Anti Poligami

Pagi itu Haryati termenung.  Ada  rona penyesalan di wajahnya dan berkeluh :

 “Hidup ini sungguh tidak adil, bahkan sering menertawakan diriku. Apa dia pikir perempuan tidak manusia, bisa dihina, direndahkan, dipukul dan dicincang  sekehendak hati. Dia  menindas diriku  dengan kejam.  Sekarang perempuan tidak mau lagi ditindas. Perempuan telah lama berjuang untuk menjadi  manusia”.  

Haryati gadis desa, lahir dan besar  di sebuah  desa di kaki gunung Dieng.   Ketika dia dilamar oleh Tasrif,Haryati tidak menolak sekalipun dia belum tahu siapa Tasrif. Setelah menikah mereka pindah ke kota.   Di kota mereka mencari nafkah dengan berjualan bakso. Bisnis mereka cukup sukses, Baksonya menjadi terkenal.

Lima tahun  lalu, Haryati mengenal pemuda Tasrif, pemuda yang berasal dari desa diseberang desanya. Suatu hari mampir ke rumahnya. Tasrif pemuda tampan pandai berkata-kata telah menawan hatinya. Tiga tahun berumah tangga kehidupan mereka tenang dan adem saja. Jualan bakso makin berkembang dan  mereka dianugerahi seorang putri.  Lalu peristiwa itu terjadi, Tasrif,  kawin lagi. Poligami telah mengubah segala-galanya.  Mengubah segala-galanya. ………………………………………….

Hidup dipoligami, membuat Haryati menjadi perempuan penuntut keadilan. Hampir tiap  hari mereka bertengkar. Dia sering menerima hinaan dan  pukulan dari suaminya. Beberapa kali dia berdarah darah ketika di terjang kaki  suaminya. Tidak jarang pula,  malam-malam suaminya pulang, Haryati diseret ke kamar, bajunya dirobek lalu mengisap tubuhnya dengan kasar. Haryati hanya bisa mengutuk suaminya dalam hati dan menyesali kenapa dia bisa jatuh cinta pada laki-laki kasar dan brutal  ini.

Haryati masih bertahan di rumah itu, sekalipun perlakuan kasar suaminya sudah diluar batas. Pagi ini ketika merenung, genangan kenangan mengalir ke hatinya. Dia teringat kata-kata  ibunya yang kini sangat mengusik hatinya.  

 “ Apa kamu sudah pikir matang-matang untuk menikah dengan pacarmu itu. Hidupmu akan hancur bila kamu salah  menentukan arah. Perkawinan adalah tahap penentu kemana perahu hidup akan berlayar”, itu  kata ibunya, ketika dia minta dinikahkan. 

“ Hidup adalah sebuah permainan yang kadang-kadang membohongi kita.  Kita akan  menanggung konsekwensi terhadap pilihan—pilihan hidup yang diambil. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Maka itu, hidup   harus berhitung, bila tidak kita akan mendapat salah hitungan dalam kehidupan”, ibunya meyakinkannya.   

Haryati  kini sedang menanggung konsekwensi pilihannya. Dia menikah dengan laki-laki yang dicintainya tapi tidak begitu menyukai  dirinya. Ingatan Haryati melayang ke masa lima tahun yang lalu. Suatu malam terjadi hal terkutuk. Dia ditiduri  Tasrif, laki-laki yang sangat dicintainya itu. Lalu dia minta dinikahi walau laki-laki itu seorang pengangguran.

Haryati gadis desa dan miskin, ketika diajak suaminya kekota dia tidak menolak. Di kota mereka bekerjasama mencari nafkah dengan berjualan bakso. Awalnya kehidupan mereka tenang dan adem saja hingga mereka dikaruniai dua anak Feri dan intan.  Warung bakso mereka  maju dan laris manis. Lalu  mereka mengembangkan usahanya dengan membuka warung bakso satu lagi yang dikelola oleh Haryati. Warung  lama dikelola oleh suaminya sendiri.

  Tidak begitu lama setelah mengembangkan usaha warung bakso ini, pertengkaran mulai terjadi. Tasrif mulai bertingkah aneh aneh dan kawin lagi. Haryati nelangsa. Dia tidak mau dimadu. Dia tidak tahu kemana dia harus pergi dan apa yang harus dilakukan. Hidupnya  kacau. Haryati, seperti kebanyakan perempuan desa    belum  sadar akan makna seorang perempuan. Tapi setelah feminisme mengusung isu  keadilan gender  lambat -lambat singgah juga ke kepalanya. “  Perempuan tidak mau lagi ditindas. Perempuan telah lama berjuang untuk menjadi  manusia”. 

“Aku harus melepaskan diri dari laki-laki ini, Aku harus mengatur hidupku kembali”, tekad   Haryati.  Dia   mendaftarkan diri untuk ikut sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) dan bekerja di luar negeri.

“ Mam,dimana  bapak . Aku ingin ketemu bapak”,   kata anak perempuannya ketika dia pulang cuti dari pekerjaannya di luar negeri.

   “ Untuk apa bapak ? mama kan bisa membahagiakan kamu . Kamu lihat teman-temanmu, punya bapak, punya ibu, makan saja susah. Sementara kamu bisa makan apa yang kamu suka dan kamu bisa memiliki pakaian-pakaian mahal. Kan tidak perlu lagi seorang bapak di rumah ini, mama bisa menjadi orang tua tunggal, jadi ibu dan bapak sekalian “, Haryati menatap anaknya dengan lembut.

Akhir abad 20 tokoh-tokoh feminis mulai mempertanyakan dan mengkaji posisi perempuan di berbagai bidang, baik bidang budaya, tradisi bahkan ajaran agama. Tokoh-tokoh feminis membongkar ajaran tradisi, budaya dan agama yang memposisikan perempun dipihak yang merugikan.