DRAMA KITHAAB

Sebuah drama berjudul Kithaab, diproduksi oleh Rafeeq Mangalassery’s dari India. Drama ini menceritakan bahwa seorang gadis dalam keluarga Muslim ingin menjadi muazin, menyerukan azan seperti ayahnya.
Drama ini diawali dengan cerita tentang ketidakadilan gender dalam pengasuhan anak di rumah tangga sebuah keluarga Muslim. Anak perempuan tidak diberi cukup makanan di rumah, karena makanan yang dimasak hanya untuk para laki laki di rumah itu. Lalu si gadis mencuri ikan goreng yang dimasak ibunya dan mengatakan bahwa hal itu tidak salah secara moral karena Tuhan akan mengerti bahwa anak perempuan tidak diberi cukup makanan. Ayahnya mencela si gadis dan mengatakan bahwa anak perempuan seharusnya mendapatkan hanya setengah dari semua yang dimiliki laki laki. Gadis itu langsung bertanya :
“ Mengapa perempuan didiskriminasi ?”.
Diceritakan pula dalam drama ini bahwa ayah gadis itu melarang anaknya menyanyi dan menari. Ayahnya sering mengurung gadis ini dirumah sehingga tidak bisa tampil dalam kegiatan berkesenian. Ayahnya mengatakan bahwa gadis tidak akan mencapai surga jika terus melakukan hal-hal seperti itu.
“Jika saya kehilangan masuk surga karena saya bernyanyi dan menari, maka saya tidak menginginkan surga itu,” jawab si gadis.
Sang ayah marah dan mengancam membunuh gadis itu. Ketika ibu gadis itu mengingatkan suaminya, bahwa dia bukan hanya seorang muazin, tapi juga seorang ayah, maka marah sang ayah reda.
Ketika gadis itu menyampaikan keinginannya untuk menjadi muazin, menyerukan azan seperti ayahnya. Sang ayah kembali marah.
“ Kenapa perempuan tidak boleh menyerukan azan “, gadis itu mempertanyakan.
Gadis itu juga mempertanyakan kenapa perempuan dipandang rendah dari laki-laki, tidak boleh memimpin, harus rela dipoligami hingga empat isteri dan pertanyaan lainnya. Ayahnya menjawab pertanyaan itu dengan merujuk ke sebuah buku besar (Kithab). Namun terjadi dialog dengan isterinya. Akhirnya sang ayah mengizinkannya menyerukan azan. Drama berakhir dengan gadis itu menyerukan azan.
Dalam pembacaan hermeneutika Feminisme, drama tersebut membahas ketidakadilan gender dalam konteks Islam. Dalam masyarakat Islam ortodoks, masih kuat anggapan bahwa derajat perempuan lebih rendah dari laki-laki. Eksistensi perempuan dipandang sebagai pelengkap. Oleh karena itu, perempuan mengalami berbagai diskriminasi dan tindak kekerasan dalam berbagai dimensi.
Ada kesamaan pandangan dari para intelektual Muslim yang mengkaji masalah gender dalam Islam, bahwa ada bias gender dalam penafsiran ayat ayat gender (ayat ayat terkait perempuan) dalam Alquran. Bias gender dalam penafsiran itu disebabkan oleh masalah metodologis. Metode penafsiran klasik adalah metode tekstual, yang sifatnya spekulatif, sepotong -sepotong dan tidak utuh. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru dalam menafsirkan teks-teks agama. Hermeneutika feminisme merupakan suatu pendekatan baru yang sedang berkembang sebagai metode penafsiran teks berperspektif feminis (perempuan). Pendekatan dengan hermenutika feminisme menghasilkan tafsir yang relevan dengan adab masa kini.
Muncul tokoh tokoh Feminis Islam, seperti Amina Wadud, Siti Musdah Mulia, Asma Barlas dan lainnya menawarkan metode hermeneutika Feminisme sebagai metode alternatif penafsiran Alquran. Dengan metode hermeneutika Feminisme, para tokoh ini telah menafsirkan ayat-ayat gender dalam Alquran dan menghasil tafsir feminis , yaitu tafsir yang berkeadilan gender.
Sayang, Hermenutika Feminisme hingga kini belum dilirik oleh pihak yang mengangkat masalah agama. Bahkan ada yang menolak hermeneutika sebagai metode alternatif penafsiran Akquran. Dan juga ada yang menolak Feminisme. Padahal Feminisme merupakan kesadaran adanya ketidakadilan yang menimpa perempuan dan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Hadirnya ideologi gender membuat pihak-pihak tertentu gusar, karena ideologi ini berintikan kebebasan berpikir dan berpendapat dan membuat perempuan bisa mandiri tidak tergantung pada orang lain. Tentu saja hal ini tidak bisa diterima oleh mereka yang masih terkungkung dalam peradaban partriarki yang kental.
Saat ini masih banyak female dehumanition ( tindakan tidak manusiawi terhadap perempuan) di berbagai belahan dunia. Seperti penembakan terhadap Malala Yousafzai, gadis 14 tahun pada 9 Oktober 2012 di Pakistan. Karena kegigihan Malala untuk memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuan di Lembah Swat Pakistan, dia ditembak oleh Taliban, kelompok Islam garis keras di Pakistan yang melarang anak perempuan untuk mendapat pendidikan. Peristiwa Malala adalah salah satu ribuan peristiwa yang dialami anak perempuan di dunia dan masih banyak lagi bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Sangat disayang pula drama Kithaab yang membahas ketidakadilan gender dalam konteks Islam, dihentikan oleh ortodoksi politik-agama dan kaum konservatif yang mengangkat masalah agama. Padahal, diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai bentuk masih berlangsung di keluarga Muslim tradisional hingga kini. Diskriminasi terhadap anak perempuan, seperti dalam penyediaan makanan, pendidikan yang buruk, praktik poligami dan perkawinan dini jelas sangat menyengsarakan perempuan.