsir didefinisikan sebagai  penjelasan tentang maksud firma-firman Allah sesuai kemampuan manusia. Kemampuan manusia bertingkat-tingkat, sehingga apa yang dicerna oleh seorang penafsir  Alquran bertingkat-tingkat pula. Kecendrungan manusia juga berbeda beda, sehingga apa yang disampaikan dari pesan-pesan Illahi dapat berbeda beda antara satu dengan lainnya. [6]  

 Memahami hal di atas, dapat dikatakan bahwa penafsiran Alquran adalah konstruksi sosial. Sebagai konstruksi sosial produk tafsir bisa dikritik bahkan bisa didekonstruksi dan ayat-ayat Alquran bisa ditafsir ulang jika tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Penafsiran Alquran sebagai produk pemikiran akan mengalami pluralitas, bersifat relatif, intersubjektif dan tentatif.

Penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Alquran dimungkinkan, karena ajaran Islam terbagi dalam dua kategori : Ajaran dasar dan non dasar. Ajaran dasar Islam adalah yang termaktub dalam kitab Suci Alquran dan hadis Mutawatir. Teks teks suci dalam Alquran bersifat abadi, tidak boleh diubah dengan alasan apapun. Sedangkan ajaran non dasar diambil dari hasil ijtihad para ulama sejak Nabi Muhammad masih hidup hingga sekarang. Ajaran non dasar ditemukan dalam kitab-kitab fiqih, kitab tafsir dan kitab kitab lainya. [7]

Cukup banyak pandangan dari para  pemikir Islam kontemporer bahwa ayat-ayat gender dalam Alquran merugikan perempuan. Beberapa produk tafsir klasik merupakan tafsir bias gender. Tafsir bias gender merugikan perempuan. Hal ini dapat disimak dari pemikiran Nasr Abu Zahid. Pemikir Islam asal Mesir ini  dalam bukunya Dawair al-Khouf : Qiraah Fi Kitab Al Mar’ah yang diterjemahkan oleh Moch. Nur Ihwan dan Moch Syamsul Hadi dengan judul Dekonstruksi Wacana Perempuan Dalam Islam, mengatakan secara tegas bahwa dalam masyarakat Islam ada penindasan laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai media dan bentuk. Penindasan itu merefleksikan ketakutan laki-laki yang kemudian membuatnya berupaya menakuti-nakuti perempuan dan meminggirkannya. Perempuan dibuat menderita, agar laki-laki menguasainya.

Di hadapan perubahan–perubahan sosial dewasa ini, tafsir bias gender  tetap menjadi  referensi keagamaan yang paling absah dan sakral. Bias gender dalam penafsiran Alquran mulai digugat. Gugatan tersebut dapat disimak dari pemikiran para intelektual Islam seperti, Amina Wadud, Riffat Hassan, Aysha Hidayatullah , Kecia Ali dan lainnya. Gugatan ini juga dapat dilihat dalam pemikiran tokoh-tokoh intelektual Islam Indonesia, seperti Siti Musdah Mulia, Nasaruddin Umar, Husein Muhammad dan lainnya. Dalam pandangan para intelektual Islam ini bias gender dalam penafsiran Alquran menjadi salah satu sebab ketidakadilan gender dalam masyarakat . Karena itu  ada tokoh-tokoh yang telah membongkar penafsiran klasik dan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat gender dalam Alquran.

 Penafsiran bias gender melahirkan ketidakadilan gender. Tafsir bias gender dimodifikasi menjadi fiqih (hukum Islam), sehingga lahir fiqih yang diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Dalam fiqih yang tidak adil dan diskriminiatif perempuan terbelenggu dalam dilema : bila taat fiqih  berarti pembiaran terhadap dehumanisasi perempuan. Tapi bila meninggalkan fiqih akan dikafirkan. Diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan merupakan harga kemanusiaan yang tertimbun dalam formasi teoritis penafsiran Alquran.

Perempuan terbelenggu dengan keadaan ini ?. Perlu dicari jalan pembebasan. Perspektif baru yang kritis terhadap pemahaman ayat-ayat Alquran suatu keniscayaan. Ketidakadilan gender harus dibongkar, tidak lagi dibiarkan berlindung dibalik pesan pesan  agama dan terus menggejala dalam kehidupan sosial. Jalan pembebasan ini telah dirintis oleh tokoh-tokoh inteletual feminis Islam diantaranya Amina Wadud, Siti Musdah Mulia, Aysha Hidayatullah, dan Kecia Ali. Mereka berpandangan bahwa munculnya bias gender dalam penafsiran Alquran adalah problem metodologis, dimana metode penafsiran klasik melahirkan pandangan  yang mengakibatkan perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan  ketidakadilan. Tokoh-tokoh di atas masing-masing merekonstruksi metodologi tafsir Alquran berbasis feminis agar dapat menghasilkan  tafsir Alquran berkeadilan gender.

Tokoh intelektual feminis Islam telah memproduk tafsir feminis penafsiran ayat-ayat Alquran ber mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir Alquran. Hal ini terlihat dari karya- karyanya.   Amina Wadud melalui Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Siti Musdah Mulia melalui Indahnya Islam menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender.   Aysha A. Hidayatullah melalui feminist Edges of the Qur’an) dan Kecia Ali melalui Sexual Ethics & Islam: Feminist Reflections on Qur’an , Hadith and Jurisprudence. Pemikiran yang termuat dalam karya-karya tersebut  merupakan suara feminisme dalam konteks Islam dan suara itu berdengung keras.


[1] Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir jilid 2, terj. Amdul Ghofar EM ( 2008 )    hal. 290

[2] Ibid

[3] Terjemahan Alquran Departemen Agama RI (1971)

[4] Aki Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir jilid 2, hal. 311

[5] Ibid

[6] Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah, Pesan,Kesan Dan Keserasian Alquran  ( 2001).  

[7] Musdah Mulia, Muslimah Sejati : Menempuh jalan Islam meraih Ridha Allah (2011)