BERKENALAN DENGAN DENGAN PEDAGOGI FEMINISME
Tulisan ini tentang pedagogi feminisme yang penulisannya dilatar belakangi oleh pengalaman penulis sebagai tenaga ahli anggota DPRRI komisi 8. Salah satu tugas komisi ini adalah bidang pemberdayaan perempuan yang berkenaan dengan legislasi, budgeting dan monitoring. Ketika komisi 8 DPR-RI masa bakti 2009-2014, menginisiasi RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender, sebagai pemenuhan tugas legislasi, muncul perdebatan bahkan penolakan terhadap RUU tersebut. Penolakan RUU ini merupakan penolakan terhadap feminisme yang diwarnai oleh argumentasi agama yang cukup mendominasi. Ada kecurigaan, bahwa bila feminisme masuk ke ranah undang-undang akan merusak sendi-sendi agama Islam. Draft Rencana Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan gender (RUU KKG) mulai diproses tahun 2010, ketika draft ini disosialisasikan terdapat penolakan dari masyarakat, hingga saat ini belum ada keputusan untuk menjadikan draft RUU tersebut sebagai RUU inisiatif DPR-RI. Penolakan terhadp feminisme masih saja berlangsung, sehingga terlihat urgensinya memperkenalkan pegagogi feminisme.
Secara kelembagaan feminisme sudah mapan di negeri ini. Sudah tiga dekade feminisme bermukim, telah menjadi ajaran teoritis di kampus dan bahan advokasi hak asasi manusia. Sebagai isu akademis, feminisme telah menjelajahi ruang kelas universitas, dibahas dalam forum diskusi masyarakat sipil, di jurnal-jurnal dan rubrik-rubrik khusus media massa. Ditataran negara ada kementrian yang dibentuk untuk menjalankan kebijakan feminisme dan ada komisi nasional yang dibentuk khusus untuk memantau perlindungan hak asasi manusia pada perempuan. Namun ketika kesetaraan dan kedilan gender yang merupakan ide utama feminisme dibawa ke ruang legislasi ternyata masih banyak yang menolak. Sehubungan dengan itu terlihat pentingnya pendidikan berbasis feminisme. Terlihat pentingnya praktek pendidikan yang meletakkan feminisme dalam pusat dinamikanya. Salah satu peralatan pendidikan tersebut adalah pedagogi.
Pedagogi atau ilmu mengajar yang memposisikan feminisme sebagai pusat dinamika disebut pedagogi feminisme. Pedagogi feminisme menolak pedagogi manstream yang bersifat patriarki, karena menghasilkan hirarki sosial dan dimensi ideologis dan politis. Bahkan pedagogi mainstream ini sering melahirkan dominasi dan penindasan, khususnya penindasan berdasarkan gender. Mengenai hal ini Rocky Gerung menulis dalam Jurnal Perempuan nomor 90 vol.21/2016 sebagai berikut :
Pedagogi feminis tumbuh dari kesadaran bahwa sejarah pengetahuan telah ditulis dengan pendekatan apolitis dan ahistoris. Tentu karena asumsi konvensional bahwa sejarah pemikiran harus linier, rasional, universal, progressif dan tak terpengaruh gender (McAlister 1996,hal.xii). Karena itu suatu “pedagogi feminis” sekaligus berarti pembongkaran terhadap sejarah pengetahuan dan upaya penulisan ulang sejarah filsafat. Pengabaian atau bahkan penghapusan jejak pemikiran perempuan dalam sejarah filsafat harus dipandang sebagai skandal akademis yang memperkokoh institusi patriarki. Reproduksi peralatan berpikir patriarki itulah yang hendak dihentikan oleh pedagogi feminis.
Pedagogi pada umumnya dipahami sebagai ilmu atau seni dalam mengajar. Pedagogi juga kadang-kadang merujuk pada penggunaan yang tepat dari strategi mengajar. Filosofi mengajar dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan dan pengalaman, situasi pribadi, lingkungan, serta tujuan pembelajaran yang dirumuskan oleh peserta didik dan guru. Tujuan pedagogik adalah memanusiakan manusia, menjadikan seseorang dewasa dan bahagia dalam menjalani kehidupan dan dapat turut memuliakan kehidupan. Komponen utama pedagogi adalah kurikulum,pengetahuan dan substansi yang diajarkan, teknik pemberian materi dan praktek-praktek evaluasi.
Pedagogi feminisme mengacu kepada filsafat dan teori feminisme dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Istilah ini merujuk pada strategi pembelajaran atau gaya pembelajaran.Pedagogi feminisme merujuk pada rangkaian praktek belajar mengajar yang terkait erat dengan metodologi feminisme, serta dilandasi oleh perspektif dan prinsip-prinsip feminisme. Menurut Crabtree, Sapp & Licona, dalam Feminist Pedagogy : Looking Back to Move Forward ( 2009) pedagogi feminisme merupakan ideologi belajar mengajar sekaligus merupakan kerangka kerja untuk mengembangkkan strategi-strategi dan metode-metode tertentu dalam proses belajar mengajar dalam rangka memenuhi tujuan tertentu dalam kerangka perubahan sosial.
Pedagogi feminisme berbeda dengan pedagogi mainstream yang pada dasarnya bersifat patriarkhi. Pedagogi feminisme menolak hegemoni praktek pendidikan yang menghasilkan dominasi. Bila pedagogi mainstream bertumpu pada kurikulum tetap, model pengajaran seragam dan praktek evaluasi yang sifatnya kuantitatif, pedagogi feminis mengambil aspek pemikiran kritis yang mempromosikan perubahan sosial. Pedagogi feminisme bertujuan untuk membebaskan kaum yang tertindas,tidak berdaya dan miskin. Pendidikan didasarkan pada nilai kesetaraan dan kebebasan, mengangkat kaum tertindas terutama penindasan berdasarkan gender dan membangkitkan kesadaran gender agar terjadi perubahan sosial.
Seorang pemikir teori feminis, Bell hook dalam bukunya Teaching to Transgress Education as Practice of Freedom, mengatakan bahwa guru yang menggunakan kontrol dan kekuasaan atas siswa dan hanya mengajarkan ketaatan pada otoritas akan menumpulkan antusiasme siswa dalam belajar. Hook menganjurkan agar proses-belajar mengajar berlangsung santai, pengajar dan siswa berkolaborasi dan pengajar berusaha menarik siswa untuk berpartisipasi. Dalam proses belajar mengajar melalui pedagogi feminis, akan terbangun komunitas belajar dalam ruang kelas dengan mempresentasikan proses demokrasi dan kehidupan keluarga yang sehat, saling mendengarkan, berdebat dalam suasana diskusi yang damai.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pedagogi feminisme penting diperhatikan dalam dunia pendidikan untuk membangun kehidupan yang berkeadilan,terutama keadilan gender. Pedagogi feminisme merupakan pendidikan tanpa diskriminasi dan menanamkan prinsip-prinsip feminisme dalam keluarga , masyarakat dan bangsa. Dengan demikian diharapkan, tidak ada lagi penolakan terhadap usaha-usaha yang mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan.