Female dehumanization
Tidak dapat disangkal bahwa masih banyak pihak yang menolak ide kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam. Banyak yang meragukan perlunya ide ini dalam Islam. Ketika ide kesetaraan dan keadilan gender dibawa masuk secara ilmiah ke dalam tafsir Alquran, melalui hermeneutika feminisme banyak pihak yang gusar. Sebagiannya khawatir, ideologi gender yang berintikan kebebasan berpikir dan berpendapat, akan menjadikan perempuan mandiri tidak tergantung pada laki-laki. Ketidak tergantungan perempuan pada laki-laki dapat mengarah pada menghalalkan hubungan seksual sejenis Disamping itu, mereka takut kebebasan perempuan dapat merusak tatanan alam. Dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, fungsi kodrati perempuan seperti mengandung anak dapat diambil alih oleh teknologi. Peran kodrati perempuan dapat diserahkan pada tabung-tabung di laboratorium.
Kekhawatiran di atas, membuat banyak perempuan yang belum tercerahkan ikut menolak ide ini. Kebanyakan muslimah di Indonesia menerima ajaran agama terkait perempuan secara take for granted dan berdiri dipinggir, “menonton” ketika intelektual dan aktivis gender dari berbagai penjuru berjuang untuk membawa ide kesetaraan dan keadilan gender dalam hidup keberagamaan. Bila muncul keinginan untuk bicara masalah gender, muncul ketakutan karena membicarakan isu-isu gender dalam kehidupan keberagamaan merupakan hal sensitif dan berbicara di bidang ini perlu legitimasi dan otoritas.
Saat ini, masih banyak terjadi female dehumanization di berbagai belahan dunia, seperti peristiwa penembakan terhadap Malala Yousafzai, gadis usia 14 tahun pada 9 Oktober 2012 di Pakistan. Karena kegigihan Malala untuk memperjuangkan pendidikan untuk anak perempuan di Lembah Swat Pakistan, dia ditembak oleh Taliban, kelompok garis keras Islam di Pakistan yang melarang anak perempuan mendapat pendidikan. Peristiwa Malala adalah salah satu dari ribuan peristiwa yang dialami anak perempuan di dunia dan masih banyak bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam keluarga, dalam interaksi sosial dan ketergantungan ekonomi.
Menggunakan hermeneutika feminisme sebagai penafsiran Alquran akan menghasilkan tafsir feminis yang dapat mengubah realitas negatif menjadi positif dan juga membuka selubung makna bahwa Alquran menonjolkan keadilan, cinta pada sesama dan mengafirmasi relasi gender sebagai relasi yang adil. Hermeneutika feminisme dapat mengangkat persoalan gender yang selama ini terpinggirkan dalam pemikiran Islam. Disisi lain, hermeneutika feminisme kiranya dapat membuka kesadaran perempuan dan melakukan transendensi menjadi manusia bebas, rasional, otonom dan menjadi diri sendiri, bukan hanya sebagai pelengkap.
Kehadiran hermeneutika feminisme ikut memperkaya hermeneutika bagi Alquran dan dapat dilihat sebagai instrumen metodologis yang memadai untuk merasionalkan ajaran-ajaran agama terkait perempuan. Hermeneutika feminisme dapat menguak berbagai ilmu pengetahuan dalam Alquran yang belum tergali padahal sangat berguna bagi kehidupan, terutama masalah keadilan gender. Masa depan dunia harus dimainkan dengan adil.
Dengan hermeneutika feminisme dapat diungkap bahwa perempuan adalah mahkluk penting dan spesifik. Perempuan pembawa kantong kehidupan (rahim), memiliki sumber kehidupan (payudara) dan semua anak manusia adalah anak dari seorang perempuan (ibu) dan pernah hidup dalam rahim perempuan. Karena itu, perempuan harus punya bahu yang kuat dan otak yang cerdas untuk melindungi dan membela kehidupan ini. Perempuan harus diberi martabat yang tinggi.
Dengan mengaplikasikan hermeneutika feminisme, dapat diproduksi tafsir feminis yang akan berinvestasi pada generasi yang lebih muda, sehingga tidak lagi mengembangkan sikap yang meminggirkan perempuan, tetapi membangun sikap yang adil gender.