Bahasa ancaman merajalela

Sosial media menebarkan FUD (Fear, Uncertainty, Doubt). Dulu media mainstream saja yang menggoreng isu-isu politik. Sekarang bermunculan dotor spine. Orang  yang punya akun dengan  banyak follower menyebarkan kedustaan yang  berpotensi menyulut keonaran. Itu keluhan banyak nitizen ketika membaca konten-konten sosial media.

Disisi lain, pernah kita membaca pengumuman yang berisi bahasa  ancaman   yang ditujukan untuk umum, seperti :

“Dilarang kencing di sini, kecuali anjing!”

“Membuang sampah di sini, masuk neraka!” .

. Bahasa yang mengancam seperti diatas sekarang  dipakai secara masif. Ada bahaya tersembunyi maupun terang-terangan dari pengumuman yang  kasar dan mengancam seperti itu.

Kita ingat, kalimat – kalimat yang diucapkan  Ahok (mantan Gubernur DKI) yang dianggap ceplas-ceplos dalam mengungkapkan emosinya. Bahasa kasar dan mengancam terlihat bahayanya. Meskipun diidolakan banyak orang, Ahok pun punya banyak  haters (pembenci).  Puncak gunung es kebencian inilah yang ditumpahkan keluar ketika ucapan Ahok diprotes dan diunggah ke media sosial yang berujung tragis, penjara.

Kasus yang sama, terjadi pada kasus pembunuhan satu keluarga. Haris Simamora sakit hati  karena sering dihina dan dikata-katai tidak berguna. Lalu  Haris merencanakan dan melakukan pembunuhan sadis dengan linggis.

Sebenarnya, aksi ancam mengancam ini sudah terjadi sejak dulu. Sejak  pemerintahan Orde Baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang yang tidak memilih Golkar waktu itu, tetapi  memilih PPP atau PDI bisa kehilangan pekerjaan, minimal kariernya terhambat.

Ancaman digunakan pula sebagai   bahasa politik . Kita dengar  pada tahun politik 2019, tahun politik, muncul ancaman dalam bahasa politik.   Misalnya, ancaman bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030, jika negara tidak dikelola dengan baik. Dan lagi “  tempe yang sudah setipis ATM pun bakal tidak terbeli”. 

Pada Pemilihan Gubernur DKI 2018, ancaman sebagai bahasa politik  lebih nyata dan mengikutsertakan agama. “Jika memilih cagub tertentu, jika mati mayatnya tidak disalatkan”.

Tidakkah ancaman yang mengikutsertakan agama seperti ini mengerikan? Jatuhnya menjadi politik identitas yang mengeksploitasi SARA. Hal ini  jelas sangat berbahaya. Orang yang menghimbau masyarakat untuk merajut kembali tenun kebangsaan pun bisa memakai politik identitas ini untuk memenangkan pemilihan umum.